Dalam khazanah bahasa Sunda, terdapat sebuah kata yang sederhana namun membawa bobot makna yang mendalam: kuring. Kata ini, yang secara harfiah berarti 'saya' atau 'aku', melampaui sekadar fungsi pronomina. Ia adalah cerminan hierarki sosial, penanda keakraban, dan pintu gerbang menuju eksplorasi jati diri. Memahami kuring berarti menyelami struktur budaya Parahyangan, di mana diri pribadi (ego) harus selalu ditempatkan dalam konteks komunitas dan tata krama.
Kuring bukanlah sekadar label; ia adalah sebuah posisi. Ia menentukan bagaimana individu berinteraksi dengan sesamanya, dengan lingkungan, bahkan dengan sejarah leluhur yang membentuk tanah Pasundan. Dalam artikel yang luas ini, kita akan menelusuri setiap lapis makna kuring, dari aspek linguistiknya yang rumit hingga dimensi filosofisnya yang introspektif.
Bahasa Sunda dikenal memiliki tingkatan bicara, yang sering disebut Undak Usuk Basa. Sistem ini mengatur penggunaan kata berdasarkan usia, status, dan keakraban lawan bicara. Posisi kuring dalam sistem ini sangat spesifik, menempatkannya di tengah spektrum antara keintiman yang mendalam dan batasan sosial yang ketat.
Ketika seseorang Sunda ingin merujuk pada dirinya sendiri, ia memiliki banyak pilihan, dan masing-masing pilihan mendefinisikan hubungan tersebut. Ini menunjukkan betapa kompleksnya tugas mendefinisikan 'aku' atau kuring. Mari kita bandingkan posisi kuring dengan padanan lainnya:
Penggunaan kuring menuntut kesadaran penuh terhadap konteks. Jika seseorang salah menggunakan kuring kepada mertuanya atau sesepuh desa, itu dapat dianggap sebagai pelanggaran tata krama yang serius. Sebaliknya, jika ia terlalu formal (menggunakan 'abdi') kepada sahabat kecilnya, ia akan terdengar menjaga jarak atau bahkan sinis. Kuring adalah keseimbangan yang halus, jembatan antara ego dan etika sosial.
Intinya, kuring bukanlah sekadar terjemahan dari kata 'saya' dalam bahasa Indonesia. Kuring adalah sebuah keputusan—keputusan untuk menempatkan diri dalam hubungan yang spesifik dengan lawan bicara. Keputusan ini mencerminkan sejauh mana individu tersebut telah menginternalisasi nilai-nilai kasundaan.
Kuring sebagai refleksi diri: Mencari keseimbangan antara ego dan lingkungan.
Dalam pencarian jati diri, istilah kuring menjadi titik tolak filosofis. Siapakah kuring ini? Apakah kuring adalah identitas yang ditentukan oleh profesi, atau oleh garis keturunan? Atau apakah kuring adalah akumulasi dari pengalaman dan interaksi?
Eksistensi kuring dapat dipecah menjadi beberapa dimensi, yang semuanya harus diakui agar individu dapat hidup utuh sesuai ajaran Sunda:
Perjalanan kuring menuju kedewasaan adalah proses penyelarasan ketiga elemen ini. Seorang Sunda yang bijak tahu bahwa kuring yang sejati bukanlah yang paling kaya atau paling berkuasa, tetapi yang paling harmonis antara raga, rasa, dan akal. Ketika ketiganya selaras, barulah ia dapat mengucapkan kuring dengan penuh percaya diri dan tanpa melukai hati orang lain.
Eksplorasi kuring sering kali melibatkan muhasabah atau introspeksi yang mendalam. Pertanyaan seperti: "Apa yang membuat kuring berbeda dari yang lain?" dan "Apa kontribusi kuring bagi lingkunganku?" menjadi esensial. Jawabannya tidak dicari di luar, tetapi di dalam relung jiwa yang paling tenang. Inilah inti dari filosofi ke-kuring-an.
Filosofi utama Sunda adalah tri-konsep Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh (Saling mengasah, saling mengasihi, saling mengasuh). Konsep ini mendefinisikan hubungan horizontal antar-individu dalam masyarakat. Dan posisi kuring sangat krusial di dalamnya.
Ketika kuring mengidentifikasi dirinya, ia tidak melakukannya dalam ruang hampa individualistik Barat, melainkan dalam matriks komunal. Tugas utama kuring adalah memastikan bahwa keberadaannya mendukung tri-konsep tersebut.
