Lengger adalah salah satu bentuk seni pertunjukan rakyat yang paling tua dan paling kaya secara simbolis di wilayah Jawa Tengah bagian barat, khususnya kawasan Banyumas. Lebih dari sekadar tarian, Lengger Lanang—sebutan spesifik untuk penari laki-laki yang memerankan karakter perempuan—merupakan cerminan sejarah panjang, spiritualitas, dan pergulatan identitas budaya masyarakat lokal. Tarian ini menyimpan narasi mendalam tentang kesuburan, transendensi gender, dan komunikasi antara dunia profan serta sakral, menjadikannya warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Dalam perkembangannya, Lengger telah melalui berbagai fase adaptasi, mulai dari ritual agraris kuno hingga menjadi hiburan panggung yang dipertontonkan. Namun, inti sari dari pertunjukan ini tetap teguh: perpaduan antara gerakan lincah, irama gamelan calung yang khas, dan kemampuan penari untuk memancarkan aura magis sekaligus menghibur. Pemahaman akan Lengger Lanang menuntut penelusuran tidak hanya pada aspek koreografisnya, melainkan juga pada struktur sosial dan pandangan dunia yang melahirkannya.
Lengger Lanang, penari yang menjelma menjadi personifikasi Dewi Kesuburan.
Secara etimologi, nama Lengger dipercaya berasal dari frasa dalam bahasa Jawa Ngoko, yaitu "le" yang merupakan singkatan dari thole (panggilan untuk anak laki-laki) dan "ngger" (panggilan kasih sayang yang umum). Interpretasi lain yang lebih populer menyebutkan bahwa Lengger adalah akronim dari 'eleng' (ingat) dan 'ngger' (nak), merujuk pada pesan moral dan spiritual yang terkandung dalam tarian tersebut, mengajak penonton untuk selalu mengingat asal-usul dan tujuan hidup. Namun, dalam konteks pertunjukan, Lengger sering diidentikkan dengan ronggeng atau tayub, yaitu tarian yang melibatkan penari perempuan (atau laki-laki berkostum perempuan) yang berinteraksi dengan penonton laki-laki.
Yang membedakan secara tegas adalah konteks regional dan kekhasan gerak. Di Banyumas, Lengger memiliki corak tersendiri yang kental dengan Gamelan Calung Banyumasan. Istilah 'Lanang' (laki-laki) ditambahkan untuk menekankan identitas unik penari utamanya, yang secara tradisi, merupakan laki-laki yang berdandan dan bergerak layaknya perempuan, sebuah praktik yang sarat akan makna ritualistik dan kosmik.
Sejarah Lengger Lanang sangat erat kaitannya dengan siklus pertanian dan pemujaan terhadap Dewi Sri, dewi kesuburan dalam mitologi Jawa. Pada masa lampau, sebelum era industrialisasi, Lengger sering dipentaskan sebagai bagian dari ritual nyadran (upacara keselamatan) atau ngruwat (tolak bala) yang dilakukan untuk memohon panen melimpah dan melindungi desa dari bencana. Penari Lengger, dengan perannya sebagai perwujudan energi feminin yang menopang kehidupan, berfungsi sebagai medium antara masyarakat dan kekuatan alam.
Kehadiran sosok 'Lanang' yang mengenakan pakaian perempuan dalam ritual ini bukanlah sekadar hiburan, melainkan memiliki fungsi simbolis yang mendalam. Hal ini merepresentasikan kesempurnaan kosmik, perpaduan harmonis antara unsur maskulin (yang diwakili oleh penari secara biologis) dan unsur feminin (yang diwakili oleh kostum dan peran tarian). Dalam pandangan Jawa tradisional, kesuburan (tanah, panen, keturunan) hanya dapat dicapai melalui penyatuan dualitas ini. Pertunjukan ini diyakini mampu 'memanggil' roh kesuburan untuk bersemayam di ladang dan sawah.
