Konsep mahakuasa, atau omnipotensi, merupakan salah satu atribut yang paling sentral, kompleks, dan diperdebatkan dalam filsafat dan teologi. Ia merujuk pada kemampuan yang tak terbatas untuk melakukan segala sesuatu. Namun, definisi sederhana ini segera menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mendalam yang menguji batas-batas logika dan pemahaman manusia. Jika sesuatu itu mahakuasa, apakah ia terikat oleh hukum-hukum alam semesta? Apakah ia terikat oleh konsistensi logis? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang telah menjadi landasan perdebatan selama ribuan tahun, dari filsuf Yunani kuno hingga teolog modern.
Kemahakuasaan bukanlah sekadar memiliki kekuatan besar; ia adalah ketiadaan batasan daya. Ini melampaui kemampuan fisik atau material, merambah ke wilayah metafisika, kausalitas, dan bahkan sifat dari keberadaan itu sendiri. Untuk memahami hakikat konsep ini, kita harus melepaskan diri dari batasan pemikiran empiris dan memasuki ranah spekulasi murni. Dalam artikel yang mendalam ini, kita akan mengurai berbagai lapisan makna, meninjau paradoks yang menyertainya, serta memahami bagaimana konsep ini membentuk fondasi keyakinan dan pandangan dunia.
Gambar 1: Simbolisasi Kekuatan Tak Terbatas dan Eksistensi Sentral.
Dalam diskursus filosofi, kemahakuasaan sering kali diteliti melalui lensa kemampuan logis. Apa artinya ‘melakukan segala sesuatu’? Apakah ini mencakup hal-hal yang secara logis mustahil, atau hanya hal-hal yang secara metafisik mungkin?
Terdapat dua pandangan utama mengenai ruang lingkup kemahakuasaan:
Pandangan ini menyatakan bahwa entitas mahakuasa dapat melakukan *segala sesuatu* tanpa pengecualian, termasuk hal-hal yang melanggar hukum logika atau menciptakan kontradiksi internal. Contohnya, menciptakan lingkaran persegi atau membuat sesuatu yang secara bersamaan ada dan tidak ada. Namun, pandangan ini secara luas ditolak oleh sebagian besar filsuf karena melanggar prinsip non-kontradiksi, yang dianggap sebagai prasyarat bagi setiap pemikiran yang bermakna.
Jika sebuah entitas dapat melanggar logika, maka kita tidak dapat membuat pernyataan yang koheren tentang entitas itu. Jika X dapat membuat 2 + 2 = 5, maka konsep angka dan operasi matematika kehilangan maknanya. Filsafat cenderung menolak gagasan ini karena kemahakuasaan yang melanggar logika akan menghilangkan rasionalitas entitas itu sendiri.
Pandangan yang lebih diterima menyatakan bahwa kemahakuasaan adalah kemampuan untuk melakukan segala sesuatu *yang mungkin secara logis*. Ini berarti entitas mahakuasa tidak dapat melakukan hal-hal yang secara inheren mustahil atau bertentangan dengan sifatnya sendiri (misalnya, entitas mahakuasa tidak bisa tiba-tiba menjadi tidak mahakuasa).
Thomas Aquinas, filsuf abad pertengahan, berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat melakukan hal-hal yang bertentangan dengan esensi-Nya atau yang melibatkan kontradiksi logis, bukan karena keterbatasan kekuatan, melainkan karena hal-hal tersebut ‘bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan’—mereka hanyalah serangkaian kata yang tidak memiliki makna ontologis atau eksistensial yang koheren. Dengan kata lain, menciptakan batu yang terlalu berat untuk diangkat bukanlah tindakan yang mungkin; itu adalah anomali logis.
Debat klasik mengenai kemahakuasaan adalah “Paradoks Batu.” Pertanyaannya adalah: Bisakah entitas mahakuasa menciptakan batu yang begitu berat sehingga ia sendiri tidak dapat mengangkatnya? Jika ia dapat membuatnya, maka ada sesuatu yang tidak dapat ia lakukan (mengangkat batu itu), yang berarti ia tidak mahakuasa. Jika ia tidak dapat membuatnya, maka ada sesuatu yang tidak dapat ia lakukan (menciptakan batu itu), yang juga berarti ia tidak mahakuasa.