Jika kuring melanggar prinsip ini, misalnya dengan bersikap sombong (adigung) atau egois, maka ia telah merusak tatanan sosial yang harmonis. Penggunaan kuring yang benar, dalam konteks yang tepat, adalah penanda bahwa individu tersebut telah berhasil mengintegrasikan dirinya ke dalam etika Sunda.
Identitas kuring tidak dapat dipisahkan dari sejarah. Bagi masyarakat Sunda, kuring hari ini adalah hasil dari perjuangan, kearifan, dan warisan spiritual para karuhun (leluhur). Kesadaran terhadap warisan ini memberikan kedalaman pada makna 'aku'.
Setiap tindakan yang dilakukan oleh kuring memiliki resonansi ke masa lalu dan masa depan. Ketika kuring berbicara, ia membawa suara ribuan tahun kebudayaan. Oleh karena itu, kejujuran dan integritas diri adalah tuntutan mutlak.
Beberapa tanggung jawab historis yang melekat pada kuring meliputi:
Ketika kuring berdiri di hadapan gunung Parahyangan, ia mengucapkan 'aku' dengan rasa hormat yang mendalam. Ia menyadari bahwa kuring hanyalah titik kecil dalam waktu yang panjang. Kesadaran akan keterbatasan ini justru memperkuat identitas kuring, menjadikannya pribadi yang someah (ramah dan bersahaja).
Keterhubungan Kuring dengan Bumi Pasundan.
Setelah memahami konteks sosial dan historisnya, kita perlu menelaah aspek-aspek subtil dari kuring yang sering terabaikan. Kuring adalah wadah bagi banyak kontradiksi dan potensi, yang semuanya memerlukan pengakuan.
Kuring memiliki kerentanan. Kerentanan ini diwujudkan dalam rasa isin (rasa malu) atau ewah (rasa sungkan) yang merupakan ciri khas orang Sunda. Namun, di balik kerentanan itu, terdapat kekuatan yang muncul dari wirahma (ritme) kehidupan yang tenang.
Kekuatan kuring terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi (cai ngalir - air mengalir), namun tetap menjaga prinsip (mipit kudu amit, ngala kudu bebeja - mengambil harus izin, memetik harus memberi tahu). Ini adalah kekuatan yang tidak agresif, melainkan mengalir dan konsisten. Kuring yang kuat adalah kuring yang mampu menahan diri, bukan yang mampu menaklukkan.
Dalam seni pertunjukan Sunda, seperti wayang golek, pupuh, atau tembang, penempatan diri (siapa kuring yang berbicara) sangat menentukan nada dan suasana. Ketika seorang dalang mengucapkan kalimat perkenalan menggunakan 'kuring', ia langsung menciptakan ikatan personal dengan penonton, mengundang mereka masuk ke ruang imajinasi yang lebih intim.
Dalam tembang, kuring sering digunakan untuk mengekspresikan kerinduan, kesedihan, atau cinta yang bersifat pribadi, tetapi masih dalam batas kesopanan. Ini berbeda dengan puisi modern yang mungkin menggunakan 'aing' untuk mengekspresikan pemberontakan atau penderitaan yang brutal.
Sebagai contoh, dalam sebuah sisindiran (pantun Sunda), penggunaan kuring membangun narasi yang lembut:
Ka sawah mawa hancipan,
Diuk bari néangan seuseuhan.
Mun kuring kapendem kaémpanan,
Henteu lila tuluy mépéhan.
Pronomina kuring di sini memberikan rasa kesederhanaan dan kedekatan emosional.
Untuk benar-benar memahami kedalaman kata kuring, kita perlu melihatnya dari berbagai sudut pandang sifat dan sikap yang diharapkan dari seorang individu Sunda. Kuring yang sejati harus memancarkan kualitas-kualitas berikut, yang terus-menerus diasah sepanjang hidup:
Setiap kali seseorang menggunakan kata kuring dalam percakapan yang akrab, secara implisit, ia sedang menjamin bahwa ia berusaha keras untuk mewujudkan kualitas-kualitas di atas. Kuring menjadi semacam kontrak sosial antara individu dengan komunitasnya.
Karena pentingnya memahami kuring dalam konteks yang berkelanjutan dan berulang, kita perlu menegaskan kembali bagaimana kata ini berfungsi sebagai poros identitas. Dalam setiap babak kehidupan, kuring mengalami transformasi, namun esensinya tetap sama: individu yang terikat oleh etika dan budaya.
