Visualisasi batas yang memisahkan inti (pusat) dari elemen yang berada di pinggiran (marginal).
Konsep marginalitas adalah salah satu lensa paling krusial dalam memahami dinamika masyarakat, ekonomi, dan lingkungan. Jauh melampaui sekadar definisi 'tepi' atau 'pinggiran', marginalitas mewakili sebuah kondisi struktural—posisi yang ditentukan oleh interaksi kekuatan, kebijakan, dan norma sosial yang menempatkan individu atau kelompok pada batas-batas pengakuan, sumber daya, dan kekuasaan. Ini adalah sebuah kondisi eksistensial yang mempengaruhi akses terhadap peluang dan kemampuan seseorang untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dalam tulisan ini, kita akan membongkar lapisan-lapisan rumit dari marginalitas. Kita tidak hanya akan melihat bagaimana konsep ini diterapkan dalam teori ekonomi klasik mengenai biaya dan manfaat, tetapi juga bagaimana ia termanifestasi dalam realitas sosiologis dan geografis, menciptakan zona-zona ketidaksetaraan yang mendalam. Pemahaman yang komprehensif tentang marginalitas menuntut kita untuk mengakui bahwa batas-batas ini tidaklah alami, melainkan konstruksi sosial yang dapat dibongkar dan direvisi.
Istilah marginal memiliki asal-usul yang berbeda, masing-masing membawa beban interpretasi yang unik. Di satu sisi, ia adalah konsep analitis yang dingin dan matematis; di sisi lain, ia adalah kondisi manusia yang dipenuhi tantangan dan perjuangan. Konflik antara kedua interpretasi ini membentuk dasar kompleksitas pembahasan marginalitas.
Dalam ilmu ekonomi, marginalitas merujuk pada perubahan tambahan—perubahan yang terjadi akibat penambahan satu unit input atau output. Konsep ini, yang menjadi inti dari Revolusi Marginalis pada akhir abad ke-19, adalah alat fundamental untuk memahami bagaimana keputusan dibuat pada batas-batas sumber daya.
Konsep utilitas marginal menyatakan bahwa kepuasan tambahan (utilitas) yang diperoleh konsumen dari mengonsumsi satu unit barang tambahan cenderung menurun seiring dengan bertambahnya jumlah barang yang dikonsumsi. Penurunan utilitas marginal inilah yang menjelaskan kurva permintaan miring ke bawah dan bagaimana konsumen membuat pilihan rasional. Misalnya, segelas air pertama memberikan utilitas yang sangat tinggi bagi seseorang yang haus, namun segelas air kesepuluh mungkin hampir tidak memberikan utilitas tambahan, bahkan bisa menyebabkan disutilitas.
Sebaliknya, biaya marginal (Marginal Cost, MC) adalah biaya tambahan yang dikeluarkan untuk memproduksi satu unit output tambahan. Dalam konteks perusahaan, keputusan untuk terus memproduksi didasarkan pada perbandingan antara Pendapatan Marginal (MR) dan Biaya Marginal (MC). Produksi akan dilanjutkan selama MR > MC. Ketika MR = MC, perusahaan mencapai titik optimal. Batasan keputusan ini, batas di mana keuntungan atau kerugian dimulai, adalah esensi dari penalaran marginal dalam ekonomi. Kegagalan memahami batas-batas biaya dan keuntungan ini dapat mengakibatkan perusahaan beroperasi di luar efisiensi optimal, menempatkannya pada posisi yang secara ekonomi dianggap 'marginal' atau rentan.
Hukum hasil yang semakin berkurang (Law of Diminishing Marginal Returns) mendefinisikan batas efisiensi. Jika terus menerus menambahkan satu faktor produksi (misalnya tenaga kerja) sementara faktor lain (misalnya modal) tetap, pada akhirnya, output tambahan yang dihasilkan oleh setiap unit tenaga kerja baru akan semakin kecil. Titik di mana penambahan input tidak lagi menghasilkan peningkatan output yang proporsional adalah batas marginal dari produktivitas. Pemahaman akan batas ini penting tidak hanya dalam pertanian, tetapi juga dalam manajemen proyek dan alokasi sumber daya secara umum. Dalam skala makro, negara-negara yang beroperasi di luar batas efisiensi ini sering kali terjebak dalam perangkap pembangunan yang marginal, di mana investasi tambahan tidak menghasilkan pertumbuhan yang diharapkan.