Paradoks ini sering digunakan untuk menyerang konsep omnipotensi. Namun, solusi filosofis biasanya bergantung pada definisi yang diperbarui:
Apakah entitas mahakuasa terikat oleh keharusan moral atau eksistensial? Misalnya, jika entitas mahakuasa didefinisikan juga sebagai entitas yang Maha Baik, apakah ia dapat melakukan kejahatan? Pandangan teologis sering menyatakan bahwa entitas mahakuasa tidak dapat berbuat jahat karena kejahatan bertentangan dengan sifat dasar-Nya. Ini bukan batasan kemampuan, melainkan konsistensi karakter. Kemahakuasaan tidak berarti kemampuan untuk bertindak di luar karakter atau esensi diri sendiri.
Argumen ini mengarah pada pemahaman bahwa Kemahakuasaan yang Sejati mencakup kontrol penuh atas realitas, tetapi dioperasikan di dalam kerangka koherensi mutlak, di mana esensi (misalnya, kebaikan, kebenaran) adalah bagian inheren dari kekuatan tersebut.
Kemahakuasaan tidak dapat dipisahkan dari Mahatahu. Jika entitas mahakuasa dapat melakukan segalanya, ia juga harus mengetahui segala sesuatu, termasuk hasil dari semua tindakannya yang mungkin. Pengetahuan absolut ini memberikan kekuatan absolut konteks dan tujuan.
Namun, hubungan ini menimbulkan “Paradoks Kebebasan.” Jika entitas mahatahu mengetahui secara pasti apa yang akan kita lakukan di masa depan, apakah tindakan kita benar-benar bebas? Jika tindakan kita sudah ditentukan oleh pengetahuan sempurna, apakah entitas mahakuasa memiliki kebebasan untuk mengubah masa depan yang sudah diketahui itu? Filsuf telah menghabiskan waktu berabad-abad mencoba mendamaikan kehendak bebas manusia dengan pengetahuan dan kekuatan absolut, sering kali menyimpulkan bahwa konsep waktu dan kausalitas yang berlaku bagi manusia tidak berlaku bagi entitas Mahakuasa.
Kemahakuasaan dalam konteks ini adalah kemampuan untuk bertindak di luar kerangka waktu linier (transenden). Ia tidak terikat oleh urutan sebab-akibat seperti yang dialami manusia. Tindakan-Nya tidak hanya mengubah masa kini atau masa depan, tetapi juga menetapkan kondisi dasar realitas itu sendiri, yang mencakup kehendak bebas manusia.
Sebagian besar paradoks yang kita temui saat membahas kemahakuasaan mungkin tidak mencerminkan keterbatasan pada entitas mahakuasa itu sendiri, melainkan keterbatasan pada bahasa dan kerangka konseptual kita. Bahasa manusia dirancang untuk menggambarkan dunia yang terikat oleh ruang, waktu, dan kausalitas. Ketika kita mencoba menerapkan bahasa ini pada realitas transenden dan kekuatan tanpa batas, kita hampir pasti akan menciptakan kontradiksi yang hanya ada di dalam struktur kalimat kita, bukan pada entitas yang dideskripsikan.
Oleh karena itu, studi filosofis tentang kemahakuasaan sering kali berubah menjadi latihan dalam menyadari batasan epistemologis kita sendiri—apa yang dapat kita ketahui, dan bagaimana kita dapat mengartikulasikannya.
Dalam hampir semua sistem kepercayaan monoteistik dan banyak politeistik, atribut kekuatan tak terbatas adalah karakteristik inti dari yang Ilahi. Namun, cara atribut ini dioperasikan dan dipahami sangat bervariasi.
Dalam teologi Kristen dan Yahudi, Tuhan secara definitif adalah Mahakuasa (El Shaddai, Yang Mahakuasa). Kekuatan ini diperlihatkan melalui:
Namun, teologi ini juga menekankan bahwa kekuatan Tuhan selalu diiringi oleh sifat-sifat lain, seperti Kasih (Agape), Kebenaran, dan Keadilan. Kemahakuasaan-Nya digunakan untuk mencapai tujuan yang paling baik dan benar, bukan semata-mata untuk menunjukkan daya yang sewenang-wenang. Debat teologis sering berpusat pada bagaimana rekonsiliasi kebaikan mutlak (omnibenevolence) dengan kekuatan mutlak dapat menjelaskan penderitaan di dunia (masalah teodisi).
