Marhabanan: Tradisi Menyambut, Filosofi, dan Keagungan Shalawat

Menyelami Kedalaman Budaya dan Spiritualitas Nusantara

Ilustrasi Marhabanan Ilustrasi komunitas Muslim yang sedang melakukan tradisi Marhabanan dengan melantunkan sholawat, direpresentasikan oleh figur duduk melingkar dan kitab suci.

Pendahuluan: Definisi dan Makna Kata Marhabanan

Tradisi Marhabanan merupakan salah satu manifestasi spiritual dan sosial yang mengakar kuat dalam kebudayaan Muslim di Nusantara, khususnya di Indonesia. Kata ‘Marhabanan’ sendiri berasal dari kata serapan bahasa Arab, ‘Marhaban’ (مَرْحَبًا), yang secara harfiah berarti ‘selamat datang’ atau ‘menyambut dengan lapang dada’. Namun, dalam konteks keagamaan dan budaya Indonesia, Marhabanan telah berkembang menjadi sebuah ritual komunal yang jauh lebih kompleks, seringkali merujuk pada pembacaan kisah-kisah perjalanan Nabi Muhammad ﷺ, pujian-pujian (shalawat), dan doa, yang dilaksanakan untuk berbagai tujuan mulia.

Secara umum, tradisi ini dilaksanakan dalam beberapa momen penting: menyambut kelahiran bayi (akikah), merayakan Maulid Nabi, atau sebagai bagian dari ritual syukuran lainnya. Esensi utama dari Marhabanan bukanlah sekadar ritual lisan, melainkan sebuah upaya kolektif untuk menumbuhkan rasa cinta (mahabbah) yang mendalam kepada Rasulullah, sekaligus mempererat tali silaturahmi antaranggota masyarakat.

Tradisi ini telah diwariskan secara turun temurun melalui jalur pesantren dan majelis taklim, membuktikan kekuatannya sebagai jembatan antara ajaran Islam klasik dengan praktik budaya lokal. Dalam setiap lantunan dan bait syair yang dibacakan, terkandung nilai sejarah, teologis, dan etis yang berfungsi sebagai panduan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, memahami Marhabanan berarti menyelami samudra sejarah dan spiritualitas Islam di Indonesia yang kaya akan sinkretisme dan adaptasi budaya yang harmonis.

Akar Sejarah dan Konteks Teologis Marhabanan

Untuk memahami kedalaman Marhabanan, kita harus menelusuri bagaimana tradisi memuji Nabi Muhammad ﷺ berkembang dalam sejarah Islam. Meskipun istilah ‘Marhabanan’ secara spesifik adalah terminologi lokal Nusantara, praktik dasar yang menjadi intinya—yaitu melantunkan shalawat dan membaca riwayat hidup Nabi—memiliki landasan kuat dalam sejarah Islam klasik.

Asal Muasal Tradisi Shalawat

Inti dari Marhabanan adalah shalawat, sebuah perintah ilahi yang disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an (QS. Al-Ahzab: 56). Praktik melantunkan shalawat telah ada sejak masa sahabat. Namun, bentuk komunal dan melodis yang kita kenal sekarang mulai berkembang pesat pada masa setelah periode klasik, khususnya selama masa kejayaan tasawuf (sufisme). Para sufi memandang shalawat sebagai jalan tercepat untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui kecintaan kepada Rasul-Nya.

Hubungan dengan Maulid Nabi

Perkembangan Marhabanan tidak bisa dilepaskan dari perayaan Maulid Nabi. Walaupun perayaan ini baru populer secara formal pada masa Dinasti Fatimiyah di Mesir dan kemudian distandarisasi oleh Sultan Al-Malik Al-Mudzaffar di Irbil (Irak) pada abad ke-13 Masehi, tujuannya adalah sama: mengisahkan dan mengagungkan Nabi. Kitab-kitab yang menjadi rujukan utama Marhabanan, seperti Al-Barzanji, Al-Diba’i, dan Simtud Duror, semuanya ditulis dalam konteks memuliakan kelahiran dan perjalanan hidup Nabi.