Transformasi dari ritual murni ke pertunjukan hiburan terjadi seiring dengan perubahan zaman dan pengaruh Islam yang semakin kuat di Jawa. Meskipun demikian, sisa-sisa unsur ritual masih tampak jelas dalam tata cara pementasan tradisional, seperti sesi pembukaan yang khidmat, pemberian sesajen (persembahan), dan pantangan-pantangan tertentu yang harus dipatuhi oleh para penari dan nayaga (pemain musik).
Pada masa kolonial Belanda, seni pertunjukan rakyat seperti Lengger sering kali menghadapi tekanan ganda: upaya kontrol oleh pemerintah kolonial yang melihatnya sebagai potensi pengumpulan massa, dan kritik dari kelompok agama tertentu yang menganggapnya terlalu profan atau sensual. Namun, periode ini juga menjadi saksi dokumentasi awal tentang Lengger. Pada masa inilah, Lengger mulai beradaptasi, memasukkan unsur-unsur humor dan interaksi sosial yang lebih terbuka untuk memastikan kelangsungan hidupnya sebagai hiburan publik.
Dalam sejarah modern, Lengger Lanang pernah mengalami masa sulit, terutama setelah peristiwa politik tahun 1965 di Indonesia. Karena statusnya sebagai seni rakyat yang dekat dengan basis masyarakat, beberapa kelompok Lengger dituduh terafiliasi dengan organisasi terlarang, yang mengakibatkan vakumnya pertunjukan dan tekanan sosial terhadap para penari laki-laki. Penari yang berhasil bertahan harus berjuang keras untuk menegaskan kembali identitas seni mereka sebagai warisan budaya yang murni, bukan alat politik. Periode ini menciptakan kerenggangan, di mana banyak penari Lengger laki-laki mulai beralih profesi atau bersembunyi, yang kemudian memunculkan dominasi penari perempuan di beberapa wilayah lain, meskipun tradisi Lengger Lanang di Banyumas tetap dipertahankan oleh beberapa maestro yang gigih.
Inti dari pertunjukan Lengger adalah sosok penari utama, Lengger Lanang. Sosok ini adalah jembatan antara maskulinitas dan feminitas, antara dunia nyata dan spiritual. Identitas Lengger Lanang jauh melampaui sekadar cross-dressing; ini adalah penjelmaan spiritualitas dan estetika yang kompleks. Penari harus menguasai tidak hanya teknik menari, tetapi juga kemampuan merasuk dalam peran feminin yang halus, lincah, dan memesona.
Proses menjadi seorang Lengger Lanang membutuhkan dedikasi spiritual dan fisik yang luar biasa. Pelatihan sering kali melibatkan ritual puasa, meditasi, dan penerimaan warisan spiritual dari guru (dalang atau maestro). Penari harus meyakini bahwa saat mereka mengenakan kostum dan riasan, mereka tidak lagi mewakili diri mereka sendiri, melainkan menjadi representasi dari sosok ideal, sering kali Dewi Sri atau makhluk suci lainnya. Transformasi ini memungkinkan mereka untuk memancarkan aura gandrung (gairah atau pesona) yang mampu menarik perhatian penonton.
Pakaian Lengger Lanang adalah kunci untuk memahami peran gendernya yang transenden. Pakaian tersebut terdiri dari berbagai elemen yang sarat makna:
Melalui pakaian dan riasan ini, Lengger Lanang secara sengaja menciptakan ambiguitas identitas. Mereka menantang batas-batas gender konvensional, bukan sebagai bentuk pemberontakan sosial, tetapi sebagai upaya ritual untuk mencapai kesempurnaan spiritual yang melampaui kategori biner maskulin dan feminin. Ini adalah penjelajahan estetik yang menemukan keindahan dalam perpaduan sifat-sifat yang kontras.
Pertunjukan Lengger jarang sekali merupakan monolog. Interaksi dengan penonton (terutama penonton laki-laki) melalui ngibing adalah bagian integral dari pertunjukan. Ngibing adalah sesi di mana penari akan mengundang penonton dengan lambaian sampur atau tatapan mata untuk ikut menari di panggung. Ini adalah momen pelepasan sosial dan komunal.