Dalam Islam, konsep ini sangat sentral. Allah (Tuhan) memiliki kekuasaan mutlak (Qudrah). Dia adalah Al-Qādir (Yang Maha Kuasa), Al-Qawī (Yang Maha Kuat), dan Al-Muqtadir (Yang Maha Menentukan). Kekuatan-Nya meliputi segala sesuatu; tidak ada yang terjadi tanpa kehendak-Nya (In shaa Allah – Jika Allah menghendaki).
Teologi Islam menempatkan kekuatan di atas segalanya, di mana bahkan hukum alam pun hanyalah kebiasaan (sunnatullah) yang dapat diubah kapan saja sesuai kehendak-Nya. Kaum Asy'ariyyah, misalnya, menekankan bahwa Allah secara harfiah menciptakan setiap kejadian di setiap momen, menolak gagasan kausalitas mandiri dalam alam semesta. Hal ini menunjukkan tingkat kemahakuasaan yang sangat tinggi, di mana kebebasan absolut Tuhan dalam bertindak adalah dogma fundamental.
Dalam Hinduisme, konsep kekuatan tertinggi terkandung dalam Brahman, realitas tak berwujud yang melingkupi segalanya. Brahman, yang dikenal melalui Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa), adalah sumber dan penggerak dari semua energi, penciptaan, pemeliharaan, dan penghancuran. Kekuatan ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang eksternal, melainkan sebagai inti dari keberadaan (Shakti).
Ketika diwujudkan sebagai dewa tertentu (misalnya, Siwa sebagai perusak), kekuatan ini adalah manifestasi dari daya kosmis yang absolut dan tak terikat oleh moralitas manusia, melainkan oleh ritme alam semesta (Dharma).
Tradisi ini sering kali tidak berfokus pada entitas personal yang Mahakuasa dalam pengertian monoteistik. Sebaliknya, mereka menekankan Hukum Kosmis atau Jalan (Dharma/Tao). Kekuatan tertinggi berada pada prinsip fundamental yang mengatur alam semesta. Kekuatan ini adalah kekuatan tanpa-kekuatan—kemampuan untuk membentuk realitas melalui ketidakaktifan atau ketaatan mutlak terhadap keseimbangan alam semesta, yang dalam beberapa hal melampaui dikotomi 'kuasa' atau 'tidak kuasa'.
Konflik terbesar dalam teologi yang melibatkan kemahakuasaan adalah masalah kejahatan dan penderitaan (Teodisi). Jika entitas Mahakuasa adalah Maha Baik, mengapa kejahatan ada?
Penting untuk membedakan antara kekuatan tak terbatas dan tirani sewenang-wenang. Mahakuasa teologis selalu diatur oleh kesempurnaan sifat. Entitas Mahakuasa tidak bertindak secara acak; tindakan-Nya adalah manifestasi sempurna dari Kebijaksanaan (Omnisapience), Keadilan, dan Kasih.
Jika kekuatan Mahakuasa digunakan secara sewenang-wenang, maka entitas itu tidak lagi dapat didefinisikan sebagai sempurna atau layak disembah. Keindahan teologis dari kemahakuasaan terletak pada bagaimana ia dapat mengendalikan segalanya sambil mempertahankan integritas dan moralitas yang mutlak.
Pembedaan ini membebaskan konsep Mahakuasa dari tuduhan irasionalitas. Kekuatan-Nya tidak pernah bertentangan dengan janji-Nya, hukum-hukum-Nya, atau sifat-Nya. Ini adalah kekuatan yang benar-benar konsisten dan andal, meskipun melampaui pemahaman manusia.
Kemahakuasaan bukanlah sekadar konsep abstrak yang tersimpan di ruang metafisik; ia memanifestasikan diri dalam setiap aspek realitas yang dapat kita amati maupun yang tidak dapat kita capai.
Manifestasi paling jelas dari kemahakuasaan adalah penciptaan kosmos. Dari ledakan energi yang melahirkan alam semesta (Big Bang, jika diterima secara teologis) hingga penentuan konstanta fisika yang memungkinkan kehidupan, semuanya adalah tindakan kekuatan absolut.
