Kata **lei** adalah lebih dari sekadar istilah untuk karangan bunga. Ia adalah representasi fisik dari semangat Aloha, sebuah simbol yang menyatukan kasih sayang, penghormatan, persahabatan, dan perayaan. Tradisi memberikan dan menerima **lei** telah menjadi ciri khas Kepulauan Hawaii, memancarkan kehangatan dan sambutan tulus yang melintasi batas-batas bahasa dan waktu. Dalam budaya Polinesia, terutama Hawaii, praktik membuat dan mengenakan **lei** merupakan seni kuno yang mencerminkan hubungan mendalam antara manusia, alam, dan spiritualitas.
Setiap **lei** yang dirangkai adalah sebuah kisah. Untaian bunga, dedaunan, biji-bijian, atau cangkang yang membentuk **lei** memiliki makna spesifik, tergantung pada bahan yang digunakan, warna, dan cara pembuatannya. **Lei** tidak hanya dipakai untuk menyambut tamu, tetapi juga digunakan dalam berbagai ritual penting seperti pernikahan, kelulusan, penobatan, dan acara keagamaan. Keindahan alami dari bahan-bahan yang dirangkai dalam setiap lei menegaskan kekayaan flora dan fauna kepulauan, menjadikannya sebuah mahakarya sementara yang penuh makna.
Tujuan dari artikel mendalam ini adalah untuk mengupas tuntas seluruh aspek dari tradisi lei. Kita akan menjelajahi akar sejarahnya yang berasal dari migrasi kuno bangsa Polinesia, memahami berbagai teknik merangkai yang rumit, menyelami etika dan tata krama yang menyertai pemberian **lei**, hingga menganalisis peranannya dalam ekonomi modern dan upaya konservasi lingkungan. Memahami **lei** berarti memahami denyut nadi Hawaii—sebuah budaya yang menghargai koneksi, alam, dan keindahan abadi dari lingkaran yang tidak pernah putus.
Asal-usul lei dapat ditelusuri kembali ke migrasi pertama bangsa Polinesia ke Kepulauan Hawaii. Ketika para pelaut kuno ini tiba, mereka membawa serta pengetahuan dan tradisi merangkai benda-benda alam menjadi hiasan yang melingkari tubuh. Awalnya, **lei** bukanlah sekadar dekorasi; ia adalah penanda status, perlindungan spiritual, dan persembahan kepada dewa-dewi. Pada masa kerajaan kuno, jenis **lei** tertentu hanya boleh dikenakan oleh bangsawan (ali'i) atau dalam konteks ritual keagamaan.
Di masa pra-kontak, bahan yang paling dihargai untuk lei bukanlah bunga-bunga harum, melainkan dedaunan dan bahan yang memiliki ketahanan serta nilai spiritual. Misalnya, Maile lei (yang terbuat dari daun tanaman *Alyxia oliviformis*) adalah lei yang paling suci. Ia melambangkan kedekatan dengan alam dan sering digunakan dalam upacara penobatan atau saat perjanjian penting dibuat. Para ali'i (bangsawan) sering mengenakan lei dari bulu-bulu burung yang langka, seperti bulu burung Mamo atau 'O'o, yang menunjukkan kekuasaan dan kekayaan mereka. Ini berbeda jauh dengan citra lei bunga yang kita kenal sekarang, menunjukkan betapa dinamisnya tradisi lei seiring berjalannya waktu.
Ketika penjelajah Eropa tiba pada abad ke-18, mereka mencatat kebiasaan penduduk setempat memberikan lei sebagai tanda persahabatan. Namun, era komersial besar lei baru dimulai pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, didorong oleh industri pariwisata yang berkembang pesat. Kapal-kapal uap yang tiba di Honolulu sering disambut oleh penjual lei yang ramai. Bunga-bunga yang mudah didapat dan harum, seperti kembang sepatu (hibiscus) dan plumeria (frangipani), mulai menggantikan bahan-bahan tradisional yang lebih sulit didapat atau lebih sakral. **Lei** berubah dari artefak ritual menjadi simbol penyambutan universal.
Pada masa ini, lei menjadi identik dengan "Selamat Datang di Hawaii." Para pengunjung mulai terbiasa menerima lei saat turun dari kapal, dan tradisi unik ini menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman Hawaii. Peningkatan permintaan ini mendorong inovasi dalam teknik merangkai dan kultivasi bunga-bunga yang secara khusus ditujukan untuk pembuatan lei, memastikan bahwa tradisi membuat lei terus beradaptasi tanpa kehilangan esensinya sebagai ekspresi Aloha.