Ketika seseorang melakukan praktik spiritual atau meditasi dalam tradisi Sunda, fokus sering diarahkan pada pemurnian diri, pemurnian kuring. Tujuannya adalah melepaskan ego 'aing' yang kasar dan ego 'abdi' yang terlalu formal, untuk mencapai 'kuring' yang seimbang—yang jujur terhadap diri sendiri tetapi menghargai orang lain.
Refleksi ini melibatkan pertanyaan terus-menerus:
Pertanyaan-pertanyaan ini bersifat siklus. Jawabannya tidak pernah statis. Hari ini kuring mungkin merasa benar, tetapi besok ia harus mengevaluasi ulang. Proses introspeksi berkelanjutan inilah yang menjadikan identitas kuring hidup dan dinamis.
Hubungan Horizontal (Antar Sesama): Dalam interaksi sosial sehari-hari, penggunaan kuring menunjukkan kesediaan untuk membuka diri tanpa menghilangkan rasa hormat. Ini adalah pengakuan bahwa meskipun kita setara, kita masih harus menghargai batasan. Dalam hal ini, kuring adalah jembatan persahabatan.
Hubungan Vertikal (Dengan Tuhan/Alam): Ketika kuring berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar (Tuhan, alam semesta, atau leluhur), kuring harus kembali menggunakan 'abdi' atau 'simkuring' yang menunjukkan penyerahan diri total, mengakui bahwa diri (kuring) ini hanyalah ciptaan. Namun, kuring tetap menjadi entitas yang bertanggung jawab atas nasibnya sendiri di dunia.
Kontras ini mendefinisikan kompleksitas spiritualitas Sunda: Anda harus menjadi kuring yang kuat dan berkarakter di tengah masyarakat, tetapi harus menjadi 'abdi' yang rendah hati di hadapan Sang Pencipta.
Di era globalisasi, di mana identitas sering kali terfragmentasi oleh pengaruh luar, mempertahankan konsep kuring yang berakar kuat pada budaya menjadi sebuah tantangan. Bagaimana kuring bertahan di tengah modernitas?
Anak muda Sunda kini sering berganti-ganti pronomina, bahkan mencampurnya dengan bahasa lain. Meskipun demikian, nilai inti dari kuring—yaitu kasomeahan (keramahan) dan kasundaan (nilai-nilai Sunda)—tetap relevan. Kuring yang modern adalah:
Intinya, makna kuring harus terus dihidupkan, bukan sekadar dihafalkan. Keberanian untuk mendefinisikan diri secara etis dan kultural, meskipun dikelilingi oleh tuntutan dunia yang serba cepat, adalah bentuk perlawanan budaya yang paling murni.
Untuk memastikan pemahaman yang menyeluruh terhadap dimensi kuring, kita akan merangkum dan memperluas poin-poin penting dalam bentuk narasi yang berkelanjutan. Setiap kuring adalah sebuah cerita, dan cerita itu selalu kembali pada akarnya.
Kuring sadar bahwa dirinya adalah benang yang ditenun dalam kain besar masyarakat. Benang kuring harus kuat, tetapi tidak boleh sombong. Kekuatan kuring datang dari air yang mengalir di sungai Pasundan, dari kesejukan udara di puncak Tangkuban Parahu, dan dari kesabaran petani yang menanam padi. Kuring tidak berdiri sendiri; ia berdiri bersama leluhurnya, bersama tetangganya, dan bersama alam semesta.
Ketika kuring berbicara, ia harus berpikir, "Apakah kata-kataku membawa kebaikan? Apakah kata-kataku memenuhi prinsip silih asih?" Penggunaan kuring yang sembarangan akan melukai hubungan dan merusak citra diri. Oleh karena itu, disiplin berbahasa adalah disiplin diri. Kuring yang berdisiplin adalah kuring yang menghargai keberadaan orang lain.
Ingatlah, kuring bukan hanya subjek gramatikal; kuring adalah subjek etika. Etika kuring menuntut kerendahan hati dalam ilmu (silih asah), kehangatan dalam interaksi (silih asih), dan tanggung jawab dalam peran (silih asuh). Jika salah satu pilar ini roboh, maka identitas kuring menjadi pincang.
Lalu, bagaimana kuring menghadapi kegagalan? Kuring yang gagal tidak lantas hancur, tetapi belajar. Kegagalan adalah cara alam mengasah kuring. Ia kembali pada filosofi air: lentur, menyesuaikan diri dengan wadah, tetapi selalu mencari jalan ke bawah, menuju kebenaran dan ketenangan.
