Kapal Phinisi, simbol ketangguhan maritim suku Bugis-Makassar, yang menjadi representasi jiwa kota Makassar.
Makassar, dahulu dikenal sebagai Ujung Pandang, adalah ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan dan merupakan salah satu kota metropolitan terbesar di Indonesia bagian timur. Kota ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat perdagangan dan logistik, tetapi juga menyimpan lapisan sejarah yang kaya, budaya maritim yang mendalam, serta warisan kuliner yang tak tertandingi. Dari kisah heroik Sultan Hasanuddin hingga aroma rempah yang menyelimuti Coto Makassar, kota ini menawarkan perpaduan energi modern dan tradisi purba yang memikat.
Posisi geografis Makassar sangat strategis, menjadikannya pintu gerbang utama menuju kawasan timur nusantara sejak zaman kerajaan hingga era modern. Kehadiran pelabuhan alami yang dalam telah menarik pedagang dari seluruh penjuru dunia, membentuk identitas kota yang kosmopolitan dan dinamis.
Sejarah Makassar tidak bisa dilepaskan dari kemaharajaan kembar yang pernah mendominasi kawasan ini, yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Kedua kerajaan ini, yang sering disebut sebagai "Dua Bersaudara", bersatu menjadi kekuatan maritim raksasa di Nusantara, menguasai jalur rempah-rempah yang membentang dari Malaka hingga Maluku.
Pada abad ke-16, Makassar—khususnya Pelabuhan Somba Opu yang terletak dekat muara Sungai Jeneberang—berkembang pesat sebagai pelabuhan bebas (free port). Kebijakan ini sangat berlawanan dengan praktik monopoli yang diterapkan oleh bangsa Eropa, terutama Portugis dan Belanda. Status pelabuhan bebas menjadikan Somba Opu magnet bagi pedagang Inggris, Denmark, Tiongkok, Arab, dan Gujarat. Mereka bebas berdagang lada, emas, kayu cendana, dan cengkeh tanpa tekanan monopoli harga. Inilah masa ketika Makassar dijuluki sebagai "Venesia dari Timur" oleh pelaut dan pedagang asing.
Puncak kejayaan Kerajaan Gowa-Tallo ditandai dengan penetapan Islam sebagai agama resmi pada tahun 1605 di bawah Raja Karaeng Matoaya (Sultan Abdullah Awalul Islam) dan I Mangarangi Daeng Manrabbia (Sultan Alauddin). Peralihan ini memperkuat jaringan perdagangan mereka dengan dunia Islam, sekaligus memberikan dasar ideologi yang kuat dalam menghadapi ekspansi kolonial. Sistem pemerintahan dan tata kelola pelabuhan yang sangat maju, termasuk peraturan yang melindungi hak pedagang asing, menjadi kunci stabilitas ekonomi Makassar pada masa itu.
Kehadiran Kongsi Dagang Belanda (VOC) di Nusantara pada awal abad ke-17 menjadi ancaman terbesar bagi kedaulatan Makassar. VOC menuntut monopoli penuh atas perdagangan rempah Maluku, sebuah tuntutan yang secara tegas ditolak oleh Gowa. Konflik pun tak terhindarkan. Pahlawan nasional Sultan Hasanuddin (dikenal juga sebagai "Ayam Jantan dari Timur") menjadi tokoh sentral dalam perlawanan heroik ini.
Selama bertahun-tahun, pasukan Gowa menunjukkan perlawanan yang gigih. Namun, VOC yang dipimpin oleh Cornelis Speelman berhasil memanfaatkan persaingan internal antar kerajaan di Sulawesi. Dengan bantuan Aru Palakka dari Bone, VOC berhasil mengepung dan menduduki benteng-benteng pertahanan Gowa. Puncak kekalahan Gowa adalah ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada tahun 1667.
Perjanjian Bongaya secara drastis mengubah peta kekuasaan. Pasal-pasal kunci memaksa Gowa menghancurkan benteng-benteng pertahanannya, kecuali Fort Rotterdam, yang kemudian direnovasi dan diambil alih oleh VOC. Perjanjian ini juga secara efektif mengakhiri status pelabuhan bebas Makassar, memaksa semua pedagang asing, kecuali Belanda, untuk meninggalkan wilayah tersebut. Era monopoli VOC di kawasan timur resmi dimulai.