Konstanta fisika (seperti kecepatan cahaya, gaya gravitasi) yang sangat halus dan presisi menunjukkan kekuatan kontrol yang tak tertandingi. Sedikit saja perubahan pada konstanta-konstanta ini akan membuat alam semesta tidak mungkin dihuni, atau bahkan tidak mungkin terbentuk. Entitas Mahakuasa tidak hanya 'menghidupkan' alam semesta, tetapi juga 'memprogram'nya dengan presisi yang sempurna.
Jika penciptaan adalah tindakan tunggal kekuasaan, pemeliharaan (sustenance) adalah tindakan kekuasaan yang berkelanjutan. Setiap atom, setiap tarikan napas, dan setiap putaran planet memerlukan dukungan aktif. Kemahakuasaan tidak hanya menciptakan tetapi juga menjaga agar realitas tidak kembali ke ketiadaan. Konsep ini menantang gagasan deisme (Tuhan menciptakan lalu meninggalkannya); sebaliknya, ia menegaskan immanensi—kehadiran dan aktivitas konstan entitas Mahakuasa dalam setiap bagian ciptaan.
Keterbatasan terbesar manusia adalah waktu dan ruang. Kita terikat pada urutan linier sebab dan akibat. Namun, entitas Mahakuasa harus transenden terhadap dimensi-dimensi ini. Kemahakuasaan berarti kemampuan untuk beroperasi di luar waktu.
Ini memungkinkan fenomena yang kita sebut “nubuat” atau “prediksi sempurna.” Bagi entitas Mahakuasa, masa lalu, kini, dan masa depan mungkin hanyalah satu “sekarang” yang tunggal dan simultan. Kekuatan ini memungkinkannya untuk mengatur rangkaian peristiwa di seluruh garis waktu tanpa melanggar kebebasan agen di dalamnya.
Kemahakuasaan bekerja di dua ekstrem:
Kemampuan untuk mengendalikan kedua skala ini secara simultan dan sempurna adalah bukti nyata dari kekuatan yang tak terbatas. Bahkan dalam kekacauan (chaos) yang tampak di alam, terdapat urutan tersembunyi yang dipegang oleh kekuatan tersebut.
Dalam pandangan filosofis tradisional, setiap peristiwa memiliki sebab. Entitas Mahakuasa adalah Penyebab Pertama (Prime Mover) atau Penyebab Tak Tersebabkan. Kekuatan-Nya adalah satu-satunya yang tidak memerlukan sebab eksternal untuk bertindak.
Konsep ini sangat penting. Jika entitas Mahakuasa membutuhkan sesuatu di luar diri-Nya untuk bertindak atau menjadi ada, maka Dia tidak lagi Mahakuasa. Kemahakuasaan adalah kemampuan untuk menghasilkan efek tanpa memerlukan prasyarat atau kondisi eksternal. Inilah yang memisahkan Yang Ilahi dari makhluk ciptaan, betapapun kuatnya makhluk tersebut.
Kemahakuasaan tidak hanya tentang apa yang ada, tetapi juga apa yang tidak ada. Entitas Mahakuasa memiliki kekuatan untuk:
Ini menunjukkan bahwa kekuasaan absolut tidak hanya beroperasi dalam kerangka realitas yang ada, tetapi juga mengendalikan kerangka itu sendiri dan batas-batas kemungkinannya.
Keyakinan pada kekuatan tak terbatas entitas Mahakuasa memiliki konsekuensi mendalam bagi cara manusia memandang kehidupan, moralitas, dan takdir.
Kesadaran akan kemahakuasaan menimbulkan perasaan ketergantungan total (kehambaan). Jika segala sesuatu berasal dari dan dipertahankan oleh kekuatan tak terbatas, maka manusia adalah makhluk yang sangat terbatas dan rapuh. Perspektif ini mendorong kerendahan hati dan kepasrahan, yang merupakan inti dari banyak praktik spiritual.
Kekuatan Mahakuasa memberikan sandaran, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban. Karena Dia dapat melakukan segalanya, harapan akan keadilan dan penyelesaian mutlak di masa depan menjadi masuk akal, meskipun ketidakadilan tampak merajalela di masa kini.