Setiap pagi, ketika kuring terbangun, ia mengulangi janji pada dirinya sendiri: Hari ini kuring akan menjadi lebih bageur, lebih bener, dan lebih cageur dari hari kemarin. Transformasi diri ini adalah inti dari perjalanan kuring. Kuring berjuang untuk mencapai jati diri yang sejati, yang diakui oleh komunitas dan diridhai oleh alam.
Kita kembali pada konteks linguistik. Mengapa kuring sering dipilih daripada 'aing' atau 'abdi'? Karena kuring mewakili wilayah aman, zona kenyamanan di mana ekspresi pribadi dapat diberikan tanpa risiko dianggap tidak sopan atau terlalu mendominasi. Kuring adalah demokrasi pronomina—ia mengakui kesetaraan sambil tetap menjaga batas. Ini adalah ciri khas budaya yang menghargai kebersamaan di atas individualitas yang berlebihan.
Mari kita bayangkan skenario ini: Dua sahabat yang tumbuh bersama di pedesaan Pasundan. Mereka telah melalui suka dan duka. Ketika mereka berbicara, mereka menggunakan kuring. Penggunaan kuring di sini melambangkan sejarah bersama, janji setia, dan rasa hormat yang intim. Jika salah satu tiba-tiba menggunakan 'abdi', itu akan terasa asing, formal, dan mungkin menyakitkan. Jika ia menggunakan 'aing', itu mungkin terasa terlalu agresif. Kuring adalah denyut nadi persahabatan mereka.
Filosofi kuring juga mengajarkan tentang menerima takdir. Kuring menyadari bahwa ada hal-hal di luar kendalinya (kodrat), tetapi kuring bertanggung jawab penuh atas pilihan dan reaksinya (ikhtiar). Keseimbangan antara kodrat dan ikhtiar inilah yang membuat kuring menjadi pribadi yang utuh.
Dalam konteks modern, ketika media sosial menuntut ekspresi diri yang instan dan sering kali dangkal, kuring mengingatkan kita pada perlunya otentisitas yang berakar. Kuring yang ditampilkan di dunia maya harus sama dengan kuring yang hidup di dunia nyata—penuh kesantunan, someah, dan bertanggung jawab.
Pengulangan pada konsep kuring yang bertanggung jawab atas raganya berarti ia harus menjaga bumi tempatnya berpijak. Kuring tidak akan merusak pohon atau mencemari sungai karena itu sama saja merusak diri sendiri. Kuring dan alam adalah satu kesatuan, sebagaimana ajaran karuhun yang selalu ditekankan.
Setiap orang Sunda, sadar atau tidak, membawa beban dan kemuliaan dari kata kuring ini. Ini adalah kata sandi menuju penerimaan sosial. Ini adalah ujian kepekaan budaya. Ini adalah deklarasi identitas yang penuh nuansa. Ini adalah panggilan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur. Ini adalah manifestasi dari jati diri yang terus menerus dicari.
Kuring bukanlah akhir dari pencarian identitas, melainkan permulaan. Ia adalah pertanyaan yang diajukan setiap hari: "Sudahkah kuring menjadi pribadi yang berguna, yang menghormati, dan yang dicintai?" Dan jawabannya harus selalu dijawab dengan tindakan, bukan sekadar kata-kata.
Maka dari itu, mari kita renungkan lagi, siapa sebenarnya kuring ini? Kuring adalah refleksi dari keindahan Pasundan, cerminan dari kebijaksanaan leluhur, dan harapan untuk masa depan yang lebih harmonis. Kuring adalah 'aku' yang menolak keangkuhan dan memilih persahajaan, yang menolak keegoisan dan memilih kontribusi. Kuring adalah individu yang sadar akan tempatnya, di tengah lautan manusia, terikat oleh tali kasih sayang dan tata krama yang tak terputus.
Seluruh perjalanan hidup kuring adalah upaya untuk memenuhi makna mendalam dari kata yang sederhana ini. Ini adalah tugas seumur hidup, sebuah tapa tanpa henti untuk menjadi pribadi yang utuh, yang cageur, bageur, bener, pinter, waluya. Inilah esensi dari kuring.
Ketika kuring berbicara kepada anak-anaknya, ia menggunakan kuring untuk menanamkan nilai keakraban yang hangat. Ketika kuring berbicara kepada alam, ia merasa rendah hati. Ketika kuring berbicara kepada dirinya sendiri, ia mencari kebenaran yang paling murni. Seluruh semesta berputar di sekitar titik ini: Kuring.