Seiring waktu, ketika Islam masuk ke Nusantara, para ulama lokal (Wali Songo dan penerusnya) menggunakan tradisi shalawat ini sebagai metode dakwah yang efektif. Ritual komunal yang meriah, diiringi instrumen musik tradisional seperti rebana atau hadroh, menjadikan ajaran Islam mudah diterima dan dihayati oleh masyarakat, menggantikan ritual-ritual pra-Islam dengan nuansa Islami yang kental.

Peran Ulama dan Kitab Rujukan

Penyebaran tradisi Marhabanan di Indonesia sangat didukung oleh para ulama yang membawa dan mengajarkan kitab-kitab shalawat populer. Kitab-kitab ini tidak hanya memuat pujian, tetapi juga narasi biografi (sirah nabawiyah) yang mendidik.

Adanya kitab-kitab inilah yang memberikan struktur baku pada ritual Marhabanan, membedakannya dari sekadar pembacaan shalawat biasa. Pembacaan kitab-kitab tersebut selalu diselingi dengan tradisi “mahalul qiyam”—berdiri tegak sebagai penghormatan ketika mencapai bagian yang mengisahkan kelahiran Nabi secara spesifik—sebuah momen klimaks yang penuh haru dan spiritualitas.

Anatomi Ritual Marhabanan: Komponen dan Tata Cara Pelaksanaan

Pelaksanaan Marhabanan memiliki tata cara yang terstruktur, meskipun terdapat variasi lokal. Secara umum, ritual ini terdiri dari beberapa fase utama yang saling terkait, menciptakan harmoni antara pembacaan teks, lantunan musik, dan ekspresi spiritualitas komunal.

Fase Pembukaan dan Pembacaan Ayat Suci

Setiap acara Marhabanan biasanya diawali dengan pembukaan formal oleh pemimpin majelis, diikuti dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an, seringkali surah-surah pendek atau bagian yang relevan dengan tema syukuran atau kelahiran. Pembukaan ini berfungsi untuk menenangkan suasana dan membawa hadirin ke dalam nuansa spiritual.

Inti Pembacaan Rawi (Kisah Nabi)

Fase ini adalah jantung dari Marhabanan, di mana kitab Rawi (seperti Barzanji, Diba’i, atau Simtud Duror) mulai dibacakan. Pembacaan dilakukan secara bergantian (berkelompok atau solo), sering kali diiringi oleh kelompok musik Hadroh atau Rebana.

Harmonisasi Bacaan dan Musik (Hadroh/Rebana)

Peran alat musik dalam Marhabanan sangat vital. Rebana atau Hadroh tidak hanya berfungsi sebagai iringan, tetapi juga sebagai penanda tempo dan mood dari setiap bagian. Misalnya, ketika memasuki bagian pujian tentang keindahan fisik Nabi (syama'il), irama mungkin akan lebih lembut dan melankolis. Sebaliknya, saat menceritakan perjuangan Nabi (ghazwah), irama bisa menjadi lebih tegas.

Mahalul Qiyam: Puncak Ekspresi Mahabbah

Ketika pembacaan Rawi mencapai bait yang mengisahkan saat kelahiran Nabi, seluruh hadirin serentak berdiri (Mahalul Qiyam). Momen ini adalah puncaknya. Secara spiritual, tindakan berdiri melambangkan penyambutan kehadiran spiritual Nabi di tengah majelis. Pujian yang dilantunkan pada saat ini adalah shalawat khusus yang biasanya sangat emosional, seperti “Ya Nabi Salam ‘Alaika” atau sejenisnya. Mahalul Qiyam adalah manifestasi kolektif dari rasa rindu dan hormat yang tulus.

Fase Penutup dan Doa

Setelah Mahalul Qiyam, pembacaan shalawat dilanjutkan sebentar sebelum ditutup dengan pembacaan doa. Doa ini biasanya sangat panjang dan komprehensif, mencakup permohonan keberkahan bagi orang yang mengadakan acara (shahibul hajat), memohon ampunan, kesehatan, rezeki, dan keselamatan dunia akhirat. Doa penutup ini mengikat seluruh rangkaian spiritual ke dalam sebuah permohonan yang terstruktur kepada Allah SWT.