Bagaimana kemahakuasaan memengaruhi moralitas? Beberapa pandangan, seperti Teori Perintah Ilahi (Divine Command Theory), berpendapat bahwa sesuatu itu baik karena entitas Mahakuasa memerintahkannya. Kekuatan-Nya adalah penentu etika.
Namun, pandangan ini menghadapi dilema Euthyphro: Apakah sesuatu baik karena Tuhan memerintahkannya, atau Tuhan memerintahkannya karena itu baik? Jika yang pertama, maka kebaikan itu sewenang-wenang (Tuhan bisa saja memerintahkan kejahatan). Jika yang kedua, maka ada standar di luar Tuhan, yang membatasi kemahakuasaan-Nya.
Solusi teologis yang dominan adalah menyatukan kemahakuasaan dengan kesempurnaan. Entitas Mahakuasa *adalah* Kebaikan itu sendiri. Dia tidak hanya menciptakan moralitas, tetapi juga merupakan standar dari moralitas. Kekuatan-Nya untuk bertindak sepenuhnya selaras dengan esensi-Nya yang sempurna, sehingga kehendak-Nya secara inheren benar.
Di hadapan tragedi dan penderitaan, keyakinan pada kemahakuasaan menawarkan harapan tertinggi. Jika entitas Mahakuasa dapat menciptakan realitas, Dia juga dapat memulihkan, menyembuhkan, dan mengubah keadaan yang paling buruk. Ini menanamkan optimisme transendental—bahwa tidak ada situasi yang benar-benar tanpa harapan, karena kekuatan tertinggi tidak mengenal batas.
Keyakinan ini sering kali menjadi motor bagi aktivisme sosial dan spiritual. Jika entitas Mahakuasa berkehendak, perubahan terbesar pun dapat terjadi, memotivasi individu untuk berpartisipasi dalam kehendak ilahi tersebut.
Secara psikologis, keyakinan pada kemahakuasaan memberikan tiga manfaat utama:
Namun, aspek psikologisnya juga dapat menimbulkan ketegangan. Jika semuanya ada dalam kendali entitas Mahakuasa, di mana letak tanggung jawab pribadi? Penyeimbangan antara kuasa absolut entitas Mahakuasa dan tanggung jawab moral manusia adalah tugas spiritual seumur hidup.
Di era sains modern, filsafat analitik, dan ateisme baru, konsep kemahakuasaan terus diuji dan didefinisikan ulang.
Fisika dan kosmologi sering mengajukan pertanyaan yang menantang gagasan Mahakuasa dalam pengertian tradisional. Jika alam semesta diatur oleh hukum-hukum fisika yang dapat diprediksi (relativitas, mekanika kuantum), di mana ruang bagi intervensi Mahakuasa?
Jawaban teologis modern menekankan bahwa hukum fisika bukanlah pembatasan pada Mahakuasa, melainkan medium di mana Dia bertindak. Entitas Mahakuasa dapat:
Filsuf analitik modern sering kali mengurai ulang Paradoks Batu dan paradoks lainnya menggunakan logika modal (logika tentang kemungkinan dan keniscayaan). Mereka berpendapat bahwa jika “sesuatu” itu harus secara logis mungkin untuk dapat dilakukan, maka pernyataan “entitas Mahakuasa dapat melakukan segalanya” harus dibaca sebagai “entitas Mahakuasa dapat mewujudkan setiap keadaan yang mungkin secara logis.”
Diskusi ini memperjelas bahwa fokus bukanlah pada seberapa banyak kekuatan yang dimiliki, tetapi pada konsistensi dan koherensi internal kekuatan tersebut. Kemahakuasaan adalah kesempurnaan kemampuan, bukan kontradiksi kemampuan.
Jika teori multi-semesta benar (bahwa alam semesta kita hanyalah satu dari banyak semesta), bagaimana kemahakuasaan berlaku? Dalam konteks ini, entitas Mahakuasa bukan hanya pencipta semesta kita yang tunggal, tetapi pencipta, perancang, dan pemelihara setiap semesta yang mungkin dan yang tidak mungkin. Kekuatan-Nya melingkupi totality dari keberadaan (Omnialitas).