Berpindah dari perhitungan matematis, dalam sosiologi, marginalitas adalah deskripsi kekuasaan dan akses. Kelompok yang marginal adalah mereka yang berada di pinggiran sistem sosial, politik, atau ekonomi dominan. Mereka mungkin secara fisik hadir dalam masyarakat, namun secara struktural tidak terintegrasi sepenuhnya atau secara sistematis dikecualikan dari manfaat dan representasi yang dinikmati oleh kelompok inti.
Marginalitas sosial sering kali merupakan hasil dari diskriminasi berbasis ras, etnis, gender, disabilitas, atau status ekonomi. Kelompok-kelompok ini menghadapi hambatan sistemik dalam mengakses pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, pekerjaan bergaji layak, dan partisipasi politik yang efektif. Eksklusi ini bukan sekadar ketidakhadiran, tetapi penindasan aktif yang menjaga jarak antara kelompok inti dan kelompok pinggiran. Sosiolog sering kali merujuk pada model pusat-pinggiran, di mana sumber daya mengalir dari pinggiran (daerah atau kelompok marginal) ke pusat (kelompok dominan), memperkuat ketidaksetaraan yang sudah ada.
Seseorang yang marginal seringkali berada dalam posisi liminal—posisi antara dua dunia, tanpa sepenuhnya menjadi bagian dari salah satunya. Imigran generasi pertama atau kedua, misalnya, mungkin menghadapi konflik identitas antara budaya asal dan budaya tuan rumah. Mereka berada di tepi, di mana norma-norma berbenturan. Sosiolog Robert Park pertama kali menggunakan istilah 'manusia marginal' untuk menggambarkan individu yang hidup dalam dua budaya tanpa sepenuhnya berakar pada salah satunya, menghadapi ambivalensi dan seringkali tekanan psikologis yang signifikan akibat status yang tidak jelas ini. Status liminal ini, meskipun sulit, juga dapat menjadi sumber kreativitas dan perspektif unik yang mampu menjembatani perbedaan.
Di tingkat sosial, marginalitas bukan hanya kemiskinan; ia adalah kurangnya suara dan pengakuan. Pengucilan dapat terjadi melalui mekanisme formal (hukum yang diskriminatif) maupun informal (prasangka dan stereotip kolektif). Bagian ini mendalami bagaimana struktur sosial menciptakan dan mempertahankan batas-batas yang memarginalkan.
Meskipun marginalitas melampaui kemiskinan, keduanya sering tumpang tindih. Kelompok yang secara struktural marginal cenderung berada dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputus. Mereka memiliki sedikit modal manusia (pendidikan rendah), sedikit modal sosial (jaringan terbatas), dan seringkali tinggal di zona geografis yang juga marginal.
Salah satu manifestasi paling nyata dari marginalitas adalah akses yang terbatas atau berkualitas rendah terhadap layanan publik dasar. Di wilayah pinggiran kota atau pedesaan terpencil, fasilitas pendidikan mungkin kurang memadai, layanan kesehatan jauh, dan infrastruktur dasar (air bersih, sanitasi, listrik) seringkali tidak stabil atau tidak ada sama sekali. Kualitas layanan yang marginal ini secara efektif mengurangi peluang kelompok tersebut untuk meningkatkan status sosio-ekonomi mereka, menciptakan siklus marginalisasi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kelompok marginal seringkali terkonsentrasi di sektor informal atau pekerjaan yang rentan (precarious work). Mereka mungkin bekerja tanpa kontrak formal, jaminan sosial, atau perlindungan hukum, membuat mereka sangat rentan terhadap guncangan ekonomi. Bahkan ketika mereka memiliki kualifikasi, bias tersembunyi dalam proses rekrutmen dapat menempatkan mereka pada posisi yang kurang diuntungkan dibandingkan pesaing dari kelompok dominan. Ini adalah marginalitas yang terlihat dalam upah yang lebih rendah untuk pekerjaan yang sama, dan kesempatan promosi yang terhambat.