Telaah Mendalam Kitab-Kitab Rujukan Utama Marhabanan

Kekayaan Marhabanan terletak pada teks-teks yang dilantunkan. Tiga kitab utama yang paling sering digunakan, Barzanji, Diba’i, dan Simtud Duror, masing-masing memiliki karakteristik, gaya bahasa, dan fokus naratif yang unik, meskipun semuanya berpusat pada sirah dan pujian Nabi.

1. Maulid Al-Barzanji: Teks Klasik dan Paling Universal

Ditulis oleh Sayyid Ja’far Al-Barzanji (w. 1764 M), karya ini adalah yang paling tua dan tersebar luas di Indonesia, bahkan menjadi standar acuan di banyak komunitas. Al-Barzanji terbagi menjadi dua bentuk: *Natsr* (prosa) dan *Nadhom* (puisi/syair). Keduanya menceritakan kisah Nabi secara kronologis, mulai dari nasab (garis keturunan) yang mulia hingga mukjizat dan ajarannya.

Struktur Naratif Al-Barzanji

Struktur Al-Barzanji dirancang untuk memandu pembaca melewati perjalanan hidup Nabi dalam rentetan bab yang logis. Dimulai dengan pujian kepada Allah, kemudian pujian kepada Nabi, diikuti dengan bagian tentang kemuliaan nasab dan cahaya kenabian yang diturunkan melalui kakek-kakek beliau.

Bagian yang paling dinantikan adalah kisah kelahiran, termasuk mukjizat-mukjizat yang menyertai, seperti padamnya api Majusi di Persia dan retaknya singgasana Kisra. Kemudian, kisah berlanjut ke masa kanak-kanak, remaja, hingga masa kenabian di Mekkah, hijrah ke Madinah, dan perjuangan dakwah. Keunggulan Barzanji adalah bahasanya yang lugas namun indah, memungkinkan pemahaman yang baik bagi jamaah awam sekalipun, sambil mempertahankan kedalaman spiritual.

Interpretasi atas syair-syair Barzanji seringkali menjadi bahan kajian dalam majelis-majelis. Misalnya, bait-bait yang membahas tentang sifat kesempurnaan Nabi (misalnya, tentang wajah beliau yang bercahaya seperti bulan purnama) tidak hanya dibaca sebagai deskripsi fisik, melainkan sebagai metafora dari kesempurnaan akhlak dan risalah yang dibawanya. Hal ini menunjukkan bahwa Marhabanan melalui Barzanji berfungsi sebagai kursus singkat sirah nabawiyah yang disampaikan secara melodius dan komunal.

2. Maulid Ad-Diba’i: Dinamika dan Ekspresi Kegembiraan

Maulid Ad-Diba’i, karya Imam Abdurrahman Ad-Diba’i Asy-Syaibani Az-Zabidi (w. 1541 M), dikenal karena gaya bahasanya yang lebih bersemangat dan irama yang lebih dinamis. Meskipun mengandung banyak kisah yang sama dengan Barzanji, Diba’i seringkali dipilih untuk acara-acara yang mengedepankan ekspresi kegembiraan dan keceriaan, seperti pernikahan atau akikah.

Salah satu ciri khas Diba’i adalah penggunaan bahasa yang sangat ekspresif dalam memuji Nabi, seringkali menggunakan perumpamaan yang indah dan langsung menyentuh hati. Iramanya yang cocok untuk diiringi Hadroh yang bersemangat menjadikannya pilihan favorit di banyak komunitas pemuda Muslim di Jawa.

Fokus pada Sifat dan Keutamaan Nabi

Dibanding Barzanji yang kronologis, Diba’i seringkali lebih fokus pada deskripsi sifat-sifat mulia Nabi (syama’il muhammadiyah). Pembacaan Diba’i mendorong jamaah untuk mencontoh sifat-sifat tersebut, menjadikannya bukan hanya ritual penyambutan, tetapi juga pelajaran etika dan moral praktis. Bagian yang sering dibaca berulang kali adalah "Yaa Rasulallah Salamun ‘Alaik," yang menjadi simbol kerinduan abadi umat Islam kepada junjungannya.