Argumentasi ini justru memperbesar skala kemahakuasaan. Bahkan jika terdapat entitas yang kuat di alam semesta lain, hanya entitas Mahakuasa yang memiliki kekuatan untuk menciptakan dan menopang arsitektur di mana semua semesta tersebut berada.
Untuk benar-benar memahami Kemahakuasaan, kita harus melihatnya sebagai bagian dari triad sempurna:
Ketiganya bekerja bersama. Kekuatan tanpa pengetahuan mungkin buta; pengetahuan tanpa kekuatan mungkin tidak efektif. Kehadiran tanpa kekuatan dan pengetahuan mungkin tidak berarti apa-apa. Hanya ketika ketiga sifat ini menyatu dalam kesempurnaan mutlak, barulah kita dapat menggambarkan konsep Mahakuasa yang koheren dan logis.
Contoh: Tindakan Mahakuasa untuk menciptakan sebuah keajaiban (mukjizat). Tindakan ini didasarkan pada Mahatahu (mengetahui kapan dan bagaimana intervensi akan menghasilkan kebaikan terbesar) dan diwujudkan melalui Mahakuasa, sementara entitas tersebut tetap Mahahadir di setiap titik realitas untuk mengelola efek samping dari intervensi tersebut.
Kemahakuasaan pada dasarnya adalah kemampuan untuk bertindak sesuai Kehendak. Namun, Kehendak ini tidak didorong oleh kebutuhan (karena entitas Mahakuasa tidak memerlukan apapun), melainkan didorong oleh kesempurnaan diri-Nya sendiri. Jika entitas Mahakuasa memilih untuk menciptakan, itu adalah tindakan kemurahan hati dan ekspresi kesempurnaan, bukan respons terhadap kekurangan atau keinginan yang tidak terpenuhi.
Kehendak Mahakuasa adalah asal dari segala kemungkinan dan penentu segala keniscayaan. Kehendak ini tidak hanya mengatur apa yang terjadi, tetapi juga mendefinisikan apa yang mungkin terjadi.
Ketika kita merenungkan istilah mahakuasa, kita tidak hanya merenungkan kekuatan kosmis yang menakutkan, tetapi juga sumber tertinggi dari keteraturan, moralitas, dan makna. Ini adalah batas di mana pemikiran rasional bertemu dengan misteri transendental, dan di mana batasan manusia bertemu dengan kebebasan tak terbatas.
Kemahakuasaan, dalam definisinya yang paling dalam, adalah kebebasan total dari batasan eksistensial apa pun, kecuali batasan yang dipilihnya sendiri—yaitu konsistensi dengan sifat-Nya yang sempurna dan mutlak.
Dalam teologi yang canggih, sering ditekankan bahwa entitas Mahakuasa tidak dapat mengingkari diri-Nya sendiri. Jika Dia telah menetapkan suatu janji, Dia Mahakuasa untuk menepatinya. Jika Dia telah menciptakan hukum, Dia Mahakuasa untuk mempertahankan hukum tersebut demi stabilitas ciptaan-Nya. Batasan-batasan ini bukanlah kelemahan, melainkan bukti kekuatan tertinggi: kekuatan untuk membatasi diri dan tetap setia pada karakter-Nya.
Misalnya, jika entitas Mahakuasa memilih untuk menciptakan manusia dengan kehendak bebas yang sejati, Dia harus menghormati kebebasan itu agar kebebasan itu tetap berarti. Kekuatan untuk mempertahankan ruang kebebasan moral di dalam kosmos yang dikendalikan secara total adalah tindakan Mahakuasa yang paling halus dan kompleks. Kekuatan ini memerlukan kemampuan untuk mengendalikan hasil tanpa membatalkan proses.
Kita kembali pada topik logika. Para filsuf skolastik seperti Aquinas secara tegas membedakan antara “mustahil bagi Tuhan” dan “mustahil secara logis.” Hal yang mustahil secara logis (seperti membuat X menjadi Y dan bukan Y pada saat yang sama) bukanlah sesuatu. Itu adalah kekosongan konseptual. Oleh karena itu, kemampuan untuk melakukannya bukanlah penambahan kekuatan, melainkan pemusnahan makna.