Meskipun Gowa kalah secara militer, semangat perlawanan dan keberanian Sultan Hasanuddin tetap menjadi simbol identitas dan kebanggaan masyarakat Makassar hingga hari ini. Fort Rotterdam, yang awalnya bernama Benteng Jumpandang, kini berdiri sebagai saksi bisu kejayaan maritim dan pergeseran kekuasaan kolonial.
Setelah kemerdekaan Indonesia, kota ini tetap menjadi pusat administratif. Pada tahun 1971, nama Makassar diganti menjadi Ujung Pandang. Pengubahan nama ini dimaksudkan untuk lebih menasionalisasi kota, meskipun nama Makassar sendiri sudah sangat melekat secara historis dan kultural. Namun, pada tahun 1999, atas permintaan masyarakat dan pertimbangan sejarah yang kuat, nama kota dikembalikan lagi menjadi Makassar. Keputusan ini disambut baik sebagai bentuk pengakuan atas warisan kerajaan Gowa-Tallo yang tak terpisahkan dari identitas kota pelabuhan ini.
Sejak pengembalian nama tersebut, Makassar terus bertransformasi menjadi kota megapolitan yang modern. Infrastruktur pelabuhan ditingkatkan, bandar udara internasional Sultan Hasanuddin diperluas, dan pembangunan sektor jasa serta pendidikan mengalami lonjakan signifikan. Kota ini kini menjadi hub utama penerbangan dan distribusi barang yang menghubungkan Jawa dan Bali dengan pulau-pulau di Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara.
Budaya Makassar dan Bugis (yang saling beririsan erat) didominasi oleh filosofi mendalam dan warisan bahari yang tak tertandingi. Dua pilar utama yang membentuk karakter masyarakat adalah Siri' Na Pacce dan kemampuan membangun kapal Phinisi.
Siri' Na Pacce adalah inti dari etika sosial masyarakat Bugis-Makassar. Secara harfiah, Siri' berarti rasa malu atau kehormatan, sementara Pacce berarti pedih, keras, atau ketabahan hati. Filosofi ini adalah panduan hidup yang menuntut setiap individu untuk menjunjung tinggi harga diri dan kehormatan, serta memiliki ketabahan luar biasa dalam menghadapi kesulitan.
Jika kehormatan (Siri') seseorang atau keluarganya dinodai, masyarakat Makassar didorong untuk bertindak (seringkali secara ekstrem) untuk mengembalikannya, bahkan jika itu berarti mengorbankan nyawa. Sementara itu, Pacce adalah motor penggerak; ia adalah semangat untuk bekerja keras, pantang menyerah, dan berjuang melawan kemiskinan atau penindasan. Tanpa Pacce, seseorang dianggap lemah dan mudah menyerah, dan tanpa Siri', ia dianggap tidak memiliki martabat. Kedua konsep ini berjalan beriringan, menghasilkan individu yang berkarakter kuat, berani, dan menjunjung tinggi loyalitas.
Penerapan Siri' Na Pacce terlihat jelas dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari menjaga kebersihan lingkungan, menepati janji dagang, hingga memberikan perlawanan terhadap ketidakadilan. Ini bukan sekadar pepatah, melainkan hukum adat tidak tertulis yang mengatur hubungan interpersonal dan sosial di seluruh wilayah Sulawesi Selatan.
Warisan maritim Makassar diwujudkan dalam kapal tradisional legendaris: Phinisi. Kapal layar ini tidak hanya sekadar alat transportasi, melainkan mahakarya arsitektur bahari yang diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Phinisi dibuat oleh suku Bugis dan Makassar, khususnya dari daerah Konjo di Bulukumba, namun pusat distribusinya selalu melalui pelabuhan Makassar.
Pembangunan Phinisi adalah proses sakral yang melibatkan ritual adat mendalam. Proses pemilihan kayu (biasanya Ulin atau Bitti) dilakukan dengan hati-hati, diikuti oleh upacara pemotongan lunas yang disesuaikan dengan hari baik. Filosofi mendalam menyertai setiap bagian kapal; misalnya, tujuh layar Phinisi melambangkan tujuh samudra yang siap diarungi. Tanpa menggunakan paku modern, konstruksi Phinisi mengandalkan teknik pasak yang diturunkan dari generasi ke generasi, menunjukkan keterampilan pertukangan yang luar biasa.