3. Simtud Duror: Kedalaman Sufistik dan Elegansi Bahasa

Simtud Duror, atau “Kalung Mutiara,” adalah karya Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (w. 1915 M). Karya ini relatif lebih modern dibandingkan dua yang lain, namun popularitasnya luar biasa, terutama di kalangan majelis zikir dan tarekat.

Gaya bahasa Simtud Duror terkenal sangat elegan, puitis, dan memiliki nuansa sufistik yang kental. Teksnya cenderung kurang fokus pada kronologi sejarah, melainkan pada introspeksi spiritual dan hubungan batin antara hamba dengan Nabi dan Tuhannya.

Simtud Duror dan Majelis Habib

Di Indonesia, pembacaan Simtud Duror identik dengan majelis-majelis yang dipimpin oleh para keturunan Nabi (habaib). Ritme pembacaannya seringkali lebih tenang, mendayu, dan penuh penghayatan, menekankan pada kontemplasi. Tujuan dari pembacaan Simtud Duror adalah mencapai tingkat *fana* (peleburan diri) dalam kecintaan kepada Nabi, sehingga memudahkan pencapaian derajat spiritual yang lebih tinggi.

Keseluruhan, ketiga kitab ini memberikan kerangka teologis yang kuat bagi Marhabanan. Mereka adalah teks hidup yang terus diresapi dan diinterpretasikan ulang oleh generasi Muslim di Nusantara, memastikan bahwa ingatan akan sirah Nabi tetap segar dan relevan.

Marhabanan sebagai Jembatan Akulturasi Budaya di Nusantara

Fleksibilitas Marhabanan membuatnya mudah diadaptasi ke dalam berbagai konteks budaya di Indonesia, melahirkan variasi lokal yang kaya dan unik.

Marhabanan di Jawa: Integrasi dengan Selamatan

Di Jawa, Marhabanan sering diintegrasikan ke dalam tradisi selamatan (syukuran). Ketika seorang bayi lahir, Marhabanan menjadi bagian integral dari ritual Aqiqah. Selain pembacaan Rawi dan shalawat, tradisi ini juga diikuti dengan ritual potong rambut bayi dan pembacaan doa khusus.

Dalam konteks Jawa, Marhabanan berfungsi ganda: sebagai ibadah untuk memuliakan Nabi, dan sebagai ritual sosial untuk mengumumkan kehadiran anggota keluarga baru kepada komunitas. Musik iringan, meskipun intinya adalah Hadroh, seringkali diselingi dengan sentuhan gamelan atau seni suara lokal (seperti tembang), menciptakan harmoni yang khas.

Tradisi Potong Rambut (Cukur Rambut)

Ritual mencukur rambut bayi saat Marhabanan memiliki makna filosofis yang mendalam. Rambut bayi dianggap sebagai bagian yang kotor dari kelahiran, dan pencukuran melambangkan penghilangan kotoran spiritual dan fisik. Proses ini biasanya dilakukan saat Mahalul Qiyam, di mana pujian Nabi mencapai puncaknya. Setiap helai rambut yang dipotong diiringi dengan lantunan shalawat yang khusyuk.

Variasi di Sumatra: Kesenian dan Dakwah

Di wilayah Melayu, seperti Sumatra dan Kalimantan, Marhabanan dikenal dengan nama yang berbeda-beda, namun inti ritualnya tetap sama. Di Aceh, tradisi shalawat sering disebut Dalail Khairat atau Rateb. Di beberapa daerah, kelompok Marhabanan berkembang menjadi seni pertunjukan dakwah yang disebut Qasidah Burdah atau Rodat, di mana gerakan koreografi sederhana dimasukkan untuk meningkatkan daya tarik.