Marginalitas tidak hanya tentang apa yang dimiliki seseorang (ekonomi), tetapi juga bagaimana mereka dipersepsikan oleh masyarakat (kultural). Pengucilan simbolik dapat sama merusaknya dengan pengucilan material.
Kelompok yang dimarginalkan seringkali menjadi objek stigma sosial—cap negatif yang dilekatkan pada identitas mereka. Stigma ini berfungsi sebagai mekanisme pembenaran bagi kelompok dominan untuk mempertahankan ketidaksetaraan. Misalnya, stereotip mengenai kemalasan atau kecenderungan kriminal yang dilekatkan pada kelompok etnis tertentu secara efektif membenarkan mengapa mereka memiliki akses yang lebih buruk terhadap peluang. Stigma ini menciptakan batas psikologis yang sulit ditembus, bahkan ketika hambatan material telah diatasi. Individu harus terus-menerus berjuang melawan narasi negatif yang diproyeksikan kepada mereka.
Kelompok marginal hampir selalu memiliki representasi politik yang minim. Jika mereka memiliki perwakilan, suara mereka seringkali diabaikan dalam pembentukan kebijakan. Hilangnya suara ini berarti kebutuhan spesifik mereka—terkait bahasa, budaya, atau tantangan geografis—tidak tercermin dalam undang-undang atau alokasi anggaran. Mereka menjadi kelompok yang kebijakan publiknya dirancang oleh orang lain, tanpa konsultasi yang berarti. Ini adalah bentuk marginalitas politik yang kronis, di mana eksistensi mereka hanya diakui sebagai subjek penerima bantuan, bukan sebagai agen penentu nasib.
Geografi memainkan peran sentral dalam mendefinisikan siapa yang marginal dan siapa yang berada di pusat. Marginalitas spasial berkaitan dengan lokasi fisik yang secara strategis, politis, atau ekonomis dianggap sebagai 'pinggiran' atau zona penyangga yang rentan.
Teori ketergantungan (Dependency Theory) dan analisis sistem dunia sering menggunakan dualisme pusat-pinggiran untuk menjelaskan ketidaksetaraan global. Namun, dualisme ini juga berlaku pada skala nasional dan lokal, memisahkan metropolis kaya dari pedesaan miskin atau kawasan kumuh dari kawasan bisnis elit.
Di dalam kota yang makmur, terdapat kantong-kantong marginalitas. Kawasan kumuh, atau permukiman informal, adalah manifestasi fisik dari eksklusi struktural. Penduduk di sini berada di tepi legalitas, sering kali tinggal di tanah yang rentan terhadap bencana atau di bawah ancaman penggusuran. Infrastruktur informal mereka—listrik curian, sanitasi seadanya—menunjukkan bagaimana otoritas kota secara implisit menempatkan mereka di luar batas perencanaan dan layanan resmi. Kawasan ini bukan hanya lokasi geografis yang terpinggirkan, tetapi juga tempat di mana hukum dan norma sosial beroperasi secara berbeda, menciptakan zona abu-abu di tepi masyarakat modern.
Sebaliknya, marginalitas juga mendefinisikan daerah pedesaan yang secara geografis terisolasi. Infrastruktur transportasi yang buruk, keterbatasan akses internet, dan jarak yang jauh dari pasar atau pusat administrasi membuat daerah ini secara ekonomi tidak menarik bagi investasi. Meskipun memiliki kekayaan sumber daya alam, penduduk lokal seringkali tidak mendapatkan manfaat, sementara sumber daya tersebut dieksploitasi oleh kepentingan pusat. Daerah perbatasan negara (borderlands) juga mengalami bentuk marginalitas yang unik, di mana mereka rentan terhadap konflik, penyelundupan, dan seringkali dianggap sebagai zona penyangga keamanan daripada sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Isolasi ini memperkuat siklus ketergantungan dan keterbelakangan, menempatkan mereka secara permanen di posisi subaltern dalam hierarki pembangunan.
