*Simbolisasi Marhaen, sosok rakyat kecil pemilik alat produksi sederhana.
Marhaenisme, sebuah konsep ideologis yang dipopulerkan oleh Proklamator Republik Indonesia, Soekarno, bukanlah sekadar istilah politik biasa; ia merupakan jantung filosofis dari perjuangan kemerdekaan dan upaya penegakan keadilan sosial di Nusantara. Istilah ini lahir dari sebuah peristiwa personal yang mendalam, sebuah pertemuan kebetulan yang monumental dengan seorang petani miskin di wilayah Priangan. Momen tersebut menjadi titik balik penting dalam evolusi pemikiran Soekarno, memberinya fondasi konkret untuk memahami kemiskinan struktural yang melanda mayoritas penduduk Indonesia di bawah cengkeraman kolonialisme yang kejam.
Pertemuan yang legendaris itu terjadi ketika Soekarno muda, dalam perjalanannya di pedesaan, berdialog dengan seorang petani bernama Marhaen. Petani ini hidup dalam kondisi yang serba kekurangan. Ia memiliki tanah, ia memiliki cangkul, ia memiliki alat-alat produksi yang dibutuhkan untuk menggarap lahan, namun ia tetap miskin. Kemiskinan Marhaen bukan disebabkan oleh ketiadaan alat produksi—seperti definisi klasik proletariat dalam teori Marxis—melainkan karena skala kepemilikannya yang terlalu kecil. Alat produksinya hanya cukup untuk menyambung hidupnya sendiri, bukan untuk menghasilkan surplus yang memungkinkannya lepas dari jerat kemiskinan dan eksploitasi. Inilah esensi fundamental yang membedakan Marhaenisme dari pemikiran sosialis atau komunis yang berkembang di Eropa pada masanya.
Dari pertemuan tersebut, Soekarno menyimpulkan bahwa kaum miskin di Indonesia, yang terdiri dari petani gurem, buruh perkebunan, nelayan tradisional, dan pedagang kaki lima, bukanlah proletariat murni yang tidak memiliki apa-apa, melainkan kelompok yang terhimpit secara ekonomi dan politik akibat sistem yang menindas. Mereka adalah individu-individu yang menderita karena ketidakadilan sistemik. Soekarno kemudian mengambil nama sang petani, Marhaen, sebagai simbolisasi kolektif bagi seluruh rakyat jelata Indonesia yang berada dalam kondisi serupa, mengubahnya dari nama individu menjadi representasi sosiologis dan politik yang masif. Marhaenisme adalah pembumian ideologi perjuangan ke dalam konteks sosial dan ekonomi khas Indonesia, menolak impor buta terhadap konsep-konsep asing yang belum tentu relevan.
Penetapan Marhaen sebagai titik sentral perjuangan menuntut sebuah pemahaman yang utuh mengenai karakterisasi kemiskinan di Indonesia. Kemiskinan ini bukanlah kemiskinan yang pasif atau takdir belaka, melainkan sebuah hasil dari proses sejarah panjang penjajahan yang mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja. Kaum Marhaen adalah korban utama dari sistem kapitalisme kolonial. Mereka memiliki identitas nasional yang kuat, namun mereka terpinggirkan secara ekonomi. Oleh karena itu, perjuangan Marhaenisme harus mencakup dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan: perjuangan kemerdekaan nasional (Nasionalisme) dan perjuangan keadilan sosial (Sosialisme). Keduanya harus berjalan beriringan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang dicita-citakan.
Marhaenisme, sebagai ideologi resmi yang dianut oleh Soekarno dan PNI pada masanya, tidak berdiri di atas satu kaki tunggal. Ia merupakan sintesis yang holistik, didasarkan pada tiga pilar utama yang saling menguatkan, yang kemudian menjelma menjadi fondasi bagi konsepsi kenegaraan Indonesia yang lebih luas. Tiga pilar ini adalah Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan yang tidak kalah pentingnya, Ketuhanan yang Berbudaya. Konsep ini menunjukkan betapa Marhaenisme berusaha mengakomodasi realitas multikultural dan spiritual bangsa Indonesia, membedakannya secara tajam dari ideologi sekuler radikal di belahan dunia lainnya.
Sosio-Nasionalisme menolak bentuk nasionalisme yang sempit, yang hanya berfokus pada perebutan kekuasaan dari tangan penjajah tanpa memerhatikan nasib rakyat banyak setelah kemerdekaan diraih. Bagi Soekarno, nasionalisme Indonesia harus dijiwai oleh semangat sosial; ia harus menjadi nasionalisme yang memihak kepada kaum Marhaen. Ini berarti bahwa kemerdekaan politik harus segera diterjemahkan menjadi kemerdekaan ekonomi. Nasio-nalisme Marhaenis menuntut agar seluruh sumber daya alam dan kekayaan bangsa dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir elite baru atau modal asing.
Aspek 'Sosio' dalam Sosio-Nasionalisme memastikan bahwa perjuangan pembebasan nasional adalah perjuangan seluruh kelas tertindas, bukan hanya perjuangan para intelektual atau bangsawan. Identitas kebangsaan yang utuh hanya dapat tercapai jika tidak ada lagi eksploitasi manusia atas manusia (exploitation de l'homme par l'homme) dan eksploitasi bangsa atas bangsa (exploitation de nation par nation). Nasionalisme tanpa keadilan sosial akan menghasilkan negara merdeka yang ironis, di mana penderitaan kaum Marhaen hanya berganti tuan, dari kolonial menjadi elite pribumi yang kapitalistik.