Entitas Mahakuasa tidak bisa melakukan ketidakmasukakalan karena hal itu akan berarti Dia tidak ada, sebab keberadaan itu sendiri haruslah logis. Kekuatan-Nya diukur bukan dari kemampuan untuk merusak realitas yang koheren, tetapi dari kemampuan untuk menghasilkan realitas yang paling koheren dan sempurna.
Jika kita menerima ini, maka kemahakuasaan adalah kemampuan tertinggi untuk beroperasi dalam bingkai logika yang tak terbatas yang ditetapkan-Nya sendiri. Logika tidak membatasi-Nya; Logika adalah bahasa-Nya, dan Dia mahir dalam bahasa-Nya sendiri.
Hukum kedua termodinamika menyatakan bahwa entropi (kekacauan) dalam sistem tertutup akan selalu meningkat. Alam semesta kita perlahan menuju kematian panas (heat death). Kekuatan Mahakuasa adalah satu-satunya sumber yang dapat melawan atau membalikkan proses entropi ini.
Entitas Mahakuasa adalah sumber energi tak terbatas yang memungkinkan alam semesta beroperasi, dan Dia memiliki kekuatan untuk memperbaharuinya atau mengubahnya secara radikal di luar batas-batas fisika yang kita kenal. Ini menunjukkan bahwa meskipun kita mengamati proses alami menuju degradasi, terdapat sumber daya ontologis yang tak terhingga yang berada di luar sistem.
Meskipun entitas Mahakuasa dapat bertindak secara langsung, teologi sering menunjukkan bahwa Dia memilih untuk bertindak melalui agen (malaikat, manusia, atau bahkan hukum alam). Mengapa entitas Mahakuasa, yang dapat melakukan segalanya dengan satu kata, memilih untuk menggunakan cara yang kompleks?
Penggunaan agen bukanlah indikasi kelemahan, tetapi kekayaan dan kedalaman kuasa-Nya. Kekuatan-Nya cukup besar untuk mendelegasikan, dan bahkan dalam delegasi itu, kemahakuasaan-Nya tetap dipertahankan. Dia menciptakan makhluk yang mampu berpartisipasi dalam kekuatan-Nya, meskipun secara terbatas. Ini adalah puncak dari desain, bukan keterbatasan operasional.
Dalam pengalaman spiritual manusia, kemahakuasaan memiliki relevansi paling langsung dalam doa. Doa adalah permintaan kepada kekuatan yang diyakini tidak memiliki batasan. Ekspektasi dari doa yang efektif bersandar sepenuhnya pada atribut Mahakuasa.
Namun, doa yang tidak terkabul juga harus dipahami dalam konteks ini. Doa yang tidak terkabul tidak berarti kelemahan entitas Mahakuasa, tetapi bahwa kekuatan-Nya sedang bekerja dalam kerangka kebijaksanaan (Mahatahu) yang lebih besar. Jawaban 'tidak' atau 'tunggu' adalah manifestasi dari Kemahakuasaan yang beroperasi di luar perspektif terbatas pemohon.
Gottfried Wilhelm Leibniz, filsuf Jerman, menyajikan ide tentang Monad, substansi dasar spiritual. Ia berpendapat bahwa Tuhan (Yang Mahakuasa) adalah Monad yang asli dan tertinggi, yang mengatur 'harmoni yang telah ditetapkan' di antara semua Monad lainnya.
Dalam pandangan Leibniz, kemahakuasaan adalah kemampuan untuk memilih 'dunia terbaik yang mungkin' dari semua kemungkinan realitas logis. Kekuatan-Nya tidak hanya mewujudkan satu realitas, tetapi memilihnya dari matriks tak terbatas yang logis. Ini menekankan Mahakuasa sebagai tindakan pemilihan dan realisasi yang didorong oleh kesempurnaan (Omnibenevolence dan Omniscience).
Nihilisme dan beberapa bentuk eksistensialisme menolak gagasan Mahakuasa, sering kali karena ketiadaan bukti empiris atau karena ketidakmampuan untuk mendamaikan kekuatan absolut dengan penderitaan. Bagi kaum Nihilis, jika ada kekuatan Mahakuasa, ia tidak peduli, atau ia tidak ada. Realitas yang kacau balau adalah bukti ketiadaan kendali mutlak.