Kelompok yang paling marginal seringkali adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Marginalitas ekologis adalah posisi yang ditempati oleh mereka yang dipaksa hidup di lingkungan yang tidak stabil atau berbahaya.
Pemukiman informal di perkotaan sering terletak di bantaran sungai yang rentan banjir, lereng bukit yang rawan longsor, atau di dekat lokasi industri yang tercemar. Kurangnya kepemilikan lahan yang sah dan keterbatasan pilihan perumahan memaksa kelompok marginal untuk menerima risiko lingkungan ini. Ketika bencana terjadi, mereka adalah yang pertama terkena dampak dan yang terakhir menerima bantuan pemulihan. Marginalitas ekologis ini menunjukkan bahwa kerentanan bukan hanya masalah nasib, tetapi konsekuensi langsung dari kegagalan tata ruang dan keadilan sosial.
Dalam konteks sumber daya alam, masyarakat adat dan komunitas tradisional sering kali didorong ke batas-batas (hutan yang tersisa, lahan kering) sebagai akibat dari ekspansi agribisnis atau proyek infrastruktur skala besar. Mereka dimarginalkan dari akses terhadap tanah leluhur dan air, yang merupakan dasar dari mata pencaharian dan identitas budaya mereka. Pertarungan atas hak-hak lingkungan adalah perjuangan melawan marginalitas yang berusaha menghapus keberadaan mereka dari peta pembangunan ekonomi modern.
Marginalitas bukan hanya fenomena eksternal berupa hambatan fisik atau ekonomi; ia juga meninggalkan jejak mendalam pada kesehatan mental dan psikologi individu. Hidup di batas-batas pengakuan sosial membawa beban emosional yang konstan.
Individu yang berada dalam posisi marginal seringkali mengalami apa yang disebut 'stres minoritas.' Ini adalah stres kronis yang diakibatkan oleh pengalaman diskriminasi, prasangka, dan stigma sehari-hari. Berbeda dengan stres umum, stres minoritas tidak hanya bersifat episodik, tetapi merupakan keadaan kewaspadaan yang konstan.
Orang yang terpinggirkan harus terus-menerus memantau lingkungan mereka untuk tanda-tanda ancaman atau diskriminasi (vigilance). Mereka harus berpikir dua kali tentang bagaimana penampilan mereka, cara mereka berbicara, atau di mana mereka berada. Beban kognitif untuk selalu 'mengelola' persepsi orang lain terhadap identitas marginal mereka sangat melelahkan. Energi mental yang digunakan untuk menavigasi ruang yang tidak bersahabat ini mengurangi sumber daya yang dapat mereka gunakan untuk tugas-tugas produktif lainnya, seperti belajar atau bekerja, yang pada akhirnya memperkuat posisi mereka yang marginal.
Dalam kasus yang parah, marginalitas dapat terinternalisasi. Ini terjadi ketika individu mulai mempercayai narasi negatif dan stereotip yang dilekatkan masyarakat pada kelompok mereka. Tekanan terinternalisasi (internalized oppression) dapat menyebabkan rendahnya harga diri, kurangnya ambisi, dan bahkan kebencian terhadap diri sendiri atau kelompok mereka sendiri. Kondisi ini memperparah kesulitan untuk mencapai mobilitas sosial karena keyakinan diri yang sudah terkikis sebelum mereka mencoba bersaing di arena sosial yang didominasi.
Kapital sosial, yang merupakan nilai dari jaringan dan hubungan, adalah aset penting untuk kesuksesan. Kelompok marginal seringkali kekurangan modal ini, terutama 'modal sosial menjembatani' (bridging capital) yang menghubungkan mereka dengan kelompok di luar komunitas dekat mereka.
Masyarakat yang marginal cenderung mengembangkan kapital sosial yang bersifat 'mengikat' (bonding capital)—jaringan yang kuat di dalam kelompok mereka sendiri yang menawarkan dukungan emosional dan pertahanan terhadap ancaman eksternal. Namun, jaringan ini seringkali homogen dan tidak memiliki koneksi ke pusat kekuasaan, sumber daya, atau informasi (bridging capital). Akibatnya, mereka mungkin tahu bagaimana bertahan hidup di lingkungan marginal, tetapi kesulitan mendapatkan informasi tentang peluang kerja atau pendidikan di luar batas komunitas mereka.