Sosio-Demokrasi adalah pilar kedua yang menegaskan bahwa bentuk demokrasi yang diterapkan di Indonesia tidak boleh sekadar prosedural, seperti demokrasi liberal yang sering kali hanya menguntungkan kelas pemilik modal. Demokrasi ala Marhaenisme haruslah demokrasi yang substansial, yang secara aktif mewujudkan keadilan sosial dan pemerataan ekonomi. Ia adalah demokrasi yang melibatkan partisipasi aktif kaum Marhaen dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi. Tujuan utama Sosio-Demokrasi adalah menghancurkan tirani ekonomi dan memastikan bahwa kekuasaan politik digunakan sebagai alat untuk menyejahterakan rakyat banyak.
Dalam konteks Sosio-Demokrasi, hak-hak politik seperti hak memilih dan hak bersuara menjadi tidak berarti jika individu tersebut masih hidup dalam kondisi kelaparan dan buta huruf. Oleh karena itu, tugas negara Marhaenis adalah memastikan bahwa hak-hak ekonomi, seperti hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, dan hak atas kehidupan yang layak, terpenuhi terlebih dahulu. Inilah yang membedakannya dari demokrasi Barat yang cenderung individualistik; Sosio-Demokrasi menekankan kolektivitas dan tanggung jawab negara untuk mengangkat harkat seluruh rakyatnya dari keterpurukan ekonomi struktural yang telah mengakar selama berabad-abad masa penjajahan dan penindasan yang sistematis dan berulang-ulang terhadap kaum yang lemah dan tak berdaya.
Pilar Ketuhanan menegaskan dimensi spiritual dalam Marhaenisme. Soekarno menyadari bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah penganut agama yang taat. Ideologi yang ingin diterima luas harus menghargai dan mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dan moralitas universal. Ketuhanan yang dimaksud di sini bukanlah bentuk teokrasi atau dogma agama tertentu yang dipaksakan, melainkan pengakuan terhadap keberadaan kekuatan yang lebih tinggi dan pentingnya etika dalam berpolitik dan bernegara. Ini memastikan bahwa perjuangan Marhaenisme dilakukan dengan moralitas dan tidak jatuh ke dalam nihilisme politik yang kering.
Ketuhanan dalam konteks ini berfungsi sebagai pengingat etis bahwa kemakmuran yang diupayakan harus didasarkan pada kebenaran dan keadilan, bukan keserakahan. Ini juga merupakan penangkal terhadap ateisme yang menjadi ciri khas beberapa gerakan sosialis internasional, menjamin bahwa ideologi tersebut tetap relevan dan resonan dengan jiwa kolektif bangsa Indonesia yang sangat menghargai nilai-nilai luhur dan spiritual. Keterkaitan antara Ketuhanan dan keadilan sosial ini menjadi manifestasi dari sila pertama Pancasila, yang merupakan kristalisasi tertinggi dari Marhaenisme itu sendiri, menjadikannya ideologi yang utuh dan berakar kuat dalam budaya setempat.
Pilar-pilar Marhaenisme ini kemudian menjadi kerangka kerja besar bagi cita-cita Indonesia merdeka. Marhaenisme tidak sekadar ingin mengganti bendera dan lagu kebangsaan; ia ingin merevolusi struktur sosial ekonomi masyarakat secara fundamental. Tujuannya adalah menghilangkan diskriminasi berbasis kelas dan memastikan bahwa kekayaan alam yang melimpah di kepulauan ini benar-benar dinikmati oleh pemilik sahnya, yaitu seluruh rakyat Indonesia, khususnya kaum Marhaen yang telah lama menderita di bawah bayang-bayang eksploitasi dan ketidakadilan yang kronis dan terus menerus.
*Tiga pilar Marhaenisme: Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan.
Untuk memahami kedalaman Marhaenisme, penting untuk membandingkannya dengan teori kelas sosialis klasik, terutama Marxisme. Perbedaan ini bukan sekadar permainan istilah, melainkan refleksi dari realitas ekonomi yang sangat berbeda antara masyarakat industri Eropa abad ke-19 dan masyarakat agraris, semi-feodal, dan kolonial di Indonesia pada awal abad ke-20. Soekarno secara eksplisit menolak mengimpor teori proletariat tanpa modifikasi karena ia melihat ketidakcocokan mendasar dengan kondisi kaum tertindas di tanah air.
Dalam teori Marxis klasik, proletariat adalah kelas pekerja yang tidak memiliki alat produksi sama sekali (landless, tool-less). Mereka hanya memiliki tenaga kerja yang dapat mereka jual untuk bertahan hidup, sehingga mereka sepenuhnya bergantung pada kaum borjuis (pemilik modal). Revolusi digerakkan oleh proletariat yang terkonsentrasi di pabrik-pabrik industri. Namun, ketika Soekarno mengamati masyarakat Indonesia, ia menemukan fakta yang jauh lebih kompleks. Mayoritas rakyat jelata Indonesia, Marhaen, masih memiliki tanah sepetak kecil (tanah gurem), memiliki perahu sederhana, atau memiliki cangkul dan alat tenun manual.