Di wilayah pesisir, perahu tradisional dan majelis keliling sering menjadi wadah bagi kegiatan Marhabanan, menunjukkan bagaimana tradisi ini beradaptasi dengan lingkungan geografis masyarakat maritim. Kecepatan dan dinamika irama di Sumatra seringkali lebih cepat dan menekankan pada teknik vokal yang kuat.

Bali dan Lombok: Harmonisasi Minoritas

Bahkan di daerah di mana umat Islam menjadi minoritas, seperti di Bali dan Nusa Tenggara Barat, Marhabanan menjadi benteng identitas kultural dan keagamaan. Di Lombok, misalnya, tradisi ini sangat kuat sebagai bagian dari siklus kehidupan. Marhabanan bukan hanya untuk kelahiran, tetapi juga untuk menyambut tamu penting atau merayakan kemenangan dalam ujian hidup, berfungsi sebagai perekat sosial utama di tengah komunitas yang padat.

Perbedaan regional ini membuktikan bahwa Marhabanan adalah praktik yang hidup, bukan sekadar warisan beku. Ia mampu menyerap nilai-nilai lokal tanpa mengorbankan inti teologisnya, menghasilkan kekayaan praktik spiritual yang unik di seluruh kepulauan.

Dimensi Filosofis dan Spiritualitas Mendalam dalam Marhabanan

Di balik ritual komunal yang meriah, Marhabanan menyimpan kedalaman filosofis dan spiritual yang menjadi alasan utama mengapa tradisi ini bertahan ribuan tahun.

Mahabbah: Pilar Utama Kecintaan pada Rasulullah

Tujuan tertinggi dari Marhabanan adalah menumbuhkan dan memperkuat Mahabbah (cinta) kepada Nabi Muhammad ﷺ. Dalam teologi Islam, Mahabbah kepada Nabi bukanlah sekadar emosi, melainkan prasyarat keimanan yang sempurna. Dengan berulang kali mendengar dan melantunkan kisah hidup Nabi, hadirin diajak untuk merasakan kehadiran dan meneladani akhlak mulia beliau.

Cinta sebagai Motivasi Etika

Pembacaan sirah melalui Rawi berfungsi sebagai pengingat etika. Ketika jamaah mendengarkan tentang kesabaran Nabi menghadapi fitnah, keadilan beliau dalam memimpin, atau kedermawanan beliau, secara tidak langsung mereka didorong untuk mengaplikasikan sifat-sifat tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Marhabanan mentransformasi kisah sejarah menjadi cetak biru moralitas yang hidup.

Tafakkur dan Kontemplasi

Momen Mahalul Qiyam, di mana semua orang berdiri, adalah saat kontemplasi intensif. Posisi berdiri melambangkan kesiapan spiritual untuk menerima anugerah atau rahmat yang turun bersamaan dengan peringatan kelahiran Nabi. Musik yang merdu, irama yang teratur, dan suasana khusyuk mendorong jamaah untuk melakukan *tafakkur* (perenungan) tentang makna risalah kenabian.

“Setiap bait dalam Rawi adalah jendela menuju keagungan akhlak Nabi. Marhabanan adalah cara umat untuk mengisi bejana spiritual mereka dengan cahaya kenabian.”

Tawassul dan Tabarruk (Perantara dan Keberkahan)

Secara teologis, Marhabanan seringkali diyakini sebagai medium tawassul, yaitu mencari perantara melalui kedudukan mulia Nabi Muhammad untuk memohon hajat kepada Allah SWT. Dalam konteks syukuran, misalnya akikah, tawassul ini dimaksudkan agar bayi yang lahir mendapatkan keberkahan dan perlindungan melalui syafaat Nabi.

Konsep Tabarruk (mencari berkah) juga sangat kuat. Majelis Marhabanan diyakini sebagai tempat turunnya rahmat karena di dalamnya nama Allah dan Rasul-Nya disebut. Makanan atau minuman yang disajikan setelah acara seringkali dianggap telah mendapatkan keberkahan, sehingga dibagikan dengan penuh antusias.