Secara tradisional, ngibing memiliki dua fungsi: pertama, sebagai bentuk penghargaan finansial (saweran) kepada penari dan nayaga, dan kedua, sebagai puncak dari energi pertunjukan. Interaksi ini diatur oleh etika dan aturan tak tertulis. Penari memiliki kontrol penuh atas sesi ngibing; mereka memutuskan siapa yang diundang, durasi tarian, dan bagaimana batas interaksi dijaga. Fenomena ini menunjukkan bahwa Lengger bukan sekadar seni yang dipertontonkan, tetapi ruang partisipatif di mana batas antara seniman dan audiens menjadi kabur, memperkuat ikatan komunitas.
Lengger Lanang tidak bisa dipisahkan dari musik pengiringnya: Gamelan Calung Banyumasan. Berbeda dengan Gamelan Jawa standar (Laras Pelog/Slendro) yang sering menggunakan bonang dan saron dari perunggu, Calung Banyumasan didominasi oleh alat musik yang terbuat dari bambu. Inilah yang memberikan karakteristik suara yang unik—ringan, lincah, dan sedikit renyah—yang sangat sesuai dengan gaya tarian Lengger yang energik.
Instrumen kunci dalam Calung meliputi:
Musik Calung memiliki pola ritmik yang repetitif namun variatif, memungkinkan penari untuk berimprovisasi dalam batas-batas struktur yang telah ditentukan. Irama yang sering digunakan adalah irama yang cepat dan membangkitkan semangat, sejalan dengan fungsi Lengger sebagai tarian pesta rakyat.
Gamelan Calung memberikan irama khas Banyumasan yang lincah dan enerjik.
Gerakan Lengger Lanang ditandai oleh energi yang tinggi dan kelincahan, yang menggabungkan keindahan estetika perempuan dengan kekuatan dan stamina laki-laki. Koreografi Lengger secara umum terbagi menjadi beberapa elemen utama, yang semuanya berpusat pada gerakan pinggul dan torso:
Transisi antara satu gerakan ke gerakan lain dilakukan dengan sangat halus, menciptakan kesan mengalir. Seluruh gerakan dipentaskan dengan ekspresi wajah yang penuh pesona dan mata yang hidup (pandangan mata), yang berfungsi untuk 'menggoda' atau 'menarik' perhatian audiens.
Pertunjukan Lengger memiliki struktur yang umumnya baku, meskipun durasinya bisa sangat bervariasi tergantung pada konteks acara (ritual atau hiburan komersial):
1. Pambuka (Pembukaan): Dimulai dengan iringan musik yang khidmat. Penari Lengger Lanang masuk dengan gerakan yang pelan dan agung, seringkali disertai dengan pembacaan doa atau mantra singkat. Fase ini adalah waktu di mana penari melakukan 'penyambutan roh' dan menetralisir area pertunjukan.
2. Inti (Babak Utama): Ini adalah fase paling dinamis, di mana gerakan Geol dan Trapang mulai mendominasi. Musik Calung bermain dengan tempo cepat. Pada fase inilah penari menunjukkan kemahiran koreografinya dan mulai berinteraksi secara aktif dengan nayaga, terutama dalam tandakan (dialog gerak dengan kendang).
3. Ngibing (Interaksi Komunal): Setelah mencapai klimaks energi, penari akan mulai mengundang penonton laki-laki untuk naik ke panggung. Setiap penonton yang ngibing (menari) harus memberikan saweran (uang tip). Sesi ini bisa berlangsung lama, dan penari harus menjaga stamina dan fokus di tengah keramaian.
4. Panutup (Penutup): Tarian diakhiri dengan gerakan yang lebih tenang, kembali ke keagungan awal, diikuti dengan ritual kecil untuk 'melepas' peran dan berterima kasih kepada dewa atau roh. Musik Calung akan menutup dengan irama yang pelan dan menghanyutkan.
Filosofi Jawa mendalam, Sangkan Paraning Dumadi (asal dan tujuan hidup), terwujud secara halus dalam Lengger. Gerakan pinggul yang membumi (Geol) melambangkan asal usul manusia dari tanah dan keterikatan pada dunia materi (sangkan). Sementara gerakan sampur yang melayang ke atas dan postur tubuh yang tegak melambangkan upaya spiritual untuk mencapai kesadaran tertinggi dan kembali kepada Sang Pencipta (paran).