Hingga kini, Phinisi modern masih digunakan untuk perdagangan antar pulau, membawa hasil bumi seperti semen, beras, dan kayu. Kapal-kapal ini berlabuh di Pelabuhan Paotere, sebuah pelabuhan tradisional di utara Makassar, yang menawarkan pemandangan ratusan kapal kayu berjejer rapi, memberikan nuansa kota pelabuhan tempo dulu yang otentik.
Gerakan Tarian Pa'gellu yang dinamis, sering ditampilkan dalam upacara penyambutan dan pernikahan adat.
Kesenian di Makassar mencerminkan kehidupan sosial dan sejarah kerajaan. Salah satu tarian paling terkenal adalah Tari Pa'gellu, yang awalnya merupakan tarian ritual persembahan saat kerajaan menyambut kembalinya prajurit dari medan perang atau perayaan panen raya. Gerakannya lincah dan enerjik, sering diiringi oleh alat musik tradisional seperti Gendang Makassar dan Puik-Puik (sejenis serunai).
Selain Pa'gellu, terdapat Tari Pajaga, tarian yang lebih anggun, sering dibawakan oleh perempuan istana. Musik tradisional Makassar memiliki ritme yang kuat dan dinamis, mencerminkan sifat masyarakatnya yang tegas dan bersemangat. Alat musik tradisional seperti *Kecapi Mandar* juga sering digunakan untuk mengiringi lagu-lagu daerah yang menceritakan kisah cinta, perjuangan, dan keindahan alam Sulawesi Selatan.
Makassar dikenal sebagai surga kuliner di Indonesia Timur. Keunikan masakannya berasal dari penggunaan rempah-rempah yang kaya, daging sapi dan kerbau pilihan, serta teknik memasak yang diwariskan turun-temurun. Kuliner Makassar tidak hanya memanjakan lidah, tetapi juga menceritakan sejarah asimilasi budaya di kota pelabuhan ini.
Tidak ada kunjungan ke Makassar yang lengkap tanpa mencicipi Coto Makassar. Ini adalah sup daging berkuah kental yang kaya rasa, sering disebut sebagai "Sop Konro" versi yang lebih halus dan lebih kompleks dari segi bumbu. Coto adalah simbol kuliner kota ini.
Coto Makassar dimasak dari perpaduan daging sapi atau kerbau dengan jeroan seperti paru, hati, babat, dan jantung. Namun, kunci kelezatannya terletak pada bumbu yang sangat padat. Bumbu Coto Makassar, yang dikenal sebagai *Rampa-Rampa*, menggunakan hingga 40 jenis rempah, meskipun bumbu inti yang wajib ada meliputi: bawang merah, bawang putih, jahe, lengkuas, serai, daun salam, jintan, ketumbar, merica, dan yang paling khas: kacang tanah yang digoreng dan dihaluskan.
Penambahan kacang tanah halus inilah yang memberikan tekstur kuah yang kental, berlemak, dan warna coklat keemasan yang khas. Proses memasak Coto membutuhkan waktu lama, seringkali berjam-jam, untuk memastikan semua bumbu meresap sempurna ke dalam potongan daging dan jeroan.
Secara tradisional, Coto Makassar disajikan dalam mangkuk kecil dan dimakan bersama ketupat (atau burasa, sejenis ketupat yang dimasak dengan santan). Kontras dengan hidangan soto dari Jawa yang biasanya dimakan dengan nasi, Coto Makassar dan ketupat adalah pasangan yang wajib. Ketupat berfungsi sebagai pengganti nasi dan membantu menyeimbangkan rasa kuah yang kuat.
Pelengkap penting lainnya adalah Sambal Tauco. Sambal ini dibuat dari fermentasi kedelai yang dicampur dengan cabai dan bumbu, memberikan rasa asin gurih yang unik dan sedikit pedas, sangat cocok untuk meningkatkan cita rasa kuah Coto. Perasan jeruk nipis juga harus ditambahkan untuk memberikan kesegaran asam yang memecah kekayaan lemak dari kuah Coto. Penjual Coto terbaik di Makassar selalu menekankan pentingnya proporsi bumbu dan penyajian yang otentik untuk menjaga kualitas hidangan warisan ini.