Seni merangkai **lei**, atau *hana lei*, adalah keahlian yang diturunkan dari generasi ke generasi. Ini membutuhkan kesabaran, mata yang tajam terhadap detail, dan pemahaman mendalam tentang sifat-sifat alami dari bahan yang digunakan. Tidak semua **lei** dibuat dengan cara yang sama. Ada empat teknik dasar yang menentukan bentuk, daya tahan, dan estetika akhir dari sebuah **lei**.
Teknik *kui* adalah metode yang paling umum dan dikenal secara internasional, terutama digunakan untuk membuat lei bunga yang panjang dan melingkar. Dalam teknik *kui*, bunga-bunga atau bahan lainnya (seperti cangkang atau biji) ditusuk menggunakan jarum panjang (*nī'au* atau jarum baja) dan benang atau serat kuat. Bunga-bunga seperti plumeria, anggrek, dan pīkake sangat ideal untuk **lei** *kui*. **Lei** yang dibuat dengan *kui* dapat memiliki tampilan yang padat (*lāʻī*) atau lebih longgar, tergantung pada seberapa rapat bahan-bahan tersebut ditumpuk. Kecepatan dan ketepatan seorang pembuat lei profesional dalam teknik *kui* dapat mencapai ratusan tusukan per jam, menghasilkan lei yang seragam dan indah.
Teknik *wili* melibatkan melilitkan bahan-bahan di sekeliling tali rami atau serat lain yang disebut *lau*. Metode ini sangat cocok untuk menggabungkan berbagai jenis bahan—bunga, daun, dan pakis—menjadi satu bentuk yang lebih terstruktur dan seringkali lebih tebal. *Wili* sering digunakan untuk membuat lei mahkota (*lei poʻo*) atau lei yang menggabungkan elemen bertekstur, seperti kulit buah, yang tidak mudah ditusuk. Proses *wili* memerlukan tekanan yang konsisten untuk memastikan bahwa lei mempertahankan bentuknya, sering kali menghasilkan lei yang tampak lebih alami dan liar dibandingkan dengan **lei** *kui* yang seragam.
*Hili* adalah teknik mengepang atau menenun tanpa menggunakan bahan dasar atau tali pendukung. Bahan-bahan seperti daun pakis, daun lāʻī (tī leaf), atau daun maile yang lentur dikepang bersama-sama, saling mengunci satu sama lain. **Lei** *hili* terkenal karena bentuknya yang datar dan elegan, seringkali digunakan untuk Maile lei tradisional. Karena tidak ada benang yang terlihat, **lei** *hili* menonjolkan tekstur alami dari bahan-bahannya. Membuat **lei** *hili* yang sempurna membutuhkan bahan yang seragam panjang dan fleksibel, serta keterampilan tangan yang sangat terlatih.
Teknik *haku* adalah salah satu metode yang paling kreatif dan sering digunakan untuk lei poʻo (lei kepala) dan lei aʻi (lei leher). Dalam *haku*, bunga dan dedaunan dianyam atau disisipkan ke alas yang terbuat dari daun pisang atau serat lain, mirip dengan teknik *wili* tetapi lebih fokus pada penempatan estetika. **Lei** *haku* dikenal karena desainnya yang artistik dan asimetris, memungkinkan perangkai untuk menciptakan komposisi warna dan tekstur yang kompleks. **Lei** yang dihasilkan sering kali tampak lebih kokoh dan merupakan hasil dari imajinasi bebas perangkai, menjadikannya bentuk seni yang sangat personal.
Kualitas sebuah **lei** sangat bergantung pada kesegaran dan simbolisme bahan-bahan yang dipilih. Dari yang paling harum hingga yang paling tahan lama, setiap bahan memiliki tempatnya dalam tradisi lei:
1. Plumeria (Frangipani): Mungkin bunga **lei** yang paling ikonik. Tersedia dalam berbagai warna (putih, kuning, merah muda) dan terkenal karena aromanya yang manis dan tahan lama. Plumeria melambangkan kesempurnaan dan musim semi. Penggunaan plumeria untuk lei adalah contoh sempurna dari teknik *kui*.