Kepemilikan kecil ini adalah titik kritis. Marhaen bukanlah proletariat yang tak punya apa-apa, melainkan petani atau nelayan kecil yang alat produksinya tidak mampu menghasilkan surplus yang cukup untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. Mereka bekerja keras di atas tanahnya sendiri, tetapi hasil kerjanya diserap habis oleh pajak kolonial, sistem ijon, dan eksploitasi pasar yang tidak adil. Oleh karena itu, perjuangan kaum Marhaen bukanlah untuk merebut alat produksi yang dimiliki oleh borjuis besar (karena mereka sudah memilikinya, meski dalam skala kerdil), melainkan untuk membebaskan diri dari belenggu sistem yang membuat kepemilikan tersebut tidak produktif dan tidak berarti.
Perbedaan ini membawa konsekuensi besar dalam strategi revolusi. Jika revolusi proletariat bersifat internasionalis dan fokus pada penghapusan kelas, revolusi Marhaenis harus bersifat nasionalis dan fokus pada penghapusan kolonialisme dan imperialisme, yang merupakan penyebab utama kemiskinan struktural. Marhaenisme menempatkan pembebasan nasional sebagai prasyarat fundamental sebelum pembangunan sosialisme dapat dimulai secara efektif. Tanpa kemerdekaan, segala upaya perbaikan ekonomi hanya akan menjadi kosmetik belaka, hanya memperbaiki sedikit permukaan tanpa menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya.
Lebih jauh lagi, Marhaenisme juga secara tegas membedakan dirinya dalam pendekatan terhadap agama dan budaya. Berbeda dengan beberapa aliran komunis yang bersikap ateistik atau anti-agama, Marhaenisme menerima dan mengintegrasikan nilai-nilai Ketuhanan sebagai bagian integral dari perjuangan. Ini menunjukkan kemampuan Soekarno untuk melakukan sintesis ideologis, mengambil inti dari sosialisme (keadilan ekonomi) tetapi menanggalkannya dari elemen-elemen yang bertentangan dengan budaya dan keyakinan masyarakat Indonesia. Kesimpulan utamanya adalah bahwa Marhaenisme adalah sosialisme yang otentik Indonesia, sebuah ideologi yang tumbuh dari tanah air dan disesuaikan dengan realitas kaum tertindas di Nusantara, memastikan bahwa perjuangan tersebut memiliki resonansi yang kuat di tengah-tengah mayoritas rakyat yang terhimpit oleh kesulitan hidup yang tak berkesudahan.
Pemahaman yang cermat terhadap struktur kepemilikan Marhaen harus terus diperdalam. Marhaen memiliki, namun kepemilikan tersebut bersifat ‘kepemilikan kecil’ atau ‘petite-bourgeoisie’ dalam istilah sosiologis tertentu. Namun, Soekarno menegaskan bahwa Marhaen bukan borjuis kecil. Borjuis kecil, meskipun memiliki alat produksi, masih berada dalam posisi yang memungkinkannya mengumpulkan modal dan berpotensi mempekerjakan orang lain. Marhaen, sebaliknya, hampir selalu hidup di batas subsistensi; hasil kerjanya murni ditujukan untuk kelangsungan hidup keluarganya dan membayar utang. Tidak ada surplus modal yang signifikan, apalagi kemampuan untuk melakukan akumulasi kekayaan yang sistematis dan berulang. Mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan, sebuah jebakan yang tak terhindarkan dalam sistem ekonomi kolonial yang menekan harga jual hasil bumi mereka hingga ke titik terendah. Keadaan ini menciptakan suatu lapisan sosial yang unik, yang memerlukan pendekatan ideologis yang juga unik dan tidak dapat disamakan dengan kategori-kategori yang sudah ada dalam wacana politik global pada saat itu.
Eksploitasi yang dialami kaum Marhaen seringkali datang dari rantai pasar dan sistem distribusi, bukan hanya dari pabrik besar. Petani gurem harus menjual hasil panennya dengan harga yang sangat rendah kepada tengkulak atau perusahaan kolonial, yang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan berlipat ganda di pasar global. Inilah bentuk eksploitasi yang disebut Soekarno sebagai ‘kapitalisme liar’ yang tidak manusiawi. Marhaenisme adalah panggilan untuk menghentikan rantai eksploitasi ini melalui kontrol negara atas sektor-sektor strategis ekonomi dan melalui pembentukan koperasi dan badan usaha milik negara yang benar-benar memihak kepada rakyat kecil. Perjuangan ini menuntut restrukturisasi total sistem ekonomi yang telah lama mengakar, sebuah tugas yang jauh lebih sulit daripada sekadar mengganti personel pemerintahan dari kolonial menjadi nasionalis.
Visi ekonomi Marhaenisme adalah menciptakan sistem yang berdiri di atas semangat gotong royong dan kemandirian, yang secara tegas menentang dominasi modal asing dan liberalisme ekonomi yang tidak terkendali. Strategi ini berlandaskan pada prinsip keadilan sosial yang termaktub dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar, yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara, dan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini adalah cetak biru ekonomi Marhaenis yang paling konkret, sebuah manifestasi legal dari ideologi kerakyatan yang diusung oleh Soekarno sejak awal perjuangannya.
Langkah pertama yang esensial dalam strategi ekonomi Marhaenis adalah nasionalisasi aset-aset kolonial dan penempatan sektor-sektor strategis di bawah kendali negara. Ini bertujuan untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi kepada bangsa Indonesia. Jika sumber daya vital seperti minyak, mineral, perkebunan besar, dan infrastruktur tetap dikuasai oleh kepentingan asing, maka kemakmuran kaum Marhaen tidak akan pernah terwujud. Nasionalisasi bukan sekadar pengambilalihan simbolik; ini adalah alat untuk mendistribusikan hasil kekayaan secara lebih adil dan untuk mendanai program-program sosial yang sangat dibutuhkan oleh kaum miskin, seperti pendidikan gratis, layanan kesehatan yang terjangkau, dan pembangunan infrastruktur dasar di pedesaan dan daerah terpencil yang seringkali luput dari perhatian pemerintah yang cenderung terpusat pada kota-kota besar yang sudah maju.