Seluruh pertunjukan Lengger adalah perjalanan mikro kosmos. Penari memulai sebagai manusia biasa, bertransformasi menjadi perwujudan kesuburan (Dewi Sri), berinteraksi dengan masyarakat, dan kemudian kembali ke identitas aslinya. Siklus ini mencerminkan perjalanan spiritual yang harus dilalui setiap individu, yakni kesadaran akan keberadaan duniawi yang fana namun penting, dan tujuan akhir yang bersifat abadi.
Sama seperti seni tari Jawa lainnya, Lengger menganut tripartit estetika: Wiraga, Wirama, dan Wirasa. Namun, interpretasi dalam konteks Lengger memiliki kekhasan yang unik:
Ketiga unsur ini harus menyatu. Seorang Lengger sejati tidak hanya menari, tetapi juga 'berbicara' melalui tubuhnya, menyampaikan pesan spiritual dan budaya yang mendalam kepada audiens.
Sampur (selendang) yang dikenakan oleh Lengger Lanang memiliki simbolisme yang jauh melampaui sekadar properti tari. Sampur diibaratkan sebagai tali kehidupan, penghubung antara penari (sebagai dunia sakral) dan penonton (sebagai dunia profan). Ketika sampur dilemparkan kepada penonton laki-laki dalam sesi ngibing, itu adalah simbol undangan untuk berbagi energi, sekaligus transfer berkah.
Dalam konteks ritual, Sampur kadang diyakini memiliki kekuatan magis. Apabila diusapkan kepada seseorang, ia dapat membawa keberuntungan atau penyembuhan. Kibasan Sampur yang cepat juga melambangkan sifat dinamis dan tak terduga dari alam semesta. Penguasaan Sampur, atau Seblak Sampur, adalah barometer kematangan seorang penari Lengger. Gerakan Sampur yang luwes menunjukkan pengendalian diri dan keharmonisan antara energi maskulin dan feminin dalam diri penari.
Meskipun Lengger Lanang dihormati dalam ranah seni dan ritual, penari laki-laki yang memerankan peran feminin sering kali menghadapi tantangan sosial, terutama di tengah masyarakat yang semakin homogen dalam pemahaman gender. Stigma yang melekat seringkali berkaitan dengan identitas seksual atau orientasi gender, meskipun tradisi Lengger secara historis adalah peran ritual yang terpisah dari identitas pribadi penarinya.
Pada generasi muda, tantangan untuk melanjutkan tradisi ini semakin besar. Mereka harus berjuang menyeimbangkan tuntutan peran tradisional dengan kehidupan modern. Para maestro Lengger generasi tua, seperti almarhum Dariah dari Banyumas, menjadi simbol perlawanan dan kegigihan. Mereka membuktikan bahwa peran Lengger Lanang adalah identitas artistik yang layak dihargai, bukan sekadar gaya hidup yang dihakimi.
Upaya pelestarian kini berfokus pada edukasi, menjelaskan kepada publik bahwa fenomena Lengger Lanang adalah warisan budaya yang memiliki fungsi spesifik (ritual dan filosofis), yang berbeda dari identitas personal kontemporer. Penari muda yang muncul hari ini harus memiliki keberanian ganda: keberanian artistik untuk menguasai gerak dan keberanian sosial untuk menghadapi prasangka.
Saat ini, Lengger sebagian besar dipentaskan untuk kepentingan komersial, seperti hajatan, pernikahan, atau festival seni, daripada murni ritual agraris. Pergeseran ini membawa dinamika baru:
Meskipun komersialisasi mengancam kemurnian tradisi, di sisi lain, hal ini juga menjamin kelangsungan hidup finansial bagi para seniman dan nayaga, memastikan bahwa pengetahuan dan teknik Lengger terus diturunkan kepada generasi berikutnya. Keseimbangan antara menjaga nilai tradisi dan memenuhi tuntutan pasar menjadi tantangan krusial bagi kelompok seni Lengger.