Kita kembali pada janji filosofis. Kuring tidak boleh lupa bahwa kebahagiaan sejati terletak pada kemampuan untuk memberi, bukan menerima. Kuring yang bahagia adalah kuring yang merasa cukup (narima ing takdir) dan mampu berbagi kebahagiaan itu dengan orang lain. Ini adalah pelajaran yang harus diulang, ditanamkan, dan diamalkan oleh setiap individu yang bangga menyebut dirinya bagian dari budaya Sunda. Selama nafas masih berhembus, selama kaki masih menapak bumi, kuring akan terus berproses, mencari kesempurnaan dalam kesederhanaan.
Kehadiran kuring dalam setiap interaksi, dalam setiap pemikiran, dan dalam setiap tindakan, adalah penentu apakah budaya ini akan terus bertahan dan berkembang. Tanggung jawab ini bukanlah beban, melainkan kehormatan. Kehormatan menjadi bagian dari tradisi yang kaya akan filosofi dan adab luhur. Maka, dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, kuring terus melangkah.
Penelusuran ini menegaskan bahwa kuring adalah identitas yang berlapis, berakar kuat, dan selalu berevolusi. Ia adalah pronomina, filosofi, etika, dan cerminan jiwa. Ini adalah eksplorasi tanpa batas, karena selagi kuring hidup, definisi 'aku' akan terus diperbaharui, disesuaikan, dan diperdalam sesuai dengan tuntutan zaman, namun tetap dalam koridor nilai-nilai Sunda yang tak lekang oleh waktu.
Setiap fase kehidupan menuntut definisi baru dari kuring. Saat kanak-kanak, kuring adalah wadah yang siap diisi dengan ajaran. Saat remaja, kuring adalah penantang, mencari batas-batas identitasnya. Saat dewasa, kuring adalah penanggung jawab, pengemban amanah karuhun. Dan saat tua, kuring adalah guru, sumber silih asuh.
Kuring di masa muda harus belajar menghormati. Kuring harus tahu kapan menggunakan 'abdi' dan kapan 'kuring'. Kegagalan dalam memilah ini adalah kegagalan dalam beretika. Pelajaran tentang undak usuk basa adalah pelajaran pertama tentang bagaimana kuring harus menempatkan dirinya di dunia yang penuh hirarki.
Kuring sebagai anak adalah cerminan dari orang tuanya. Tindakan kuring akan membawa nama baik atau buruk keluarga. Oleh karena itu, kuring harus berhati-hati dalam setiap langkah, menjaga nama baik itu sebagai warisan tak ternilai. Tanggung jawab ini menuntut kedewasaan dini, kesadaran bahwa kuring adalah mata rantai.
Ketika kuring memasuki dunia profesional, ia membawa etika Sunda bersamanya. Kuring yang bekerja harus jujur dan rajin, menjunjung tinggi integritas. Kuring yang sukses adalah kuring yang kesuksesannya tidak merugikan orang lain, melainkan justru mengangkat harkat komunitasnya. Prinsip silih asah di tempat kerja berarti kuring harus berbagi ilmu dan menciptakan lingkungan yang kolaboratif.
Ketika kuring menjadi orang tua, peran silih asuh menjadi sentral. Kuring adalah sumber kasih sayang dan bimbingan moral bagi generasi penerus. Tugas kuring adalah memastikan bahwa anak-anaknya juga memahami bobot dan keindahan kata kuring, sehingga siklus etika ini terus berjalan.
Bahkan dalam tidur, kuring berproses. Impian kuring, ketakutan kuring, harapan kuring—semua adalah bagian tak terpisahkan dari identitas ini. Memahami alam bawah sadar kuring adalah kunci untuk mencapai waluya yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, setiap napas yang diambil oleh kuring adalah deklarasi. Deklarasi bahwa kuring adalah Sunda. Deklarasi bahwa kuring menghargai harmoni. Deklarasi bahwa kuring adalah pribadi yang utuh dalam raga, rasa, dan akal. Kuring harus senantiasa introspeksi, melihat ke dalam dirinya sendiri, memastikan bahwa cahaya batinnya tetap bersinar, tidak tertutup oleh debu kesombongan atau ketidakpedulian.