Marhaenisme mendorong pembangunan ekonomi yang terencana dan terpusat (Planned Economy) untuk memastikan bahwa alokasi sumber daya dilakukan secara rasional dan memihak pada kepentingan rakyat banyak. Konsep Swasembada pangan (berdikari) menjadi inti dari kemandirian Marhaenis. Negara tidak boleh bergantung pada impor makanan pokok, karena hal itu rentan terhadap gejolak pasar internasional dan dapat merusak petani lokal. Dengan mencapai swasembada, kaum tani Marhaen akan memiliki jaminan pasar dan harga yang stabil untuk hasil panen mereka, sekaligus memperkuat kedaulatan nasional dari tekanan ekonomi global yang cenderung tidak adil dan berat sebelah. Pembangunan industri juga harus diarahkan untuk mendukung sektor pertanian dan kebutuhan dasar rakyat, bukan semata-mata untuk menghasilkan barang-barang mewah untuk kaum elite yang tidak sejalan dengan semangat kerakyatan.
Dalam konteks Marhaenisme, koperasi (perkumpulan ekonomi bersama) dilihat sebagai instrumen vital untuk memberdayakan rakyat kecil dan mengatasi eksploitasi tengkulak dan rentenir. Koperasi memungkinkan petani gurem, nelayan kecil, dan pedagang kaki lima untuk bersatu, membeli kebutuhan mereka secara kolektif dengan harga yang lebih murah, dan menjual produk mereka dengan kekuatan tawar yang lebih besar di pasar. Koperasi adalah wujud konkret dari gotong royong dalam bidang ekonomi, menjembatani kesenjangan antara individu Marhaen yang lemah dan sistem kapitalis pasar bebas yang cenderung kejam dan tidak memiliki belas kasihan. Penguatan koperasi bukan hanya tentang efisiensi ekonomi; ini adalah tentang penegakan martabat kaum Marhaen, memastikan mereka memiliki kendali atas nasib ekonomi mereka sendiri tanpa harus tunduk pada kekuatan pasar yang tidak terkontrol.
Implementasi strategi ekonomi Marhaenis memang menghadapi tantangan besar, terutama pada masa Orde Lama dengan keterbatasan sumber daya dan konflik politik internal dan eksternal yang masif. Namun, prinsip-prinsipnya tetap relevan, menekankan bahwa kemajuan ekonomi harus selalu diukur dari seberapa besar peningkatan kesejahteraan yang dialami oleh kelompok paling bawah, kaum Marhaen, bukan hanya dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang sering kali hanya dinikmati oleh segelintir orang. Jika jurang antara si kaya dan si miskin terus melebar, maka tujuan Marhaenisme belum tercapai, dan perjuangan keadilan sosial masih harus terus diupayakan dengan gigih dan tanpa henti.
Setelah era Orde Lama berakhir, dan terutama setelah Indonesia memasuki fase globalisasi ekonomi yang cepat pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, pertanyaan mengenai relevansi Marhaenisme muncul kembali dengan intensitas yang baru. Apakah konsep yang lahir di era kolonial ini masih mampu menjelaskan dan mengatasi masalah kemiskinan struktural di tengah masyarakat yang didominasi oleh teknologi digital, pasar keuangan global, dan neoliberalisme? Jawabannya terletak pada adaptabilitas filosofi ini dan pengakuan bahwa kaum Marhaen masa kini mungkin berbeda wujud, tetapi esensi penderitaannya tetap sama.
Kaum Marhaen kontemporer bukan hanya petani gurem. Mereka kini termasuk buruh pabrik kontrak yang bekerja dengan upah minimum yang tidak manusiawi, pekerja informal di sektor jasa daring (gig workers) yang tidak memiliki jaminan sosial dan kesehatan, serta penduduk perkotaan padat yang terpinggirkan dari akses perumahan yang layak. Mereka adalah orang-orang yang, meskipun berpartisipasi dalam ekonomi modern, tetap tidak mampu mengakumulasi modal dan terjebak dalam siklus ketergantungan upah hari ke hari. Mereka memiliki ‘alat produksi’ modern – seperti ponsel pintar dan akses internet untuk bekerja – tetapi kepemilikan alat tersebut tidak mampu membebaskan mereka dari eksploitasi sistemik yang terus menerus membebani bahu mereka.
Dalam konteks modern, alat-alat produksi telah berevolusi dari cangkul dan tanah menjadi data, platform digital, dan modal ventura. Namun, prinsip Marhaenisme tetap berlaku: kaum kecil tetap memiliki kontrol minimal atas hasil kerja mereka. Keuntungan terbesar diserap oleh pemilik platform dan kapitalis global, meninggalkan pekerja harian dengan bagian yang sangat kecil. Oleh karena itu, perjuangan Marhaenisme kontemporer harus berfokus pada regulasi pasar digital yang adil, perlindungan hak-hak pekerja informal, dan penegakan pajak progresif untuk mendistribusikan kekayaan secara lebih merata di tengah-tengah masyarakat yang semakin terpolarisasi antara segelintir orang yang sangat kaya dan mayoritas yang terus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka sehari-hari.