2. Pīkake (Melati Arab): Dikenal karena aromanya yang intens dan kecil, Pīkake (secara harfiah berarti 'merak', karena disukai oleh Putri Kaʻiulani) adalah salah satu bahan lei paling mahal dan dicari. Sebuah lei Pīkake yang panjang dan padat membutuhkan waktu berjam-jam untuk dibuat dan menjadi simbol cinta romantis.
3. Maile: Daun hijau yang panjang, mengilap, dan sangat wangi ini adalah **lei** yang paling suci dan tradisional. **Maile lei** selalu dibuat terbuka (tidak melingkar) dan melambangkan ikatan abadi, rasa hormat, dan perdamaian. Ini adalah **lei** pilihan untuk pernikahan dan peresmian.
4. 'Ilima: Bunga kecil berwarna oranye atau emas lembut. Karena ukurannya yang kecil, dibutuhkan ribuan bunga 'Ilima untuk membuat satu **lei** yang utuh. 'Ilima secara tradisional diasosiasikan dengan bangsawan, terutama di O'ahu.
5. Orchid (Anggrek): Anggrek, terutama varietas Dendrobium, adalah bahan lei yang populer secara komersial karena ketahanannya dan beragamnya warna. **Lei** anggrek sering digunakan dalam penyambutan wisatawan.
6. Kukui Nut: Biji pohon resmi Hawaii. **Lei** dari biji Kukui dipoles hingga berkilau seperti kayu dan melambangkan pencerahan, perlindungan, dan kedamaian. Ini adalah lei yang tahan lama dan sering dipakai oleh pria.
7. Pua Kenikeni: Bunga yang berubah warna dari putih menjadi kuning keemasan setelah dipetik, terkenal karena aromanya yang kuat dan seperti parfum. Nama *Kenikeni* berarti 'sepuluh sen', konon karena pada masa awal komersialisasi, bunga ini dijual dengan harga sepuluh sen per untai.
Kombinasi dari keahlian teknis dan pemahaman mendalam tentang bahan-bahan ini memungkinkan para *lei maker* untuk menciptakan karya seni yang tidak hanya indah secara visual tetapi juga kaya akan aroma dan makna. Keindahan sebuah **lei** adalah cerminan langsung dari cinta dan waktu yang diinvestasikan dalam proses pembuatannya.
**Lei** adalah bahasa non-verbal di Hawaii; ia berkomunikasi tentang kasih sayang, penghormatan, perpisahan, dan perayaan. Memahami etiket yang menyertai **lei** adalah kunci untuk menunjukkan rasa hormat terhadap budaya Hawaii. Prinsip utama dalam etiket **lei** adalah mahalo (terima kasih) dan kūpono (kesopanan).
Tindakan memberikan sebuah **lei** adalah tindakan memberi Aloha. Oleh karena itu, etiket menuntut agar **lei** diterima dengan rasa terima kasih yang tulus. Menolak sebuah **lei** dapat dianggap sangat tidak sopan, kecuali dalam situasi medis atau alergi yang ekstrem. Ketika **lei** diberikan, penerima harus membungkuk sedikit agar pemberi dapat menempatkan **lei** di atas bahu mereka. **Lei** seharusnya diletakkan di atas bahu, bukan langsung di leher, dengan untaian menggantung di depan dan belakang.
Salah satu aturan paling sakral adalah: **lei** yang diberikan kepada wanita hamil tidak boleh melingkar sempurna; ujung-ujungnya harus dibiarkan terbuka. Ini melambangkan tali pusar dan memastikan persalinan yang lancar, serta melambangkan bahwa kehidupan belum mencapai lingkaran penuh. Mempertimbangkan jenis **lei** yang sesuai untuk setiap acara juga penting. Contohnya, Maile lei sering diperuntukkan bagi tokoh penting atau acara formal yang menuntut keagungan.
Peran **lei** meluas jauh melampaui penyambutan wisatawan; ia menandai setiap tonggak penting dalam kehidupan masyarakat Hawaii:
Untuk menghormati tradisi ini, Hawaii merayakan **Lei Day** setiap tanggal 1 Mei (*May Day is Lei Day in Hawaii*). Hari ini didedikasikan untuk perayaan **lei** dan budaya Hawaii. Pada hari ini, sekolah, komunitas, dan pemerintah mengadakan festival lei, kompetisi merangkai lei, dan pemilihan ratu **Lei Day**. Perayaan ini berfungsi sebagai pengingat tahunan akan pentingnya tradisi lei sebagai penghubung budaya dan komunitas.