Dampak Sosiologis dan Pendidikan Marhabanan

Selain fungsi spiritual, Marhabanan memiliki peran yang tak tergantikan dalam menjaga struktur sosial dan mentransmisikan nilai-nilai dalam komunitas Muslim Indonesia.

Penguatan Ikatan Komunitas (Silaturahmi)

Di tengah modernitas yang cenderung individualistik, Marhabanan berfungsi sebagai salah satu dari sedikit ritual yang masih mewajibkan pertemuan fisik secara komunal. Acara ini memaksa tetangga, keluarga, dan anggota majelis untuk duduk bersama, berbagi ruang, dan melakukan aktivitas spiritual yang sama. Hal ini secara otomatis mempererat tali silaturahmi dan memadamkan potensi konflik sosial.

Dalam konteks desa atau kampung, Marhabanan adalah barometer kesehatan sosial. Kehadiran yang ramai menunjukkan kuatnya kohesi sosial, sementara persiapan (gotong royong memasak dan menyiapkan tempat) menjadi media bagi transfer keterampilan dan tanggung jawab komunal antarwarga.

Edukasi Non-Formal Sirah Nabawiyah

Bagi banyak masyarakat yang tidak memiliki akses rutin ke pendidikan formal agama, Marhabanan menjadi sumber utama pengetahuan tentang sirah nabawiyah (sejarah Nabi). Melalui irama dan melodi yang mudah diingat, kisah-kisah penting tentang perjuangan Nabi, peristiwa Isra' Mi'raj, atau mukjizat-mukjizatnya, ditanamkan ke dalam memori kolektif, terutama anak-anak.

Marhabanan Sebagai Kurikulum Hidup

Kitab-kitab Rawi disusun sedemikian rupa sehingga mencakup seluruh spektrum moral dan etika. Anak-anak yang rutin mengikuti Marhabanan tidak hanya belajar sejarah, tetapi juga menyerap pelajaran tentang kejujuran, kepemimpinan, dan tawakal. Dengan demikian, Marhabanan bertindak sebagai kurikulum etika non-formal yang diakui dan dipraktikkan oleh seluruh anggota masyarakat.

Pengembangan Seni dan Keterampilan Musikal

Tradisi Hadroh dan Rebana yang menyertai Marhabanan telah melahirkan komunitas seni Islami yang besar di Indonesia. Kelompok-kelompok Hadroh bukan hanya pengiring ritual, tetapi juga pelestari genre musik tradisional keagamaan. Latihan rutin yang diperlukan untuk menghasilkan harmoni yang indah dalam Marhabanan menumbuhkan disiplin dan kerja sama tim di kalangan pemuda.

Perkembangan vokal, penguasaan irama, dan kemampuan membaca teks Rawi dengan fasih adalah keterampilan yang dihargai dalam komunitas, memberikan identitas positif bagi para pelakunya.

Marhabanan dalam Siklus Kehidupan Umat Muslim Indonesia

Marhabanan hadir di hampir setiap persimpangan penting dalam kehidupan seorang Muslim di Nusantara, menandai momen transisi dan penyambutan dengan spiritualitas.

Penyambutan Kelahiran (Akikah/Tasmiyah)

Ini adalah konteks paling umum dari Marhabanan. Ketika bayi berusia 7, 14, atau 21 hari, acara akikah diadakan. Marhabanan berfungsi sebagai doa syukuran atas karunia keturunan dan permohonan agar bayi tersebut tumbuh menjadi pribadi yang sholeh/sholehah, meneladani akhlak Nabi.

Momen ini juga melibatkan pengumuman nama bayi (tasmiyah), di mana nama tersebut secara resmi diumumkan dalam lantunan doa dan pujian, memberikan legitimasi sosial dan spiritual pada identitas baru anggota keluarga.

Penyambutan Tamu dan Kepulangan Haji

Kata "Marhaban" yang berarti "selamat datang" sangat terasa ketika tradisi ini digunakan untuk menyambut kepulangan jemaah haji. Keluarga dan tetangga berkumpul untuk memuliakan tamu yang baru saja menyelesaikan rukun Islam kelima. Pembacaan Rawi dalam konteks ini berfungsi sebagai doa agar haji mereka mabrur dan sebagai ekspresi kegembiraan komunal atas tercapainya ibadah yang mulia tersebut.