Ancaman terbesar terhadap kaum Marhaen di era kontemporer adalah neoliberalisme, sebuah filosofi ekonomi yang mendorong deregulasi, privatisasi aset-aset negara, dan penghapusan subsidi. Kebijakan-kebijakan ini cenderung melemahkan kontrol negara atas sektor-sektor strategis, membiarkan modal asing berkuasa tanpa batas, dan pada akhirnya, semakin meminggirkan kaum Marhaen. Privatisasi layanan publik, misalnya, membuat pendidikan dan kesehatan menjadi mahal, yang secara langsung memukul kemampuan kaum Marhaen untuk keluar dari kemiskinan antargenerasi. Marhaenisme menuntut negara untuk kembali hadir dan menjalankan perannya sebagai pelindung ekonomi rakyat, menyeimbangkan kekuatan pasar yang cenderung brutal dengan keadilan sosial yang berbasis kerakyatan.
Kebijakan Marhaenis di masa kini harus diterjemahkan menjadi upaya nyata untuk memperkuat kedaulatan pangan nasional, menstabilkan harga komoditas untuk melindungi konsumen dan produsen kecil, dan yang terpenting, membangun sistem jaminan sosial yang kuat dan komprehensif bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Ideologi ini harus dihidupkan kembali bukan sebagai retorika nostalgia, melainkan sebagai panduan praktis untuk mengatasi ketidakadilan yang diciptakan oleh kapitalisme global yang seringkali tidak memiliki wajah dan tidak mengenal batas-batas negara.
Penguatan Marhaenisme di era modern juga menuntut pendidikan politik yang berkelanjutan kepada rakyat agar mereka mampu mengidentifikasi bentuk-bentuk eksploitasi baru yang terselubung dalam kemasan modernisasi. Jika pada masa lalu musuh utamanya adalah kolonialisme fisik, kini musuh tersebut bersembunyi dalam bentuk utang luar negeri, manipulasi pasar valuta, dan perjanjian dagang internasional yang tidak setara. Perjuangan Marhaen adalah perjuangan abadi melawan segala bentuk penindasan, baik yang berbentuk fisik maupun yang berbentuk struktural dan finansial yang semakin kompleks dan sulit untuk diuraikan oleh rakyat biasa.
Selain pilar-pilar politik dan ekonomi, Marhaenisme sangat terikat pada nilai-nilai kultural dan spiritualitas Indonesia. Konsep Gotong Royong adalah manifestasi tertinggi dari etika Marhaenis. Gotong Royong bukanlah sekadar kerja bakti; ia adalah filosofi yang mengajarkan kolektivitas, solidaritas, dan penolakan terhadap individualisme ekstrem. Dalam konteks ekonomi, Gotong Royong berarti berbagi beban dan berbagi hasil, memastikan bahwa tidak ada satu pun anggota masyarakat yang tertinggal dalam perjuangan menuju kemakmuran bersama. Prinsip ini menjadi antitesis yang kuat terhadap semangat persaingan bebas tanpa batas yang menjadi ciri khas kapitalisme liberal yang cenderung mengabaikan nasib mereka yang kalah dalam persaingan yang tidak setara.
Keterikatan Marhaenisme dengan Ketuhanan, seperti yang sudah dibahas, memberikan landasan moral bagi perjuangan. Keimanan yang dimiliki oleh rakyat kecil di pedesaan seringkali menjadi sumber kekuatan dan ketahanan mereka dalam menghadapi kesulitan hidup yang sangat ekstrem. Ideologi yang dianut Soekarno memastikan bahwa perjuangan pembebasan ekonomi tidak akan pernah bertentangan dengan keyakinan moral rakyatnya, melainkan justru menguatkannya. Keadilan sosial, dalam pandangan Marhaenis, adalah kewajiban etis dan spiritual, bukan sekadar tujuan politik. Negara yang adil adalah negara yang memenuhi tuntutan moralitas universal untuk melindungi kaum yang lemah dan memastikan pemerataan rezeki.
Penghayatan Gotong Royong dalam praktik kenegaraan menuntut kebijakan yang memprioritaskan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan. Hal ini dapat dilihat dalam kebijakan redistribusi tanah, subsidi harga komoditas, dan investasi besar-besaran di sektor infrastruktur pedesaan. Kebijakan-kebijakan ini dirancang untuk mengangkat daya beli dan kualitas hidup kaum Marhaen secara keseluruhan, bukan hanya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang semu. Tanpa landasan etika Gotong Royong, setiap upaya pembangunan ekonomi akan rentan terhadap korupsi, nepotisme, dan pembentukan oligarki baru yang menggantikan penjajah lama, dan pada akhirnya mengkhianati cita-cita luhur kemerdekaan.
Oleh karena itu, Marhaenisme tidak hanya menawarkan solusi struktural untuk kemiskinan, tetapi juga menawarkan kerangka moral yang kohesif. Ia menyatukan identitas nasional, cita-cita keadilan sosial, dan nilai-nilai spiritualitas dalam satu paket ideologis yang kuat, menjadikannya ideologi yang relevan bukan hanya untuk mencapai kemerdekaan politik, tetapi juga untuk mempertahankan karakter kebangsaan Indonesia dalam menghadapi berbagai tekanan global dan perubahan zaman yang sangat cepat dan tak terduga dalam berbagai lini kehidupan rakyat jelata yang selalu menjadi korban pertama dari setiap krisis yang terjadi.