Melalui perayaan **Lei Day**, upaya dilakukan untuk mendidik generasi muda tentang teknik-teknik tradisional dan simbolisme di balik setiap untaian lei, memastikan bahwa seni kuno ini tidak hilang dalam arus modernisasi. Setiap pulau di Hawaii bahkan memiliki bunga dan warna **lei** resminya sendiri, yang semakin memperkaya keragaman perayaan Lei Day.
Masing-masing dari delapan pulau utama Hawaii memiliki **lei** khasnya sendiri, yang seringkali terbuat dari flora endemik pulau tersebut. Mempelajari jenis-jenis lei spesifik memberikan apresiasi yang lebih dalam terhadap keanekaragaman hayati dan tradisi unik di setiap wilayah.
1. Hawaiʻi (Pulau Besar): Dikenal dengan **Lei** Merah dari bunga **'Ōhi'a Lehua**. Bunga Lehua (pohon 'Ōhi'a) melambangkan dewi gunung berapi, Pele. Bunga ini harus dipetik dengan hati-hati dan dengan izin, karena memetik tanpa hormat dipercaya dapat menyebabkan hujan. **Lei** Lehua yang padat dan merah cerah sering dibuat menggunakan teknik *wili* atau *hili*.
2. Maui: Diwakili oleh **Lei** Mawar Merah Muda dari bunga **Lokelani** (Mawar Langit). Bunga Lokelani adalah mawar kecil yang harum dan sering diidentikkan dengan kemewahan dan keindahan. **Lei** Lokelani seringkali sangat halus dan memerlukan jumlah bunga yang besar untuk mencapai tampilan yang penuh.
3. Oʻahu: Terkenal dengan **Lei** Kuning/Emas dari bunga **'Ilima**. Seperti yang disebutkan, 'Ilima adalah bunga kerajaan. **Lei** 'Ilima yang paling tradisional membutuhkan ribuan kelopak bunga yang sangat tipis yang dirangkai dengan teknik *kui* yang sangat rumit, seringkali membentuk tabung padat yang terasa seperti beludru.
4. Kauaʻi: Identik dengan **Lei** Ungu/Hijau dari buah beri **Mokihana**. Mokihana adalah buah beri yang sangat wangi, dipadukan dengan dedaunan yang unik. **Lei** ini terkenal karena aromanya yang pedas dan seperti adas manis. Karena biji Mokihana mengandung minyak, lei ini sangat awet dan melambangkan kekayaan alam Kauaʻi.
5. Molokaʻi: Pulau ini menggunakan **Lei** Hijau dari **Kukui Leaf**. Meskipun biji Kukui lebih umum, lei dari daun Kukui yang besar dan mengilap sering digunakan, melambangkan kebersamaan dan perlindungan yang kuat, sering dibuat dengan teknik *hili* atau *wili*.
Tidak semua **lei** terbuat dari bunga yang cepat layu. Banyak lei tradisional dibuat untuk bertahan seumur hidup, berfungsi sebagai pusaka keluarga:
1. Lei Niho Palaoa: Ini adalah **lei** paling berharga, terbuat dari tulang paus atau gading yang diukir menjadi kait berliku dan digantung pada untaian rambut manusia yang dianyam dengan sangat ketat. Ini adalah kalung kerajaan yang melambangkan kekuasaan, kekuatan, dan hubungan ilahi. **Lei** ini bukan karangan bunga melainkan pusaka status.
2. Lei Pūpū (Lei Cangkang): Terbuat dari ribuan cangkang laut kecil, terutama dari Niʻihau. **Lei** Niʻihau yang terkenal membutuhkan keterampilan ekstrem dan dapat dijual dengan harga ribuan dolar, mencerminkan kerumitan proses pengumpulan dan perangkaian cangkang yang sangat kecil. **Lei** cangkang adalah simbol warisan dan kekayaan alam laut.
3. Lei Hulumanu (Lei Bulu Burung): Meskipun sebagian besar spesimen kuno kini berada di museum, lei yang terbuat dari bulu burung yang diikat erat pada alas anyaman adalah simbol kekuasaan tertinggi di antara bangsawan pra-kontak. Warna-warna yang paling dicari adalah kuning dan merah, yang melambangkan dewa dan kerajaan.