Keterbatasan jaringan ini menciptakan batas yang sangat nyata dalam mobilitas sosial. Jika informasi dan peluang hanya beredar di kalangan inti, maka kelompok yang terpinggirkan akan selalu berada satu langkah di belakang, terlepas dari potensi individual mereka. Ini adalah contoh di mana ketidakadilan struktural diperkuat oleh isolasi jaringan, menempatkan individu dalam posisi yang terus menerus marginal dalam akses informasi strategis.
Meskipun marginalitas adalah kondisi yang menekan, ia tidak pasif. Individu dan komunitas yang terpinggirkan menunjukkan tingkat ketahanan dan agensi yang luar biasa, berjuang untuk menata ulang batas-batas dan menciptakan ruang mereka sendiri.
Ketika pasar formal menolak mereka, kelompok marginal menciptakan ekonomi mereka sendiri. Ekonomi informal bukan hanya pasar gelap; seringkali ini adalah sistem rumit berupa usaha kecil, pedagang kaki lima, dan layanan berbasis komunitas yang mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh sektor formal.
Pekerja di sektor informal menunjukkan kemampuan beradaptasi dan inovasi yang tinggi, memanfaatkan sumber daya yang sangat terbatas. Seorang pedagang kaki lima yang harus menghindari penertiban, misalnya, mengembangkan jaringan informasi yang cepat, teknik pengemasan yang efisien, dan strategi pemasaran yang berani, semua dilakukan di batas-batas legalitas. Ekonomi ini, meskipun rentan, adalah tulang punggung kehidupan banyak kelompok marginal. Mengakui ekonomi informal sebagai strategi ketahanan, alih-alih hanya sebagai masalah, adalah langkah pertama menuju integrasi yang lebih adil.
Di dalam komunitas marginal, sistem dukungan timbal balik (misalnya arisan, pinjaman antar tetangga) menjadi krusial. Sistem ini bertindak sebagai jaring pengaman sosial yang tidak disediakan oleh negara. Solidaritas ini adalah bentuk agensi kolektif yang menentang isolasi yang dipaksakan oleh marginalitas. Kekuatan kolektif ini memungkinkan mereka untuk menghadapi penggusuran, bencana, dan krisis ekonomi dengan daya tahan yang melebihi kemampuan individu.
Banyak perjuangan melawan marginalitas berpusat pada penegasan identitas dan klaim atas ruang. Ketika identitas telah digunakan sebagai alat untuk memarginalkan, penegasan kembali identitas menjadi alat perlawanan.
Masyarakat adat atau minoritas etnis yang terpinggirkan sering kali menggunakan revitalisasi bahasa, ritual, dan pengetahuan tradisional mereka sebagai sarana untuk menegaskan nilai dan keberadaan mereka di mata masyarakat yang lebih besar. Tindakan ini menantang hierarki budaya yang menempatkan budaya dominan sebagai pusat dan budaya minoritas sebagai marginal atau primitif. Perjuangan untuk diakui—seperti menuntut pendidikan dalam bahasa ibu atau pengakuan atas hak ulayat—adalah upaya untuk menarik batas pinggiran lebih dekat ke pusat pengakuan sosial dan hukum.
Aktivisme perkotaan seringkali melibatkan upaya untuk merebut kembali ruang yang telah menolak mereka. Misalnya, gerakan penghuni kawasan kumuh yang berorganisasi untuk menuntut perbaikan infrastruktur di tempat tinggal mereka, atau seniman grafiti yang menggunakan dinding-dinding kota untuk menyuarakan pengalaman marginal. Tindakan ini bersifat spasial dan simbolik, menegaskan bahwa mereka memiliki hak untuk berada di kota dan bahwa batas-batas eksklusi yang ditarik oleh kebijakan kota harus dihapus. Mereka mengubah ruang marginal menjadi ruang perlawanan dan keberadaan yang terlihat.
Mengatasi marginalitas memerlukan intervensi struktural yang komprehensif, bukan hanya program bantuan sesaat. Ini menuntut pergeseran paradigma dari mengelola kemiskinan menjadi membongkar eksklusi.