Perjalanan Marhaenisme sebagai ideologi yang diimplementasikan dalam kebijakan negara penuh dengan gejolak dan tantangan. Pada masa Orde Lama (sebelum 1965), Marhaenisme menjadi dasar utama bagi pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan memengaruhi kebijakan-kebijakan populis Soekarno, termasuk pembentukan Demokrasi Terpimpin. Namun, implementasinya seringkali terhambat oleh konflik ideologi internal (terutama persaingan antara kelompok sosialis-nasionalis dan komunis) serta tekanan ekonomi dan politik dari kekuatan asing yang menentang kebijakan nasionalisasi dan sikap anti-imperialisme yang diusung oleh Soekarno secara tegas dan tanpa kompromi.
Marhaenisme berhasil menggerakkan massa rakyat, terutama petani dan buruh, menjadi kekuatan politik yang dominan. Konsep ini memberikan legitimasi ideologis yang kuat bagi Soekarno untuk melakukan mobilisasi politik secara besar-besaran, menegaskan bahwa kekuasaan yang ia pegang adalah kekuasaan yang sah dan berasal dari dukungan rakyat kecil yang merupakan mayoritas populasi. Manifestasi Politik (Manipol) dan Panca Azimat Revolusi (USDEK) adalah kerangka resmi yang menggarisbawahi Marhaenisme sebagai inti dari arah revolusi Indonesia. Namun, sentralisasi kekuasaan di bawah Demokrasi Terpimpin, meskipun dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan Marhaenis dan menghentikan friksi politik yang tidak perlu, pada akhirnya menimbulkan masalah tersendiri terkait dengan kebebasan berdemokrasi dan partisipasi politik yang sehat dan terbuka.
Setelah pergolakan politik besar, Marhaenisme mengalami periode pasang surut yang signifikan. Di bawah rejim Orde Baru, yang mengedepankan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi berbasis investasi asing (kapitalisme teknokratis), Marhaenisme sebagai ideologi resmi negara secara efektif dikesampingkan. Meskipun jargon-jargon pembangunan dan pemerataan terus digunakan, kebijakan ekonomi yang diterapkan justru cenderung neoliberal, membuka pintu lebar-lebar bagi modal asing, dan meminggirkan peran koperasi serta kontrol negara yang kuat terhadap sumber daya alam. Selama periode ini, kaum Marhaen yang dulunya dielu-elukan sebagai subjek revolusi, kembali direduksi menjadi objek pembangunan yang pasif, yang hanya menerima kebijakan dari atas tanpa memiliki kekuatan tawar-menawar yang memadai.
Meskipun demikian, semangat Marhaenisme tidak sepenuhnya hilang. Ia terus hidup dalam gerakan-gerakan politik kerakyatan dan dihidupkan kembali oleh partai-partai yang mengklaim sebagai pewaris ideologi Soekarno. Kontinuitas ideologis ini menunjukkan bahwa konsep Marhaen—yakni keberpihakan pada kaum kecil yang terhimpit oleh struktur—masih memiliki daya tarik dan relevansi yang abadi dalam masyarakat yang masih dicirikan oleh kesenjangan ekonomi yang parah dan ketidakadilan yang merata.
Tantangan terbesar bagi Marhaenisme hari ini adalah bagaimana menerjemahkan filosofi anti-kapitalis dan anti-imperialisme ini ke dalam kerangka kebijakan yang pragmatis tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasarnya. Ideologi ini harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit mengenai bagaimana mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sambil tetap memastikan bahwa keuntungan dari pertumbuhan tersebut tidak hanya dinikmati oleh segelintir elite yang dekat dengan pusat kekuasaan, melainkan didistribusikan secara adil dan merata kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya kepada mereka yang paling rentan dan termarjinalkan, seperti buruh lepas, petani miskin, dan pekerja migran yang seringkali luput dari perlindungan negara yang memadai.
Marhaenisme pada dasarnya adalah panggilan untuk sebuah revolusi permanen dalam bidang keadilan sosial. Selama ketidakadilan struktural masih ada, selama ada sekelompok orang yang dieksploitasi dan terpinggirkan karena skala kepemilikan mereka yang kecil, maka perjuangan Marhaen akan terus berlangsung, melintasi batas-batas generasi dan perubahan sistem pemerintahan. Ideologi ini adalah cermin yang terus-menerus mengingatkan bangsa Indonesia pada janji kemerdekaan: bukan sekadar lepas dari penjajah, tetapi juga bebas dari penderitaan dan penindasan dalam segala bentuknya.
Salah satu arena perjuangan paling kritis bagi kaum Marhaen adalah sektor agraria. Karena mayoritas kaum Marhaen adalah petani gurem, kepemilikan dan akses terhadap tanah adalah kunci vital bagi pembebasan ekonomi mereka. Marhaenisme secara implisit menuntut adanya reformasi agraria yang radikal dan komprehensif untuk mengatasi masalah ketimpangan kepemilikan tanah yang telah mengakar sejak era kolonial. Sistem kolonial secara sistematis merampas tanah-tanah adat atau memaksa petani bekerja di perkebunan besar, meninggalkan mereka dengan sedikit atau tanpa lahan untuk menopang kehidupan mereka sendiri dan keluarga mereka.