Perayaan Maulid Nabi

Pada bulan Rabiul Awal, Marhabanan dilaksanakan secara besar-besaran, baik di masjid, mushola, maupun di lapangan terbuka. Acara Maulid Nabi seringkali melibatkan pembacaan tiga kitab Rawi secara bergantian atau lengkap, diakhiri dengan ceramah agama yang menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam sirah Nabi.

Perayaan Maulid melalui Marhabanan diyakini sebagai sarana untuk memperbarui janji kesetiaan kepada Nabi dan untuk memperkuat ukhuwah islamiyah (persaudaraan Islam) di tingkat yang paling mendasar.

Penyambutan Tahun Baru Hijriyah dan Khataman

Beberapa komunitas juga menggunakan Marhabanan untuk menyambut Tahun Baru Hijriyah atau ketika seseorang (terutama anak-anak) menyelesaikan hafalan Al-Qur'an (khataman). Dalam konteks khataman, shalawat dan puji-pujian ditujukan sebagai motivasi dan apresiasi atas jerih payah santri, sekaligus menanamkan kesadaran bahwa Al-Qur'an dan Sunnah (sirah Nabi) adalah dua pilar yang tak terpisahkan.

Tantangan Kontemporer dan Relevansi Marhabanan di Era Modern

Meskipun Marhabanan adalah tradisi yang sangat kokoh, ia menghadapi tantangan di era modern, terutama terkait perubahan gaya hidup, perdebatan teologis, dan penetrasi media digital.

Perdebatan Internal dan Eksternal

Sejak awal, tradisi peringatan Maulid dan pembacaan Rawi yang melodis selalu menjadi subjek perdebatan teologis. Sebagian kelompok berpendapat bahwa ritual-ritual yang tidak dicontohkan secara eksplisit oleh Nabi atau sahabat adalah *bid’ah* (inovasi yang tidak dibenarkan). Namun, para pendukung Marhabanan berargumen bahwa tujuannya adalah mulia (*bid’ah hasanah*), yaitu untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi dan merupakan bentuk dakwah yang efektif, sesuai dengan prinsip-prinsip umum syariat Islam.

Perdebatan ini menuntut para penggiat Marhabanan untuk semakin memperkuat landasan keilmuan mereka, menjelaskan bahwa ritual ini adalah bentuk ekspresi budaya yang bertujuan pada inti ajaran Islam (mahabbah dan sirah).

Ancaman Individualisme dan Digitalisasi

Gaya hidup perkotaan yang sibuk seringkali mengurangi waktu yang tersedia untuk berkumpul secara komunal. Selain itu, munculnya hiburan digital dan media sosial dapat mengalihkan perhatian generasi muda dari majelis-majelis tradisional.

Adaptasi dan Inovasi

Untuk menjaga relevansi, Marhabanan mulai beradaptasi. Banyak kelompok Hadroh dan majelis shalawat kini menggunakan media sosial dan platform streaming untuk menyebarkan lantunan Rawi mereka. Acara Marhabanan besar-besaran (seperti di majelis-majelis besar) diorganisir dengan profesionalisme tinggi, menggabungkan tradisi klasik dengan tata panggung modern, sehingga menarik minat generasi muda tanpa menghilangkan kekhusyukan ritualnya.

Inovasi ini memastikan bahwa meskipun formatnya mungkin berubah—dari majelis kecil di rumah menjadi siaran langsung di internet—esensi penyambutan, pujian, dan edukasi sirah Nabi tetap tersampaikan secara efektif.

Peran Marhabanan dalam Moderasi Beragama

Dalam konteks kebangsaan Indonesia, Marhabanan memainkan peran penting dalam mempromosikan Islam moderat. Sifat komunalnya yang inklusif, penekanannya pada akhlak dan kasih sayang (yang merupakan inti ajaran Nabi), serta adaptasinya terhadap budaya lokal, menjadikannya antitesis terhadap ekstremisme.