Seiring perkembangan zaman, Coto Makassar juga mengalami beberapa variasi. Beberapa tempat makan di Makassar menawarkan Coto khusus daging tanpa jeroan bagi mereka yang kurang menyukai tekstur jeroan. Ada juga Coto yang menggunakan campuran daging kerbau yang menghasilkan tekstur lebih liat dan rasa yang lebih ‘kampung’. Namun, esensi penggunaan *rampa-rampa* 40 bumbu tetap dipertahankan, memastikan bahwa dimanapun Coto ini disantap di Makassar, identitas rasanya tidak hilang.
Jika Coto adalah sup jeroan, maka Konro adalah hidangan iga sapi yang tak kalah ikonik. Konro hadir dalam dua bentuk utama: Sop Konro (berkuah) dan Konro Bakar (kering).
Sop Konro adalah sup iga sapi yang memiliki kuah berwarna gelap pekat, berkat penggunaan bumbu utama yang disebut Keluak (Pangium edule). Keluak tidak hanya memberi warna hitam khas tetapi juga rasa gurih yang dalam dan sedikit pahit yang khas. Proses memasak Konro sangat sederhana di permukaan, tetapi memerlukan kesabaran: iga direbus hingga empuk, kemudian dimasak dalam kuah bumbu kaya rempah yang didominasi oleh ketumbar, pala, dan keluak. Sop Konro sering disajikan panas-panas, ditaburi bawang goreng dan dinikmati bersama nasi.
Konro Bakar adalah versi yang lebih modern dan sangat populer di Makassar. Iga sapi yang telah direbus hingga empuk kemudian dibakar di atas arang, menghasilkan aroma smoky yang khas. Sebelum dibakar, iga diolesi dengan bumbu Konro yang kental, yang dicampur dengan sedikit kecap manis dan air asam jawa. Hasilnya adalah iga yang luarnya caramelized, bumbunya meresap sempurna, dan dagingnya sangat lembut. Konro Bakar biasanya disiram dengan sedikit kuah Sop Konro sebagai saus pelengkap, memberikan keseimbangan antara rasa manis, pedas, dan gurih yang kaya rempah.
Pallu Basa seringkali disamakan dengan Coto karena sama-sama menggunakan daging dan jeroan sapi, namun Pallu Basa memiliki identitas rasa dan kuah yang berbeda. Kuahnya cenderung lebih merah kecoklatan dan sedikit lebih manis dibandingkan Coto. Perbedaan utama terletak pada penggunaan bumbu dan kekentalan.
Kuah Pallu Basa tidak menggunakan kacang tanah, melainkan lebih mengandalkan santan yang lebih banyak dan rempah yang digoreng hingga harum sebelum dihaluskan. Bumbu inti Pallu Basa sangat bergantung pada cabai merah, kunyit, dan asam jawa, menghasilkan kuah yang lebih berminyak dan kaya rasa pedas rempah yang hangat. Rahasia lain Pallu Basa terletak pada penyajiannya: sebelum disantap, hidangan ini wajib ditambahkan kuning telur mentah (khusus Pallu Basa jeroan) yang diaduk hingga kuah menjadi semakin creamy dan gurih. Pallu Basa biasanya disajikan dengan nasi putih hangat.
Setelah hidangan utama yang berat, Pisang Epe adalah makanan penutup atau camilan khas Makassar yang sempurna. Pisang Epe adalah pisang raja yang dibakar, kemudian ditekan (diejek) hingga pipih, dan disajikan dengan siraman gula merah kental.
Kata "Epe" dalam bahasa Makassar berarti 'tekan' atau 'jepit'. Pisang yang telah dibakar di atas arang hingga matang, kemudian dipipihkan menggunakan penjepit kayu khusus. Gula merah yang digunakan adalah gula merah Sulawesi yang memiliki aroma khas, dimasak hingga menjadi sirup kental. Varian modern dari Pisang Epe kini sangat beragam di sepanjang Pantai Losari, termasuk tambahan keju, coklat, durian, atau bahkan nangka. Meskipun varian modern diminati, Pisang Epe klasik dengan saus gula merah adalah yang paling otentik dan paling dicari.