Reformasi agraria Marhaenis bukanlah sekadar pembagian ulang sepetak kecil tanah. Ini adalah restrukturisasi total hubungan manusia dengan tanah, memastikan bahwa tanah sebagai sumber kehidupan dan produksi utama tidak menjadi objek spekulasi atau alat eksploitasi kapital besar. Tujuan reformasi ini adalah menciptakan keadilan distributif, di mana setiap petani gurem memiliki cukup tanah untuk hidup layak dan berproduksi secara efisien. Tanah harus kembali berfungsi sebagai penopang kehidupan, bukan sebagai komoditas yang diperjualbelikan semata-mata demi mencari keuntungan pribadi. Tanpa reformasi agraria yang efektif dan berkelanjutan, janji kemakmuran bagi kaum Marhaen di pedesaan hanyalah ilusi belaka, sebuah janji palsu yang terus diulang-ulang tanpa implementasi yang nyata dan berani menghadapi kepentingan-kepentingan besar yang menghalanginya.
Pada masa Soekarno, upaya reformasi agraria memang dilakukan melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Meskipun UUPA merupakan tonggak sejarah yang menjunjung tinggi hak rakyat atas tanah, implementasinya seringkali menemui hambatan politik dan perlawanan dari para tuan tanah serta kepentingan modal yang kuat. Keterbatasan sumber daya dan konflik politik pada periode itu menghalangi terlaksananya reformasi agraria secara tuntas. Konsekuensinya, masalah ketimpangan tanah tetap menjadi borok kronis dalam perekonomian Indonesia, yang terus menghasilkan generasi baru kaum Marhaen yang tidak memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik bersama.
Di era modern, ancaman terhadap kaum Marhaen agraria diperparah oleh konsentrasi kekayaan dan monopoli korporasi. Lahan pertanian produktif sering kali beralih fungsi menjadi properti industri, real estat, atau perkebunan monokultur skala besar yang dimiliki oleh konglomerat. Proses ini tidak hanya menggusur petani dari tanah mereka, tetapi juga menghancurkan struktur ekonomi pedesaan tradisional yang berbasis keragaman pangan dan kearifan lokal. Kaum Marhaen yang tergusur terpaksa pindah ke kota, menambah beban pada sektor informal perkotaan dan menjadi buruh upahan yang rentan, hanya mengganti satu bentuk penindasan dengan bentuk penindasan yang lain, tanpa adanya prospek peningkatan status ekonomi yang signifikan.
Perjuangan Marhaenisme di sektor agraria hari ini menuntut penegasan kembali kedaulatan petani atas tanah mereka, penguatan perlindungan hukum bagi petani kecil, dan penghentian alih fungsi lahan yang merugikan kedaulatan pangan nasional. Ini adalah tugas ideologis yang memerlukan keberanian politik untuk menentang kepentingan-kepentingan ekonomi yang telah mapan dan terlalu kuat, sebuah pertempuran yang harus dimenangkan jika Indonesia benar-benar ingin mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan cita-cita Marhaenis. Keberhasilan dalam menyelesaikan masalah agraria akan menjadi barometer utama keberhasilan implementasi filosofi Marhaenisme secara menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tanpa tanah yang memadai dan produktif, kaum Marhaen tidak memiliki fondasi untuk kemandirian ekonomi. Mereka akan terus bergantung pada sistem upah yang rentan dan harga komoditas yang tidak stabil. Oleh karena itu, konsistensi ideologi Marhaenisme harus tercermin dalam kebijakan agraria yang tegas, pro-rakyat, dan menolak kompromi terhadap kekuatan-kekuatan yang berusaha memprivatisasi sumber daya dasar demi keuntungan segelintir orang. Mengembalikan hak tanah kepada Marhaen adalah mengembalikan martabat bangsa. Ini adalah inti dari revolusi ekonomi yang sejati, yang diimpikan oleh para pendiri bangsa.
Marhaenisme, lebih dari sekadar ideologi politik yang terikat pada satu periode sejarah, adalah semangat perlawanan abadi terhadap ketidakadilan struktural dan eksploitasi. Ia adalah pengingat konstan bahwa cita-cita kemerdekaan Indonesia belum tercapai seutuhnya selama masih ada satu orang pun rakyat Indonesia yang menderita kemiskinan dan ketidakadilan, meskipun mereka telah bekerja keras dan memiliki alat produksi kecil mereka sendiri. Penderitaan kaum Marhaen adalah indikator paling jujur mengenai kegagalan sistem politik dan ekonomi dalam memenuhi janji kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata selama berabad-abad penindasan.
Untuk memastikan relevansi Marhaenisme di masa depan, dibutuhkan upaya kolektif untuk membumikan visi proklamator ke dalam konteks dan bahasa yang dimengerti oleh generasi baru. Ini berarti bukan sekadar menghafal jargon, tetapi memahami bahwa semangat Marhaen adalah solidaritas, keberpihakan, dan perjuangan tiada henti untuk mewujudkan kedaulatan rakyat di bidang politik, ekonomi, dan budaya. Pendidikan Marhaenis harus menjadi bagian dari kurikulum nasional, mengajarkan kepada setiap warga negara bahwa mereka memiliki tanggung jawab moral untuk melawan segala bentuk penindasan dan eksploitasi, baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri.
Masa depan perjuangan Marhaen akan sangat bergantung pada kemampuan negara dan masyarakat sipil untuk mengidentifikasi dan merespons bentuk-bentuk eksploitasi yang semakin canggih dan global. Jika dahulu eksploitasi mudah dikenali melalui tuan tanah atau kolonial, kini ia datang dalam bentuk algoritma yang menekan upah, utang korporasi, dan perjanjian perdagangan yang asimetris. Kaum Marhaen harus diberdayakan melalui pendidikan yang kritis dan akses informasi yang setara, sehingga mereka tidak mudah terperangkap dalam jebakan sistem yang dirancang untuk mempertahankan ketidaksetaraan dan memiskinkan mereka secara berkelanjutan.