Keberadaan berbagai jenis **lei**, dari yang rapuh dan wangi hingga yang kokoh dan abadi, menunjukkan bahwa **lei** adalah media ekspresi budaya yang sangat luas. Setiap **lei** berfungsi sebagai tautan fisik antara pemakainya dan lingkungan, sejarah, atau orang yang memberikannya. Tradisi lei menegaskan konsep bahwa kecantikan sejati terletak pada substansi dan makna, bukan sekadar penampilan.
Di abad ke-21, **lei** adalah industri yang signifikan, sekaligus menjadi subjek perdebatan penting mengenai konservasi dan autentisitas budaya. Permintaan global yang didorong oleh pariwisata telah mengubah cara **lei** diproduksi dan dipasarkan.
Ribuan **lei** dirangkai setiap hari di Hawaii untuk menyambut jutaan wisatawan tahunan, sebuah praktik yang secara ekonomi vital. Sebagian besar bahan bunga, seperti anggrek Dendrobium, kini diimpor dari Asia Tenggara, karena produksi domestik tidak dapat memenuhi permintaan yang sangat besar. Hanya beberapa bahan, seperti plumeria dan maile, yang masih dipanen secara lokal dalam jumlah besar. Industri ini mendukung banyak keluarga pembuat **lei** (*lei maker*) yang seringkali adalah imigran dari Filipina atau komunitas lokal yang menjaga tradisi merangkai.
Persaingan di pasar lei mendorong inovasi, tetapi juga memunculkan tantangan. **Lei** berkualitas tinggi yang dibuat dengan bunga langka, seperti Pīkake atau cangkang Niʻihau, tetap mempertahankan harga premium. Sementara itu, lei massal yang terbuat dari anggrek atau plastik (walaupun lei plastik sering dihindari) mengisi celah pasar untuk wisatawan dengan anggaran terbatas. Perbedaan harga dan kualitas ini mencerminkan dikotomi antara lei sebagai barang dagangan dan lei sebagai artefak budaya yang berharga.
Permintaan yang tinggi terhadap bahan **lei** tertentu, terutama daun Maile, telah menimbulkan kekhawatiran konservasi. Pemanenan liar dan tidak berkelanjutan (*wild harvesting*) mengancam populasi tanaman endemik di hutan hujan Hawaii. Sebagai respons, ada gerakan yang semakin besar untuk mempromosikan penanaman bahan lei secara berkelanjutan (*cultivation*), dan penggunaan bahan-bahan alternatif yang tidak membahayakan ekosistem. Kampanye ini bertujuan untuk memastikan bahwa tradisi lei dapat berlanjut tanpa merusak sumber daya alam yang menjadi esensinya.
Selain itu, terdapat upaya untuk menghormati lei yang sudah layu. **Lei** tidak boleh dibuang di tempat sampah biasa; sebaliknya, lei harus dikembalikan ke alam. Praktik tradisional menyarankan untuk menggantung **lei** di pohon, mengembalikannya ke laut, atau menguburnya, sehingga energi dan bahan organiknya dapat kembali ke bumi. Tindakan kecil ini menegaskan rasa hormat yang mendalam terhadap proses kehidupan dan kematian **lei**, serta hubungan abadi dengan *ʻāina* (tanah).
Meskipun Hawaii adalah pusat **lei** yang paling terkenal, tradisi serupa berupa karangan bunga dan ornamen tubuh ada di seluruh Polinesia dan Mikronesia. Setiap budaya pulau memiliki nama dan gaya uniknya sendiri untuk karangan bunga, menunjukkan akar budaya bersama yang berasal dari migrasi leluhur.
1. Tahiti (Hei): Di Tahiti, karangan bunga dikenal sebagai *hei*. Sama seperti lei, *hei* sering dibuat dari bunga Tiaré (Gardenia Taitensis) yang sangat harum dan melambangkan keramahan. Tahiti memiliki tradisi unik di mana penempatan *hei* menunjukkan status hubungan seseorang; jika *hei* dipakai di belakang telinga kiri, itu berarti orang tersebut telah menikah atau menjalin hubungan, sedangkan di telinga kanan berarti lajang.
2. Samoa ('Ula): Di Samoa, karangan dikenal sebagai *ʻula*. *ʻUla* secara tradisional lebih fokus pada biji-bijian, buah-buahan, dan daun yang tahan lama dibandingkan bunga. *ʻUla* Fala (terbuat dari buah pandan) adalah contoh populer, sering dipakai oleh kepala suku atau dalam upacara penting, melambangkan kekayaan dan kesuburan.