Pisang Epe adalah salah satu ikon kuliner yang sangat terkait dengan Pantai Losari. Pedagang Pisang Epe dapat ditemukan berjejer rapi, menyajikan hidangan hangat ini sambil menikmati angin laut sore hari di Makassar.
Tak hanya daging sapi, kuliner Makassar juga kaya akan hidangan laut. Pallu Mara adalah hidangan ikan berkuah kuning yang menggunakan kunyit, jahe, dan asam belimbing wuluh (atau asam jawa) sebagai bumbu utama. Rasa kuahnya segar, asam, dan sedikit pedas, sangat cocok untuk menetralisir rasa amis ikan. Ikan yang digunakan biasanya adalah ikan kakap atau baronang segar yang baru ditangkap dari Selat Makassar.
Sementara itu, Pallu Kaloa adalah hidangan ikan yang dimasak dengan keluak (sama seperti Konro), menghasilkan kuah hitam yang gurih dan kaya. Pallu Kaloa, meskipun hitam, memiliki kekayaan rasa yang berbeda dari Konro karena berfokus pada rempah yang lebih ringan, menonjolkan tekstur ikan dan rasa khas keluak.
Makassar menawarkan kombinasi menarik antara situs sejarah yang terpelihara dengan baik dan fasilitas kota modern yang megah. Perkembangan infrastruktur pariwisata telah menjadikan Makassar sebagai salah satu destinasi wisata urban terkemuka di Indonesia.
Benteng Rotterdam adalah landmark paling penting di Makassar. Benteng ini, yang awalnya bernama Benteng Ujung Pandang atau Jumpandang, dibangun oleh Raja Gowa pada tahun 1545. Setelah jatuh ke tangan VOC pada 1667, benteng ini direnovasi dan dinamai Fort Rotterdam, diambil dari nama tempat kelahiran Laksamana Cornelis Speelman.
Arsitektur Benteng Rotterdam sangat unik. Dari atas, benteng ini menyerupai penyu yang merangkak menuju laut. Filosofi di balik bentuk ini adalah: penyu adalah hewan yang dapat hidup di darat maupun di laut, melambangkan kejayaan Kerajaan Gowa-Tallo yang menguasai daratan dan lautan. Di dalam benteng terdapat sekitar 13 bangunan yang masih utuh, termasuk Museum La Galigo, yang menyimpan ribuan koleksi benda bersejarah, manuskrip kuno, dan artefak kebudayaan Bugis-Makassar. Salah satu bangunan paling terkenal adalah tempat pengasingan Pangeran Diponegoro yang dihabiskan di dalam benteng ini hingga akhir hayatnya.
Benteng Rotterdam kini menjadi pusat budaya dan pendidikan di Makassar. Sering diadakan pameran seni, pertunjukan tari tradisional, dan festival budaya di halaman tengah benteng yang luas. Kondisinya yang terawat menjadikannya contoh pelestarian bangunan kolonial terbaik di Indonesia.
Pantai Losari adalah jantung kota Makassar, meskipun pantai ini kini lebih berupa tanggul beton yang menghadap ke laut. Losari terkenal bukan karena pasirnya, melainkan karena pemandangan matahari terbenamnya yang spektakuler. Masyarakat Makassar menyebut Losari sebagai "meja makan terpanjang di dunia" karena dahulu, pedagang makanan menjajakan dagangan mereka di sepanjang tanggul.
Saat ini, Losari telah ditata ulang dan dilengkapi dengan anjungan yang mencakup area publik dan patung-patung pahlawan serta simbol daerah, seperti patung Phinisi. Salah satu daya tarik utamanya adalah Masjid Amirul Mukminin, yang dikenal sebagai Masjid Terapung Makassar. Masjid ini berdiri di atas permukaan laut dan menjadi spot foto favorit, terutama menjelang magrib ketika cahayanya memantul di air laut.
Losari juga merupakan pusat jajanan sore, tempat di mana wisatawan wajib mencicipi Pisang Epe otentik, serta aneka hidangan laut segar yang dibakar di tempat. Kepadatan dan keramahan yang tercipta di Pantai Losari menjadikannya cerminan kehidupan sosial Makassar yang ramai dan hangat.