Dalam dunia yang semakin terintegrasi, Marhaenisme juga dapat memberikan kontribusi pada wacana global mengenai keadilan. Prinsip anti-imperialisme dan anti-eksploitasi yang diusungnya relevan bagi negara-negara berkembang lainnya yang juga berjuang melawan dominasi ekonomi negara-negara maju. Gotong Royong tidak hanya berlaku di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat global, menuntut solidaritas antara kaum Marhaen di seluruh dunia dalam menghadapi tantangan bersama seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan perdagangan, dan krisis kesehatan global. Marhaenisme adalah suara bangsa yang menuntut dunia yang lebih adil dan manusiawi bagi semua.
Pada akhirnya, kisah Marhaen adalah kisah tentang harapan. Harapan bahwa kerja keras akan dihargai, bahwa kepemilikan kecil dapat dipertahankan dan diperkuat, dan bahwa bangsa Indonesia akan mampu membangun dirinya sendiri di atas kaki sendiri (Berdikari), bebas dari campur tangan asing dan bebas dari eksploitasi internal. Marhaenisme adalah janji revolusioner yang belum selesai. Ia menanti realisasi penuhnya melalui komitmen yang konsisten dan keberanian politik yang teguh dari setiap generasi pemimpin dan seluruh rakyat Indonesia, memastikan bahwa setiap warga negara dapat hidup dalam martabat dan kemakmuran, sesuai dengan amanat luhur yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa.
Keberlanjutan perjuangan ini membutuhkan kesadaran kolektif yang mendalam bahwa Marhaen bukanlah sekadar kategori demografis; Marhaen adalah manifestasi dari seluruh rakyat yang memiliki semangat perlawanan terhadap penindasan. Mereka adalah inti dari identitas nasional, dan kesejahteraan mereka adalah ukuran sesungguhnya dari keberhasilan atau kegagalan sebuah negara. Oleh karena itu, penguatan kaum Marhaen harus menjadi agenda utama dan tak terhindarkan dalam setiap kebijakan pembangunan yang ingin disebut sebagai pembangunan yang berpihak pada rakyat dan menuntut keadilan sosial yang substansial, bukan sekadar janji-janji kosong di atas kertas yang tak pernah menjadi kenyataan.
Filosofi ini mengajarkan bahwa kemerdekaan sejati tidak akan pernah datang dari kekayaan material semata, melainkan dari keadilan sosial yang merata, dari kemampuan rakyat jelata untuk menguasai nasibnya sendiri tanpa dibayangi oleh ketakutan akan kemiskinan yang kronis, dan dari realisasi bahwa seluruh kekayaan alam Indonesia memang dikelola dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat, dari Sabang hingga Merauke, tanpa diskriminasi ras, suku, agama, maupun status ekonomi. Inilah makna terdalam dari Marhaenisme, sebuah ideologi yang menolak untuk mati, karena penderitaan kaum Marhaen masih nyata dan tuntutan keadilan masih menggema dengan kuat di seluruh penjuru negeri yang kaya raya ini namun ironisnya banyak rakyatnya masih hidup dalam kekurangan yang mendalam dan terus menerus. Kita harus terus berjuang untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, sebuah masyarakat tanpa Marhaen yang menderita, di mana setiap orang memiliki kesempatan yang setara untuk berkembang dan menikmati hasil dari kerja kerasnya.
Penerapan Marhaenisme secara totalitas menuntut keberanian untuk mengambil risiko politik dan ekonomi yang besar, termasuk berani melawan arus globalisasi yang didominasi oleh kepentingan modal. Keputusan untuk memprioritaskan rakyat kecil di atas kepentingan pasar adalah ujian moralitas bagi setiap pemimpin. Jika kita gagal dalam ujian ini, jika kita membiarkan kaum Marhaen terus terpinggirkan, maka kita telah gagal dalam memenuhi amanat Proklamasi dan mengkhianati jutaan nyawa yang telah dikorbankan demi terciptanya sebuah negara yang adil, makmur, dan berdaulat penuh. Marhaenisme adalah penegasan bahwa politik harus tunduk pada etika sosial, dan bahwa ekonomi harus melayani manusia, bukan sebaliknya, sebuah prinsip yang sangat mendasar dan harus selalu dipegang teguh oleh setiap anak bangsa yang mencintai negeri ini dengan sepenuh hati.
Kontemplasi terakhir tentang Marhaenisme membawa kita kembali ke inti kemanusiaan. Ini adalah tentang empati, tentang kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain, dan tentang dorongan moral untuk bertindak demi menghilangkan penderitaan tersebut. Setiap kebijakan yang tidak memperhitungkan dampaknya terhadap kaum Marhaen adalah kebijakan yang cacat moral. Setiap rupiah keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kaum Marhaen adalah hutang yang harus dibayar oleh bangsa ini kepada sejarah dan kepada keadilan sosial. Oleh karena itu, perjuangan kaum Marhaen adalah perjuangan kita semua, sebuah perjuangan yang tidak akan pernah berhenti sampai tercapainya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan sejahtera, di mana Marhaen sejati telah terbebaskan dari belenggu kemiskinan struktural yang telah lama membelit dan menahan laju kemajuan mereka.
*Fajar harapan bagi kaum Marhaen: Keadilan sosial menanti.