Kebijakan ekonomi harus secara eksplisit menargetkan integrasi kelompok marginal ke dalam pasar formal, sambil meningkatkan produktivitas di wilayah-wilayah yang terpinggirkan.
Dalam konteks ekonomi pembangunan, fokus harus beralih dari sekadar mengejar pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) menjadi investasi yang secara strategis ditujukan pada infrastruktur dan pendidikan di daerah marginal (infrastruktur infra-marginal). Ini mencakup pembangunan jalan yang menghubungkan desa terpencil ke pasar utama, perluasan akses internet berkualitas tinggi, dan pembangunan sekolah kejuruan yang sesuai dengan kebutuhan lokal. Tujuannya adalah mengurangi biaya transaksi bagi penduduk marginal, sehingga partisipasi mereka dalam ekonomi formal menjadi lebih efisien dan menguntungkan.
Mengabaikan sektor informal hanya memperpanjang marginalitas. Formalisasi harus dilakukan secara bertahap dan suportif, bukan represif. Ini melibatkan penyediaan insentif—akses ke pinjaman mikro, pelatihan manajemen bisnis, dan jaminan sosial minimal—sebagai imbalan atas kepatuhan pajak dan registrasi. Dengan memberikan pengakuan hukum dan perlindungan, pekerja yang dulunya marginal dapat memperoleh stabilitas yang diperlukan untuk berinvestasi dalam peningkatan keterampilan dan perluasan usaha mereka, menggeser mereka dari batas rentan menuju pusat ekonomi yang lebih aman.
Perencanaan kota dan tata ruang harus berprinsip pada keadilan spasial, memastikan bahwa sumber daya didistribusikan secara merata, dan bahwa kelompok marginal tidak dipaksa menempati zona risiko.
Perencanaan kota modern harus menolak model pusat-pinggiran yang usang. Investasi harus dialihkan dari megaproyek di pusat kota menuju pembangunan layanan desentralisasi di pinggiran. Menciptakan pusat-pusat sekunder (sub-pusat) yang memiliki layanan kesehatan, sekolah, dan peluang kerja dapat mengurangi tekanan pada pusat utama dan secara fundamental mengurangi marginalitas geografis. Ini juga memerlukan program kepemilikan lahan yang adil, memberikan kepastian hukum kepada penduduk kawasan kumuh, sehingga mereka termotivasi untuk meningkatkan kondisi tempat tinggal mereka tanpa takut digusur.
Dalam menghadapi krisis iklim, kebijakan mitigasi dan adaptasi harus memiliki lensa keadilan. Sumber daya untuk membangun infrastruktur ketahanan iklim (seperti tembok laut atau sistem peringatan dini) harus diprioritaskan di komunitas marginal yang paling rentan. Selain itu, pertimbangan harus diberikan pada kelompok yang kehilangan mata pencaharian akibat perubahan lingkungan—petani yang lahannya menjadi marginal karena kekeringan atau nelayan yang terpengaruh oleh kenaikan permukaan air laut. Program transfer tunai bersyarat atau pelatihan ulang kerja adalah contoh intervensi yang dapat mencegah kelompok ini terdorong lebih jauh ke batas kemiskinan yang tidak dapat diubah.
Upaya untuk mengatasi marginalitas juga harus berhadapan dengan cara kita memahami dan mengukur fenomena tersebut. Pengukuran yang tidak memadai seringkali membuat kelompok marginal 'tidak terlihat' dalam data resmi, yang secara tidak langsung memperkuat pengucilan mereka.
Secara tradisional, marginalitas sering diukur hanya melalui indikator pendapatan (monetary poverty). Namun, karena marginalitas bersifat multidimensi—melibatkan akses, partisipasi, dan pengakuan—pengukuran satu dimensi gagal menangkap realitas penuh dari eksklusi.