Bagi mereka yang ingin melihat warisan bahari Makassar secara langsung, Pelabuhan Paotere adalah jawabannya. Berbeda dengan Pelabuhan Soekarno-Hatta yang modern, Paotere adalah pelabuhan tradisional yang didominasi oleh kapal-kapal kayu Phinisi dan Lambo. Di sini, aktivitas bongkar muat masih dilakukan secara manual, menunjukkan tradisi pelayaran kuno yang masih lestari.
Mengunjungi Paotere memberikan pengalaman visual yang unik; melihat tumpukan karung komoditas yang tinggi, puluhan ABK yang bekerja, dan siluet Phinisi dengan latar belakang air laut keemasan. Paotere adalah pengingat bahwa meskipun Makassar adalah kota modern, akar budayanya tetap terikat kuat pada laut dan tradisi pelayaran yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Tepat di depan lepas pantai Makassar terhampar Kepulauan Spermonde, gugusan pulau kecil yang menawarkan keindahan alam. Dua pulau yang paling sering dikunjungi adalah Pulau Samalona dan Pulau Kayangan.
Makassar juga berinvestasi besar-besaran dalam pariwisata modern. Trans Studio Makassar, salah satu taman hiburan indoor terbesar di Asia Tenggara, menjadi daya tarik utama bagi keluarga dan kaum muda. Kehadiran fasilitas modern ini menyeimbangkan citra Makassar sebagai kota historis, menunjukkan bahwa ia juga merupakan kota yang berorientasi ke masa depan.
Kawasan Panakkukang dan Boulevard Pettarani telah berkembang menjadi pusat perbelanjaan, hotel, dan bisnis modern, mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan status Makassar sebagai pusat regional yang penting. Jalan-jalan lebar, pembangunan *flyover*, dan tata kota yang semakin teratur menunjukkan komitmen pemerintah daerah untuk memadukan warisan sejarah dengan kebutuhan infrastruktur abad ke-21.
Peran Makassar dalam perekonomian nasional sangat krusial, terutama sebagai penghubung dan distributor utama bagi seluruh wilayah Indonesia Timur. Posisi strategisnya di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II menjadikannya simpul penting dalam jaringan logistik dan pelayaran global.
Pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar adalah pelabuhan kontainer terbesar dan tersibuk di luar Pulau Jawa. Pelabuhan ini menangani sebagian besar arus barang, baik impor maupun ekspor, untuk Sulawesi, Maluku, dan Papua. Investasi besar dalam modernisasi pelabuhan, termasuk perluasan dermaga dan peningkatan sistem bongkar muat, telah memperkuat peran Makassar sebagai hub logistik.
Fungsi pelabuhan ini sangat vital. Barang-barang konsumsi, material konstruksi, dan bahan baku industri yang masuk ke Indonesia Timur hampir semuanya melalui Makassar terlebih dahulu sebelum didistribusikan lebih lanjut menggunakan kapal-kapal kecil (termasuk Phinisi dan Lambo tradisional) ke pulau-pulau terpencil. Sebaliknya, hasil bumi seperti kakao, kopi, nikel, dan perikanan dari kawasan timur dipusatkan di Makassar untuk kemudian diekspor ke pasar internasional. Kapasitas pelabuhan yang terus ditingkatkan ini menjadi indikator langsung kesehatan ekonomi kawasan timur secara keseluruhan.
Selain logistik, sektor pendidikan di Makassar sangat maju. Universitas Hasanuddin (UNHAS) adalah salah satu universitas terkemuka di Indonesia dan menjadi pusat penelitian serta pengembangan sumber daya manusia bagi kawasan timur. Kehadiran berbagai institusi pendidikan tinggi lainnya menciptakan ekosistem inovasi dan jasa yang kuat.
Sektor jasa, termasuk perbankan, hotel, dan kesehatan, tumbuh pesat. Pembangunan gedung-gedung perkantoran bertingkat tinggi dan hotel-hotel internasional di sepanjang Jalan AP Pettarani dan Sudirman menunjukkan peningkatan investasi di sektor tersier. Kehadiran pusat-pusat konvensi besar juga menjadikan Makassar sebagai kota MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) yang penting di luar Jakarta dan Surabaya.