Di dunia akademis dan seni pertunjukan global, Lengger Lanang telah menarik perhatian besar sebagai studi kasus yang kaya mengenai gender, identitas, dan politik tubuh non-Barat. Dalam konteks ini, Lengger dianggap sebagai praktik budaya yang secara inheren progresif, karena ia merayakan fluiditas gender jauh sebelum konsep tersebut populer di dunia Barat. Tubuh penari Lengger adalah arena di mana batas-batas sosial dilebur, di mana maskulinitas dan feminitas bernegosiasi secara visual dan performatif.
Para akademisi memandang Lengger sebagai bentuk kearifan lokal yang mengajarkan masyarakat untuk menerima keragaman dan ambiguitas. Keberadaan Lengger Lanang mengingatkan bahwa dalam budaya Jawa kuno, dualitas sering kali dianggap sebagai potensi kesempurnaan, bukan sebagai konflik yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, pelestarian Lengger bukan hanya tentang menjaga gerak tarian, tetapi juga menjaga cara pandang dunia yang toleran dan holistik.
Meskipun fokus utama dalam konteks Banyumas adalah Lengger Lanang, bentuk tarian yang serupa juga ditarikan oleh perempuan (Lengger Putri) di berbagai daerah. Perbedaan utama terletak pada konteks historis dan simbolisme. Lengger Lanang membawa beban sejarah ritual kesuburan dan identitas gender transenden yang lebih kuat. Sementara itu, Lengger Putri (sering disebut juga sebagai Ronggeng atau Tayub) lebih sering berfungsi murni sebagai hiburan sosial, meskipun akarnya juga bisa jadi berasal dari ritual.
Secara koreografis, Lengger Putri cenderung lebih fokus pada keanggunan dan kehalusan gerak feminin yang ideal, sementara Lengger Lanang, meskipun meniru kehalusan, tetap mempertahankan kekuatan dan stamina yang memungkinkannya menampilkan gerakan pinggul yang lebih eksplosif dan bertenaga, sebuah paradoks yang menjadi ciri khasnya.
Pembedaan regional sangat penting. Lengger yang terikat dengan Gamelan Calung (dominan bambu) secara spesifik mengacu pada tradisi Banyumas dan sekitarnya (Purbalingga, Cilacap). Ciri khasnya adalah irama yang lebih cepat dan formasi panggung yang lebih interaktif dengan musik bambu. Di sisi lain, Tayub atau Ronggeng di Jawa Timur atau Jawa Tengah bagian timur menggunakan Gamelan klasik laras pelog/slendro, menghasilkan irama yang lebih lambat dan lebih agung. Meskipun memiliki kesamaan fungsi sosial (ngibing dan saweran), nuansa musik dan estetika gerakan kedua jenis ini jelas berbeda, menandakan adaptasi budaya lokal yang berbeda.
Lengger sering kali dipentaskan bersama dengan kesenian rakyat lainnya, yang menunjukkan kedekatan akar ritualnya. Salah satu yang paling terkenal adalah Ebeg (kuda lumping versi Banyumas). Ebeg, yang menampilkan tarian kesurupan (trance) dengan kuda tiruan, sering dipentaskan sebelum atau sesudah Lengger. Dalam beberapa pertunjukan, Lengger berfungsi sebagai pemancing energi spiritual, membuka jalan bagi penari Ebeg untuk mencapai kondisi ndadi (kesurupan).
Hubungan antara Lengger dan Ebeg menegaskan kembali fungsi Lengger sebagai seni ritual yang berkaitan dengan penguasaan energi supernatural dan komunikasi dengan alam roh. Lengger memberikan unsur keindahan dan kehalusan, sementara Ebeg menyediakan unsur kekuatan dan keganasan, menciptakan pertunjukan yang lengkap secara kosmik.
Pewarisan Lengger Lanang menghadapi tantangan modernisasi. Metode transmisi tradisional yang mengandalkan ikatan guru-murid yang intensif (bahkan tinggal bersama sang guru) mulai tergantikan oleh pelatihan yang lebih formal di sanggar atau sekolah seni.