Indeks kemiskinan multidimensi (Multidimensional Poverty Index, MPI) menawarkan kerangka kerja yang lebih baik dengan memasukkan indikator seperti kualitas perumahan, tahun sekolah yang diselesaikan, dan akses terhadap layanan dasar. Namun, bahkan MPI terkadang gagal menangkap dimensi kualitatif dari marginalitas, seperti perasaan tidak berdaya, stigma sosial, atau diskriminasi tersembunyi. Untuk benar-benar memahami siapa yang marginal, diperlukan penelitian kualitatif yang mendalam, yang memberikan ruang bagi suara-suara di pinggiran untuk mendefinisikan pengalaman eksklusi mereka sendiri.
Kelompok yang paling terpinggirkan—seperti pekerja migran yang tidak terdaftar, anak-anak yang tidak bersekolah di daerah konflik, atau penduduk pemukiman informal yang tidak diakui secara resmi—seringkali dihilangkan dari sensus dan survei nasional. 'Invisibilitas' statistik ini memiliki konsekuensi praktis yang serius: jika mereka tidak tercatat, kebutuhan mereka tidak dapat dimasukkan dalam perencanaan anggaran dan alokasi sumber daya. Dengan demikian, marginalitas statistik menjadi prasyarat untuk marginalitas kebijakan, menciptakan lingkaran setan di mana kelompok di batas tidak pernah dilihat, dan oleh karena itu, tidak pernah dilayani.
Ketika kebijakan dirancang untuk membantu kelompok marginal, seringkali ada risiko paternalisme atau intervensi yang tidak sensitif terhadap budaya.
Intervensi yang berasal dari pusat kekuasaan seringkali didasarkan pada asumsi bahwa kelompok marginal pasif dan perlu 'diselamatkan.' Pendekatan paternalistik ini mengabaikan agensi dan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh komunitas tersebut. Program yang berhasil adalah program yang dibangun dari bawah ke atas, menghormati strategi ketahanan yang sudah ada, dan memberdayakan komunitas untuk menjadi arsitek solusi mereka sendiri. Kegagalan untuk melibatkan mereka secara otentik hanya akan menempatkan kelompok marginal dalam posisi yang lebih rendah, sebagai penerima pasif, dan memperkuat hubungan kekuasaan yang tidak setara.
Dalam upaya untuk 'mengintegrasikan' kelompok marginal, ada risiko memaksakan homogenisasi kultural. Masyarakat adat, misalnya, mungkin menuntut pengakuan dan dukungan untuk cara hidup mereka yang khas, bukan asimilasi total ke dalam budaya dominan. Etika intervensi menuntut pengakuan bahwa ada nilai dalam pluralitas dan bahwa 'integrasi' tidak boleh berarti penghapusan identitas marginal. Transformasi yang adil adalah transformasi yang menghargai batas-batas kultural sambil menghilangkan batas-batas eksklusi ekonomi dan politik.
Marginalitas, baik dilihat melalui lensa utilitas tambahan dalam ekonomi mikro atau melalui kacamata pengucilan sistemik dalam sosiologi, adalah kondisi universal yang menghambat potensi manusia dan stabilitas sosial. Batas-batas yang diciptakan oleh marginalitas—antara biaya yang rasional dan kerugian manusia yang tak terukur—menuntut perhatian yang terperinci dan upaya kolektif yang berkelanjutan. Batasan-batasan ini bukanlah hasil alamiah dari perbedaan individu, melainkan konsekuensi dari pilihan struktural dan distribusi kekuasaan yang tidak adil.
Mengurai marginalitas menuntut lebih dari sekadar alokasi sumber daya yang lebih besar. Ini memerlukan perombakan mendasar dari cara masyarakat dan negara melihat mereka yang berada di pinggiran. Dibutuhkan pengakuan atas agensi dan ketahanan yang luar biasa yang ditunjukkan oleh komunitas marginal—kemampuan mereka untuk berinovasi dalam keterbatasan dan menciptakan makna di tengah eksklusi. Perjuangan melawan marginalitas pada akhirnya adalah perjuangan untuk inklusivitas sejati—sebuah masyarakat di mana batas-batas eksklusi dihapus, dan setiap individu, terlepas dari posisi awalnya, memiliki akses penuh untuk berpartisipasi dan menentukan nasibnya sendiri tanpa dibatasi oleh posisi struktural yang marginal.