Secara historis, Makassar berada di pusat Jalur Rempah. Kini, kota ini berusaha mengaktifkan kembali peran tersebut, bukan hanya dalam konteks perdagangan fisik, tetapi juga sebagai pusat kebudayaan rempah-rempah. Industri kuliner yang berbasis rempah-rempah (seperti Coto dan Konro) menjadi daya tarik utama yang diekspor sebagai soft power budaya Makassar.
Pemerintah daerah Makassar aktif mempromosikan wisata gastronomi, menyadari bahwa warisan rempah Gowa-Tallo adalah aset unik. Upaya ini mencakup festival kuliner, pelatihan koki lokal, dan standardisasi resep tradisional untuk memastikan keaslian rasa Coto, Pallu Basa, dan Konro tetap terjaga seiring dengan pertumbuhan kota yang pesat. Warisan ini adalah jembatan antara masa lalu kejayaan pelabuhan bebas dan masa depan metropolitan yang berdaya saing global.
Seperti kota metropolitan lainnya, Makassar menghadapi tantangan, terutama terkait kepadatan lalu lintas dan masalah lingkungan. Untuk mengatasi hal ini, beberapa proyek infrastruktur besar sedang berjalan atau direncanakan, termasuk pembangunan jalan tol layang (elevated road) untuk mengurangi kemacetan dari dan menuju pelabuhan serta bandara. Proyek-proyek ini bertujuan untuk memastikan bahwa Makassar tetap kompetitif sebagai gerbang logistik di masa depan.
Inisiatif "Smart City" juga menjadi fokus utama, memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi layanan publik, manajemen transportasi, dan keamanan kota. Dengan kombinasi warisan budaya yang kuat dan ambisi infrastruktur modern, Makassar siap mempertahankan posisinya sebagai kota terdepan di timur Indonesia.
Untuk memahami sepenuhnya Makassar, kita harus kembali mendalami bagaimana sejarah dan tradisi kuliner bertemu. Rempah-rempah yang membentuk kuah Coto dan Konro adalah rempah yang sama yang diperjuangkan VOC pada abad ke-17.
Meskipun Coto Makassar adalah hidangan asli Makassar, sejarahnya menunjukkan adanya akulturasi. Beberapa ahli kuliner berpendapat bahwa teknik penggunaan jeroan dan beberapa bumbu, seperti tauco, menunjukkan adanya pengaruh Tionghoa yang kuat, mengingat komunitas Tionghoa telah menjadi bagian penting dari jaringan perdagangan di pelabuhan Somba Opu sejak abad ke-17.
Ketupat yang menjadi pasangan wajib Coto, juga merupakan adaptasi. Di beberapa daerah pedalaman Sulawesi Selatan, Coto sering dimakan bersama Burasa, nasi yang dimasak dengan santan dan dibungkus daun pisang, yang memberikan rasa lebih gurih. Namun, di kota Makassar modern, ketupat yang lebih padat dan tawar lebih disukai karena berfungsi sebagai penyeimbang sempurna bagi kuah Coto yang sangat kaya. Konsistensi dalam bumbu rampa-rampa ini adalah yang membedakan Coto Makassar dari soto-soto lainnya di Indonesia; tidak ada soto lain yang berani menggunakan kombinasi bumbu sedalam dan sebanyak ini, dengan profil rasa yang begitu kompleks—gurih, pedas rempah, sedikit manis, dan sangat kaya lemak.
Bumbu Coto Makassar tidak dibuat secara instan. Ini melibatkan penggilingan berbagai bumbu kering (ketumbar, jintan, merica, pala) yang telah disangrai, dicampur dengan bumbu basah (bawang, jahe, kunyit, lengkuas), dan yang terpenting, kacang tanah yang digoreng hingga matang sempurna dan dihaluskan. Kesabaran dalam menumis bumbu (Rampa-rampa) sangat penting. Bumbu harus ditumis dalam waktu lama hingga benar-benar matang dan mengeluarkan minyak aromatiknya. Ini adalah rahasia mengapa kuah Coto begitu kaya dan tidak terasa ‘mentah’ rempahnya. Proses ini memerlukan perhatian penuh dan biasanya dilakukan oleh koki berpengalaman yang telah mewarisi resep keluarga selama beberapa generasi di Makassar.