Para maestro Lengger, seperti mendiang Dariah, dikenal sangat selektif dalam memilih murid. Pelatihan tidak hanya mencakup fisik (Wiraga) tetapi juga spiritual (Wirasa), termasuk ritual puasa dan meditasi untuk menguatkan batin. Murid harus memahami bahwa ia bukan sekadar belajar menari, tetapi 'menerima' warisan roh dan menjaga kehormatan identitas Lengger.
Saat ini, banyak sanggar tari di Purwokerto dan sekitarnya berusaha mendokumentasikan dan mengajarkan kurikulum Lengger secara lebih terstruktur. Meskipun ini membantu menjaga teknik agar tidak hilang, ada kekhawatiran bahwa aspek spiritual dan ritualistik yang hanya dapat diwariskan secara lisan dan melalui pengalaman langsung dapat tergerus.
Media digital telah memainkan peran krusial dalam merevitalisasi popularitas Lengger. Konten video dari pementasan Lengger, baik yang tradisional maupun kontemporer, menyebar luas, menciptakan kesadaran di kalangan anak muda perkotaan yang sebelumnya mungkin asing dengan seni ini. Festival budaya nasional dan internasional juga memberikan platform bagi Lengger Lanang untuk diakui sebagai warisan budaya dunia.
Pengakuan ini sangat penting untuk melawan stigma internal. Ketika sebuah seni diakui secara luas dan dihargai di tingkat global, masyarakat lokal cenderung lebih bangga dan termotivasi untuk melestarikannya. Organisasi lokal berupaya keras untuk mendapatkan pengakuan UNESCO, yang akan memberikan perlindungan dan sumber daya lebih lanjut untuk pelestarian Lengger.
Masa depan Lengger Lanang terletak pada kemampuannya untuk berinovasi tanpa kehilangan inti sarinya. Banyak koreografer kontemporer mulai berkolaborasi dengan maestro Lengger untuk menciptakan karya baru. Kolaborasi ini seringkali membawa Lengger keluar dari panggung tradisional (tanah lapang atau pendopo) menuju panggung teater modern.
Inovasi yang dilakukan meliputi penggunaan tata cahaya yang dramatis, eksplorasi narasi yang lebih kompleks (tidak hanya ritual kesuburan, tetapi juga cerita sosial dan personal), dan penggunaan musik yang lebih eksperimental. Tujuan dari inovasi ini adalah untuk membuktikan bahwa Lengger adalah seni yang hidup, relevan, dan mampu berbicara kepada audiens kontemporer mengenai isu-isu universal seperti identitas, kesetaraan, dan spiritualitas.
Meskipun demikian, kritikus seni terus mengingatkan bahwa inovasi harus dilakukan dengan hati-hati. Keunikan Calung yang berbasis bambu dan keintiman sesi ngibing adalah harta karun yang harus dijaga. Inovasi harus berfungsi sebagai pintu gerbang menuju tradisi, bukan pengganti tradisi itu sendiri. Keseimbangan ini adalah tantangan yang harus dihadapi oleh para penerus Lengger Lanang di masa yang akan datang.
Lengger sering kali disalahpahami karena memadukan elemen yang secara umum dianggap kontradiktif: sensualitas yang ditimbulkan oleh gerakan Geol yang menggoda dan kesucian ritual yang melekat pada peran Dewi Sri. Inilah paradoks sentral Lengger yang menjadikannya unik.
Dalam pandangan kosmologi Jawa, tubuh bukanlah entitas yang terpisah dari spiritualitas; tubuh adalah wadah dari energi ilahi. Sensualitas yang diekspresikan oleh Lengger Lanang bukanlah sensualitas yang murahan, melainkan manifestasi dari energi kreatif dan kesuburan yang sakral. Goyangan pinggul (Geol) yang membumi adalah bahasa visual yang menyatakan daya hidup (prana) dan potensi reproduksi alam semesta. Dengan kata lain, penari Lengger mentransformasi gairah duniawi menjadi persembahan spiritual.