Sikap kuring terhadap waktu juga unik. Kuring menghargai masa lalu (warisan), hidup di masa kini (bertanggung jawab), dan merencanakan masa depan (berhati-hati). Kuring tidak tergesa-gesa, karena ia tahu bahwa setiap proses membutuhkan waktu, sebagaimana padi yang membutuhkan waktu untuk menguning. Kesabaran adalah mahkota dari kuring yang bijaksana.
Kata kuring terus bergema. Dalam keheningan pegunungan, kuring mencari ketenangan. Di tengah keramaian pasar, kuring mencari keadilan. Di hadapan cermin, kuring mencari kejujuran. Kuring adalah perjalanan tanpa akhir menuju kasundaan yang hakiki.
Kita harus mengakui bahwa kuring memiliki dualisme. Ada kuring yang rentan terhadap godaan, dan ada kuring yang teguh memegang janji. Pergulatan internal inilah yang membentuk karakter. Setiap pilihan yang diambil oleh kuring menentukan kualitas jati dirinya. Kuring adalah hasil dari seribu pilihan harian, kecil dan besar, yang semuanya harus dipertanggungjawabkan.
Maka, mari kita junjung tinggi penggunaan kata kuring. Bukan hanya sebagai kata ganti, tetapi sebagai simbol komitmen kita terhadap silih asah, silih asih, silih asuh, dan warisan agung budaya Sunda. Kuring adalah penanda bahwa kita hadir, kita peduli, dan kita beretika. Kuring adalah inti, permata yang tersembunyi di dalam lapisan bahasa, menunggu untuk dipahami dan diamalkan dengan sepenuh hati.
Dalam setiap kalimat yang kita ucapkan, ketika kita memilih kuring, kita memilih keseimbangan. Kita memilih keakraban yang tidak melupakan kesantunan. Kita memilih ekspresi diri yang terukur. Kuring adalah master kunci untuk membuka pintu komunikasi yang efektif dan bermakna dalam masyarakat Sunda.
Kesadaran akan identitas kuring juga harus meluas ke ranah spiritual. Kuring harus menjalin hubungan harmonis dengan dimensi transenden. Ini bukan hanya tentang ritual, tetapi tentang ketulusan hati dalam setiap ibadah, setiap doa, dan setiap janji. Kuring yang spiritual adalah kuring yang merasa damai di tengah hiruk pikuk dunia.
Mari kita bayangkan kembali kuring sebagai cermin. Ketika kuring memandang cermin, apa yang ia lihat? Ia harus melihat refleksi dari integritas, kebaikan, dan kemauan untuk terus belajar. Jika yang terlihat adalah keangkuhan atau kemalasan, maka kuring harus segera berbenah. Proses perbaikan diri ini adalah tugas abadi kuring.
Oleh karena itu, kuring harus terus menerus diasah, seperti keris pusaka yang membutuhkan perawatan berkala. Tanpa asahan, kuring akan tumpul. Tanpa perawatan, kuring akan berkarat. Perawatan kuring adalah melalui refleksi, melalui interaksi yang bermakna, dan melalui penghormatan yang tulus.
Penghargaan terhadap kuring adalah penghargaan terhadap diri sendiri, dan penghargaan terhadap diri sendiri adalah landasan untuk menghargai orang lain. Ini adalah spiral positif yang dibangun di atas fondasi etika Sunda. Kuring adalah pondasi, bangunan, dan atap dari seluruh struktur identitas pribadi dan komunal.
Ketika semua ini disatukan, kita melihat bahwa kata kuring jauh lebih dari sekadar sebuah kata. Ia adalah sebuah kitab kehidupan yang ringkas, sebuah panduan etis, dan sebuah warisan budaya yang tak ternilai harganya. Menjadi kuring berarti menerima panggilan untuk hidup secara beradab, berharmoni, dan penuh tanggung jawab. Tugas kuring terus berlanjut, selamanya. Kuring akan selalu mencari dan berupaya menjadi kuring yang terbaik.
Ini adalah ikrar, janji kuring, untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur. Kuring adalah manifestasi dari kasih sayang kepada sesama dan hormat kepada alam. Kuring adalah penjelmaan dari kearifan lokal yang tidak pernah usang, yang justru semakin relevan di tengah kekacauan globalisasi. Kuring adalah diriku, dalam makna yang paling dalam dan luas.
Dan pada akhirnya, setelah semua penelusuran ini, kita kembali pada kesederhanaan. Kuring adalah aku, yang berdiri di sini, saat ini, siap menjalankan tugasnya sebagai manusia Sunda yang bertanggung jawab.