Marhabanan mengajarkan bahwa kecintaan kepada Nabi harus diwujudkan dalam tindakan sosial yang baik dan menghargai keberagaman, sebuah pesan yang sangat relevan dalam masyarakat majemuk.

Etika dan Adab dalam Menghadiri Majelis Marhabanan

Menghadiri majelis Marhabanan memerlukan adab dan tata krama khusus yang mencerminkan rasa hormat kepada Nabi dan kesucian majelis tersebut. Adab ini adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman spiritual.

Persiapan Fisik dan Spiritual

Disarankan untuk datang dalam keadaan suci (berwudhu), berpakaian rapi, dan menggunakan wewangian, sesuai dengan sunnah Nabi. Persiapan fisik ini melambangkan kesiapan spiritual untuk menerima kehadiran cahaya Nabi dalam majelis.

Adab di Dalam Majelis

  1. Khusyuk dan Penghayatan: Penting untuk memfokuskan hati dan pikiran pada makna shalawat yang dilantunkan. Bukan sekadar mendengarkan musik, tetapi merenungkan isi sirah yang dibacakan.
  2. Menanggapi Shalawat: Setiap kali nama Nabi Muhammad disebut, jamaah dianjurkan untuk menjawab dengan shalawat (misalnya, “Shallallahu ‘alaihi wa sallam”) sebagai bentuk penghormatan dan ketaatan.
  3. Diam dan Tertib: Menghindari pembicaraan yang tidak perlu atau mengganggu kekhusyukan orang lain. Majelis shalawat harus dijaga ketertibannya sebagai tempat yang mulia.

Adab Mahalul Qiyam

Ketika Mahalul Qiyam diumumkan, jamaah harus segera berdiri dengan tegak dan khusyuk. Berdiri tegak bukan hanya sekadar gestur fisik, tetapi ekspresi penghormatan tertinggi kepada Nabi Muhammad ﷺ. Selama bagian ini, lantunan shalawat harus diikuti dengan suara dan hati yang penuh kerinduan.

Pemahaman akan etika ini memastikan bahwa Marhabanan tetap menjadi ritual spiritual yang bermakna, bukan sekadar acara sosial atau pertunjukan musik semata. Adab yang baik melipatgandakan pahala dan manfaat spiritual dari ritual tersebut.

Marhabanan: Warisan Abadi dan Kekuatan Ukhuwah

Marhabanan lebih dari sekadar tradisi; ia adalah jantung spiritual yang terus berdetak di tengah masyarakat Muslim Nusantara. Sebagai sebuah ritual penyambutan, ia telah berhasil menjadi wahana utama untuk melestarikan memori historis tentang Nabi Muhammad ﷺ, menyebarkan nilai-nilai etika, dan memperkuat ikatan persaudaraan komunal.

Dari lentera-lentera kecil di pelosok desa hingga megahnya majelis besar di perkotaan, lantunan Barzanji, Diba’i, dan Simtud Duror terus bergema, mewariskan rasa cinta yang tak terputus kepada Rasulullah. Melalui harmoni suara dan irama, Marhabanan memastikan bahwa konsep *rahmatan lil alamin* (rahmat bagi seluruh alam) yang dibawa oleh Nabi, tetap hidup dan termanifestasi dalam perilaku sehari-hari umatnya.

Keberlanjutan tradisi ini adalah bukti akan tingginya penghargaan umat Muslim Indonesia terhadap sejarah kenabian dan kemauan mereka untuk secara kolektif menyambut dan memuliakan sosok mulia yang menjadi teladan utama seluruh kehidupan. Tradisi Marhabanan, dengan segala kekayaan variasi budayanya, akan terus menjadi penanda identitas spiritual yang kokoh di Indonesia.

Rangkuman Filosofi Utama

Inti dari praktik Marhabanan adalah:

Semoga tradisi mulia ini senantiasa dilestarikan, menjadi sumber inspirasi, dan pembawa keberkahan bagi seluruh umat.

Related Posts