3. Tonga (Kahoa): *Kahoa* Tonga lebih sering terbuat dari bahan bertekstur seperti cangkang kerang, biji-bijian, atau bahan-bahan tenun. *Kahoa* melambangkan koneksi kekeluargaan dan status sosial. Dalam upacara modern, bunga sering ditambahkan, tetapi penekanan tetap pada daya tahan dan nilai simbolis dari bahan non-floral.
Perbedaan regional ini menyoroti bagaimana konsep dasar lei—lingkaran pemberian dan penerimaan—telah disesuaikan oleh setiap pulau untuk mencerminkan flora, hierarki sosial, dan kepercayaan spiritual mereka. Namun, benang merahnya tetap sama: karangan tersebut adalah penanda kehormatan dan hubungan.
Popularitas Hawaii sebagai tujuan wisata telah membawa **lei** ke pengakuan internasional. **Lei** telah diadopsi dan diinterpretasikan ulang dalam berbagai konteks global, dari pesta bertema tropis hingga peragaan busana. Meskipun adopsi ini terkadang mengaburkan makna spiritual aslinya, fenomena ini menunjukkan kekuatan visual dan emosional dari **lei** sebagai simbol kehangatan dan liburan.
Dalam konteks diaspora Hawaii, **lei** menjadi simbol yang kuat dari identitas dan warisan budaya. Masyarakat Hawaii yang tinggal di daratan utama AS atau di luar negeri sering menggunakan pembuatan dan pemberian **lei** sebagai cara untuk mempertahankan koneksi ke tanah air (*kama'āina*), terutama selama acara-acara penting seperti Luau, hula festival, atau upacara kelulusan.
Untuk memahami **lei** secara utuh, kita harus memahami filosofi di baliknya. Lingkaran penuh dari sebuah **lei** (kecuali Maile lei yang terbuka) adalah metafora yang kuat: ia melambangkan keabadian cinta, persahabatan, dan siklus kehidupan yang tidak pernah berakhir. Tidak ada awal, tidak ada akhir.
Aloha lebih dari sekadar sapaan; itu adalah cara hidup, sebuah konsep yang mencakup kasih sayang, kedamaian, dan kehadiran. Ketika seseorang membuat **lei** untuk orang lain, proses merangkai bunga tersebut adalah meditasi yang sarat dengan *mana* (kekuatan spiritual) dan niat baik. Setiap tusukan jarum (*kui*) adalah tindakan *Aloha* yang disengaja. Pemberian **lei** adalah transmisi energi positif ini dari satu orang ke orang lain, menciptakan lingkaran spiritual dan emosional.
Wangi yang terpancar dari sebuah **lei**, seperti dari pīkake atau plumeria, juga merupakan bagian penting dari pengalaman *Aloha*. Aroma memicu memori dan koneksi, memastikan bahwa penerima akan membawa sebagian dari kehangatan pemberi bahkan setelah **lei** itu layu.
Sebagian besar lei bunga bersifat fana; mereka akan layu, kering, dan mati dalam beberapa hari. Nilai budaya **lei** terletak pada ketidakabadiannya ini. **Lei** mengajarkan kita untuk menghargai momen yang singkat namun indah. Berbeda dengan perhiasan mahal yang dibuat untuk bertahan, **lei** berfungsi sebagai pengingat bahwa hadiah paling tulus adalah waktu, upaya, dan niat yang dimasukkan ke dalam sesuatu yang akan kembali ke bumi.
Ketika **lei** layu, tugas etisnya adalah mengembalikannya ke alam—baik dengan dilepaskan ke laut, digantung di pohon, atau dikubur. Tindakan ini disebut *hoʻihoʻi* (mengembalikan) dan merupakan pengakuan atas siklus yang diwakili oleh **lei**. **Lei** layu yang dikembalikan ke alam menunjukkan rasa hormat terhadap *akua* (dewa) dan *ʻāina* (tanah), menyelesaikan lingkaran pemberian dan penerimaan. Ini adalah filosofi inti yang menjadikan lei jauh lebih dari sekadar perhiasan.
**Lei** memegang peranan krusial dalam Hula, tarian tradisional Hawaii. Dalam konteks Hula, **lei** adalah bagian integral dari kostum dan seringkali memiliki makna ritual yang dalam. Tidak hanya sekadar dekorasi, lei adalah persembahan, perlindungan, dan penanda karakter atau cerita yang dibawakan oleh penari.