Interaksi ngibing, meskipun berujung pada saweran (transaksi), juga memiliki dimensi ritual. Saweran dapat dilihat sebagai persembahan timbal balik: penonton memberikan rezeki materi, dan penari membalasnya dengan berkah spiritual dan pelepasan energi positif melalui tarian. Tanpa pengakuan akan dimensi spiritual ini, Lengger hanya akan dilihat sebagai tarian erotis belaka, padahal ia adalah kesenian yang bertujuan menciptakan harmoni antara mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam).
Lengger Lanang sangat dipengaruhi oleh sistem kepercayaan Kejawen, yang menekankan sinkretisme dan keselarasan. Dalam pandangan Kejawen, ritual dan seni adalah jalur menuju penyatuan dengan realitas tertinggi. Praktik meditasi dan puasa yang dilakukan oleh calon Lengger bertujuan untuk membersihkan diri dari hawa nafsu duniawi agar tubuh mereka layak menjadi wadah bagi kekuatan suci. Dengan demikian, ketika mereka menari, energi yang dikeluarkan adalah energi yang telah disaring dan disucikan.
Kepercayaan terhadap roh pelindung dan entitas lokal juga kuat. Sebelum pementasan, sering dilakukan ritual nylameti, memberikan sesajen kepada roh penjaga tempat (dhanyang) dan roh pelindung grup Lengger. Ini memastikan bahwa pertunjukan berlangsung lancar dan penari terlindungi dari gangguan. Ritual-ritual ini menggarisbawahi bahwa setiap pementasan adalah peristiwa yang tidak terlepas dari dimensi spiritual.
Pada akhirnya, Lengger adalah seni komunal. Ia tidak diciptakan untuk dinikmati sendirian di istana, melainkan di tengah-tengah masyarakat. Seluruh proses pementasan, dari persiapan gamelan hingga sesi ngibing, memperkuat solidaritas komunitas. Musik Calung yang riuh memanggil semua orang untuk berkumpul, melupakan perbedaan, dan berpartisipasi dalam kegembiraan kolektif.
Sesi ngibing adalah katarsis sosial. Di masa lalu, ketika hiburan jarang, Lengger menjadi ajang bagi masyarakat untuk berinteraksi, mengungkapkan gairah, dan menguatkan ikatan sosial. Nilai gotong royong terwujud dalam dukungan finansial (saweran) dan dukungan moral yang diberikan penonton kepada kelompok seni, memastikan keberlangsungan tradisi yang menjadi milik bersama.
Dalam setiap putaran pinggul, dalam setiap kibasan sampur, Lengger Lanang tidak hanya menceritakan kisah dirinya sendiri, tetapi juga kisah tentang masyarakat Banyumas: masyarakat yang menghargai keseimbangan, menghormati dualitas, dan merayakan hidup dengan kegembiraan yang penuh makna.
Ketika berbicara tentang Lengger Lanang di era modern, tidak mungkin mengabaikan sosok legendaris seperti almarhumah Dariah. Meskipun secara biologis seorang laki-laki, Dariah hidup dan tampil sepenuhnya sebagai Lengger Lanang hingga akhir hayatnya. Dariah menjadi ikon perlawanan dan pelestarian. Setelah masa-masa sulit pasca-1965, ketika banyak penari Lengger Lanang memilih untuk berhenti karena tekanan politik dan sosial, Dariah tetap teguh, menjadi salah satu dari sedikit yang mempertahankan kemurnian tradisi di Desa Plana, Banyumas.
Keunikan Dariah terletak pada penjiwaannya yang sempurna terhadap Wirasa. Gerakan Dariah dikenal halus, namun memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa. Ia tidak hanya menari, tetapi seolah-olah roh dewi kesuburan benar-benar merasukinya. Dedikasinya memastikan bahwa teknik otentik Lengger Lanang, khususnya gaya Banyumasan, tidak hilang ditelan zaman. Kisah hidupnya, yang penuh perjuangan untuk mendapatkan pengakuan dan menghadapi stigma, kini menjadi inspirasi bagi generasi muda yang tertarik mendalami seni ini. Dariah membuktikan bahwa peran Lengger Lanang adalah panggilan suci, bukan sekadar profesi.