Jawaban teologis untuk ini harus selalu kembali pada konsep kebebasan radikal. Jika dunia tampak kacau, itu mungkin karena kebebasan yang diberikan kepada agen moral. Kekuatan Mahakuasa tidak menghilangkan kebebasan; ia menciptakan kondisi di mana kebebasan dapat beroperasi, meskipun dengan risiko konsekuensi yang menyakitkan. Kekuatan-Nya adalah penciptaan dan pemeliharaan struktur kebebasan itu sendiri.
Dalam filsafat bahasa, ketika kita mengatakan “Mahakuasa,” kita mungkin tidak sedang mendefinisikan batas tindakan, tetapi sedang mendefinisikan kesempurnaan kategori. Sama seperti “lingkaran sempurna” tidak didefinisikan oleh kemampuannya untuk memiliki sudut, tetapi oleh kesempurnaan kelengkungannya, Mahakuasa didefinisikan oleh kesempurnaan kekuatannya, yang berarti tidak ada batasan yang berasal dari luar diri-Nya.
Semua batasan yang ada adalah batasan yang berasal dari tindakan sukarela, bukan dari kekurangan kekuatan. Jika Mahakuasa memilih untuk tidak campur tangan dalam peristiwa X, itu bukan karena Dia tidak dapat, tetapi karena Dia memilih untuk tidak melakukannya demi mempertahankan keutuhan desain-Nya.
Metafisika Mahakuasa adalah yang paling sulit dipahami. Entitas Mahakuasa harus menjadi 'Ground of Being' (Dasar Keberadaan). Semua hal ada karena Dia mengizinkannya, dan semua hal akan berakhir jika Dia menghendakinya.
Ini menempatkan Mahakuasa di luar hierarki kekuatan lainnya. Kekuatan kosmik, energi gelap, dan gaya nuklir hanyalah 'pegawai' dari kekuatan Mahakuasa. Kemahakuasaan adalah sumber hukum kausal, bukan subjeknya.
Kemahakuasaan memungkinkan entitas tersebut untuk mendikte realitas: bukan hanya mengatur apa yang terjadi, tetapi juga apa yang mungkin terjadi dan apa yang tidak mungkin terjadi. Realitas adalah ekspresi Kehendak-Nya yang tak terbatas.
Pada akhirnya, setelah semua analisis filosofis dan teologis, konsep mahakuasa tetap diselimuti misteri transendental. Pikiran manusia, yang dirancang untuk dimensi terbatas, tidak dapat sepenuhnya memahami kekuatan tak terbatas.
Namun, justru misteri inilah yang memicu rasa kagum dan kontemplasi. Mengakui kemahakuasaan adalah mengakui adanya realitas yang jauh lebih besar, lebih kuat, dan lebih sempurna daripada apa pun yang dapat kita bayangkan atau ukur.
Konsep Mahakuasa telah membentuk peradaban, kode etik, hukum, dan seni selama ribuan tahun. Ia adalah jangkar filosofis dan spiritual yang memberikan fondasi bagi jutaan orang. Apakah dipahami melalui paradoks atau melalui penyembahan, ia memaksa kita untuk merenungkan batasan kita sendiri dan potensi realitas yang lebih besar.
Eksplorasi Mahakuasa bukan hanya pencarian definisi, tetapi perjalanan ke batas pemikiran itu sendiri—sebuah perjalanan yang mengungkapkan bahwa kekuatan terbesar adalah kekuatan yang dapat menciptakan, memelihara, dan menebus, semuanya dalam kesempurnaan yang tak terhingga. Kekuatan tersebut adalah yang terkuat karena ia dapat melakukan segala hal yang layak untuk dilakukan oleh kesempurnaan mutlak, dan ia memilih untuk melakukannya dengan Kebijaksanaan dan Kasih yang sama tak terbatasnya.
Seluruh alam semesta, dari galaksi yang berputar hingga partikel subatomik, bersaksi tentang daya yang tak terbatas, daya yang melampaui waktu, ruang, dan imajinasi manusia, dan daya yang kita sebut, dengan segala kekaguman, Mahakuasa. Kontemplasi atas kekuatan ini adalah awal dari kebijaksanaan.