Penari Hula, atau *Hālau*, harus mengenakan minimal tiga jenis lei: lei poʻo (lei kepala), lei aʻi (lei leher), dan lei kūpeʻe (lei pergelangan tangan atau kaki). Pemilihan bahan untuk lei ini tidak dilakukan secara sembarangan. Seringkali, jenis bunga atau dedaunan yang digunakan disesuaikan dengan lagu (*mele*) yang mereka bawakan, atau dewi yang mereka hormati (misalnya, Laka, dewi Hula). Contohnya, lei dari dedaunan Palapalai sering digunakan dalam Hula karena dedaunan ini diasosiasikan dengan Laka.
Penting untuk dicatat bahwa **lei** yang dikenakan oleh penari Hula, terutama dalam konteks *hula kahiko* (hula kuno), sering kali terbuat dari bahan-bahan yang tumbuh di pegunungan, dipetik pada hari yang sama, dan dirangkai dengan meditasi khusus. Ini memastikan bahwa **lei** tersebut mengandung *mana* yang diperlukan untuk kinerja spiritual yang kuat.
Dalam seni Hula, **lei** berfungsi sebagai pembawa *mana*. Bunga-bunga dan dedaunan yang segar diyakini menyerap dan memancarkan energi alam. Ketika penari mengenakan lei, mereka menghubungkan diri mereka secara fisik dan spiritual dengan lingkungan tempat bahan-bahan tersebut tumbuh. Pelepasan aroma dari **lei** selama tarian juga dipercaya membantu penari memasuki keadaan yang lebih spiritual, menghubungkan mereka dengan leluhur dan narasi kuno.
Proses *hana lei* itu sendiri merupakan ritual persiapan yang sakral bagi penari Hula. Mereka merangkai lei mereka sendiri dengan ketenangan dan niat baik, memastikan bahwa karya seni yang mereka kenakan di tubuh mereka adalah perpanjangan dari cerita dan penghormatan mereka terhadap tradisi. Ini adalah contoh tertinggi bagaimana **lei** berfungsi sebagai jembatan antara seni, spiritualitas, dan alam di Hawaii.
**Lei** adalah inti yang berdenyut dari budaya Hawaii. Ia adalah simbol yang sangat fleksibel namun tetap teguh pada maknanya yang paling dasar: **Aloha**. Dari lei suci yang terbuat dari maile untuk para bangsawan, hingga lei plumeria yang wangi sebagai penyambutan bagi setiap pengunjung, setiap untaian bunga atau bahan alam lainnya membawa beban sejarah, kasih sayang, dan penghormatan mendalam terhadap tradisi *hana lei*.
Mempelajari **lei** mengajarkan kita tentang siklus hidup dan pentingnya memberi tanpa mengharapkan imbalan. Keindahan abadi dari tradisi ini terletak pada pengakuan bahwa hadiah yang paling bermakna adalah yang dibuat dengan tangan dan hati, bahkan jika keindahannya hanya bertahan sesaat. Proses merangkai, etiket pemberian, dan filosofi pengembalian **lei** yang layu ke alam semuanya menegaskan hubungan yang tidak terpisahkan antara rakyat Hawaii dan *ʻāina* (tanah mereka).
Dalam dunia yang terus berubah dan bergerak cepat, lei berfungsi sebagai jangkar, mengingatkan kita akan pentingnya koneksi manusia yang tulus. Baik sebagai simbol status, persembahan ritual, atau sekadar tanda sambutan yang hangat, **lei** tetap menjadi mahakarya tak terpisahkan dari Kepulauan Pasifik. Ia adalah lingkaran abadi yang melingkari leher, menjalin kita semua dalam semangat Aloha yang universal dan tak lekang oleh waktu.
Seluruh tradisi seputar lei—mulai dari pemilihan bunga yang hati-hati, teknik *haku* yang rumit, hingga cerita yang diwariskan dalam setiap **lei** cangkang Niʻihau—adalah bukti warisan yang tak ternilai. Apresiasi terhadap **lei** adalah apresiasi terhadap budaya yang menjunjung tinggi keindahan alam, keramahan, dan koneksi spiritual. Tradisi **lei** akan terus mekar, mewarnai setiap momen penting dalam kehidupan masyarakat Hawaii dan dunia.