Warisan Lengger Lanang juga tersemat kuat dalam pola irama Gamelan Calung yang spesifik. Ada lagu-lagu atau gending-gending tertentu yang wajib dimainkan dalam setiap pertunjukan, yang masing-masing memiliki fungsi ritual dan koreografisnya sendiri. Misalnya, gending pembuka yang lembut berfungsi untuk menenangkan suasana dan mempersiapkan penari memasuki kondisi trance ringan, sementara gending-gending cepat seperti 'Ricik-Ricik' memicu energi dan interaksi audiens.
Kekuatan Calung Banyumasan terletak pada kemampuannya untuk berinteraksi langsung dengan penari. Nayaga (pemain musik) dan penari seringkali terlibat dalam dialog yang spontan, di mana Kendang bertindak sebagai 'suara' yang merespons setiap gerakan penari. Hubungan simbiotik ini adalah inti dari estetik pertunjukan Lengger. Jika irama Calung hilang atau digantikan sepenuhnya oleh instrumen modern, maka ‘jiwa’ Lengger pun akan hilang, karena tarian dan musik adalah satu kesatuan organik.
Pelestarian teknik Calung dan gending-gending otentik menjadi prioritas utama bagi sanggar-sanggar di Banyumas, termasuk upaya standardisasi notasi dan dokumentasi lisan dari nayaga-nayaga senior. Hal ini krusial mengingat Calung Banyumasan seringkali dimainkan tanpa notasi tertulis baku, mengandalkan ingatan dan improvisasi dari para pemainnya.
Dalam lanskap budaya Indonesia yang terus berubah, Lengger Lanang berdiri sebagai simbol ketahanan. Ia adalah seni yang berhasil bertahan melewati masa-masa krisis politik, tekanan agama, dan modernisasi yang pesat. Kemampuannya untuk beradaptasi—menerima saweran sebagai sumber pendapatan, tampil di berbagai acara, bahkan berkolaborasi dengan seniman kontemporer—adalah kunci kelangsungan hidupnya. Namun, adaptasi ini selalu dilakukan dengan memegang teguh inti filosofisnya: perayaan kesuburan, dualitas, dan energi hidup.
Lengger Lanang mengajarkan bahwa budaya tidak harus statis untuk menjadi otentik. Otentisitasnya terletak pada fungsinya untuk mempersatukan komunitas dan menyediakan ruang bagi ekspresi identitas yang melampaui norma. Sebagai warisan yang diakui dan dihargai, Lengger Lanang menjadi pengingat bahwa kekayaan identitas Indonesia terletak pada keragaman dan keberanian untuk merayakan apa yang unik dan berbeda.
Lengger Lanang adalah narasi yang bergerak, sebuah puisi yang ditarikan di atas tanah Banyumas. Ia adalah perpaduan sempurna antara spiritualitas agraris kuno, ekspresi seni rakyat yang jujur, dan penjelajahan identitas yang menantang batas. Dari goyangan pinggul yang memanggil berkah panen hingga lambaian sampur yang mengundang penonton, setiap elemen dalam Lengger sarat makna dan bertujuan mulia.
Meskipun tantangan modernitas terus membayangi, semangat Lengger Lanang tidak pernah padam. Melalui dedikasi para maestro, dukungan komunitas, dan minat generasi muda yang tumbuh, warisan ini terus berdenyut. Lengger tidak hanya bertahan; ia berevolusi, membawa pesan filosofisnya tentang keseimbangan, kesuburan, dan penerimaan. Tarian ini akan terus menjadi cermin bagi masyarakatnya, menunjukkan bahwa kekuatan sejati seringkali ditemukan dalam kelembutan, dan keindahan tertinggi terletak pada persatuan kontras.
Lengger Lanang adalah jiwa Banyumas yang menari, sebuah manifestasi seni yang abadi dan tak lekang oleh waktu, senantiasa mengajak kita untuk 'eleng' (ingat) akan asal dan tujuan kita, sambil menikmati irama kehidupan yang lincah dan penuh pesona.
— Akhir Artikel —