Struktur sosial tradisional di Makassar sangat hierarkis, meskipun kini semakin egaliter. Dahulu, masyarakat terbagi menjadi tiga kasta: bangsawan (Karaeng atau Daeng), rakyat biasa, dan budak. Meskipun sistem perbudakan telah dihapus, gelar kebangsawanan seperti "Daeng" masih digunakan sebagai penghormatan sosial dan sering ditambahkan di depan nama. Misalnya, penyebutan "Daeng Beta" atau "Daeng Aziz" adalah cara menghormati seseorang, menunjukkan bahwa sistem nilai tradisional masih memegang peranan kuat di tengah modernitas kota.
Peran *Raja* atau *Sultan* telah digantikan oleh struktur pemerintahan modern, namun lembaga adat dan dewan adat masih aktif dalam melestarikan upacara dan hukum tradisional, terutama yang berkaitan dengan pernikahan, kematian, dan penyelesaian sengketa (yang selalu berlandaskan prinsip Siri' Na Pacce).
Selain Benteng Rotterdam, Makassar memiliki peninggalan arsitektur lain yang menunjukkan perpaduan budaya. Istana Balla Lompoa di Sungguminasa (Kabupaten Gowa, dekat Makassar) adalah replika rumah adat Kerajaan Gowa. Bangunan ini berbentuk rumah panggung besar yang didominasi warna merah dan kuning emas, melambangkan keagungan kerajaan. Balla Lompoa kini berfungsi sebagai museum yang menyimpan benda-benda pusaka Kerajaan Gowa.
Di pusat kota Makassar, masih dapat ditemukan bangunan-bangunan tua era kolonial Belanda yang kini digunakan sebagai kantor atau bank. Arsitektur bergaya Indische Empire dan Nieuwe Zakelijkheid (Nieuwe Bouwen) terlihat jelas di sekitar Jalan Jenderal Sudirman dan kawasan Pelabuhan. Kontras antara bangunan kolonial yang kokoh dan rumah panggung Bugis-Makassar yang ringan memberikan dimensi arsitektural yang unik bagi kota pelabuhan ini.
Makassar adalah rumah bagi berbagai suku, meskipun suku Bugis dan Makassar adalah mayoritas. Terdapat juga komunitas Tionghoa, Jawa, Toraja, dan pendatang dari Maluku dan Nusa Tenggara. Keragaman ini tercermin dalam penggunaan bahasa. Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa komunikasi utama di ruang publik dan bisnis.
Namun, Bahasa Makassar dan Bahasa Bugis masih sangat dominan. Bahasa Makassar memiliki fonologi yang unik dan sering digunakan dalam percakapan sehari-hari di lingkungan keluarga dan komunitas. Bahasa-bahasa ini, bersama dengan aksara tradisional Lontara, terus diajarkan dan dilestarikan sebagai bagian integral dari identitas Makassar. Aksara Lontara, yang memiliki bentuk geometris khas, sering ditemukan dalam ukiran, nisan, dan dokumen resmi kerajaan masa lampau.
Kekayaan linguistik ini berkontribusi pada keragaman budaya yang menjadikan Makassar kota yang kaya akan cerita dan tradisi lisan. Kemampuan masyarakat untuk berinteraksi lintas etnis, yang telah dimulai sejak era pelabuhan bebas Somba Opu, adalah salah satu kekuatan sosial Makassar modern.
Selain ikon-ikon utama, Makassar dan sekitarnya menawarkan permata tersembunyi yang menambah kedalaman pengalaman berwisata.
Meskipun bukan di dalam batas kota, Malino adalah destinasi pelarian favorit masyarakat Makassar. Terletak di dataran tinggi Gowa, sekitar 90 km dari pusat kota, Malino dikenal sebagai "Kota Bunga" karena iklimnya yang sejuk dan pemandangan kebun teh yang indah. Pada masa kolonial, Malino adalah tempat peristirahatan para petinggi Belanda. Kini, Malino menawarkan udara segar, hutan pinus, dan air terjun yang mempesona, seperti Air Terjun Takapala. Kunjungan ke Malino memberikan perspektif yang berbeda tentang topografi Sulawesi Selatan—tidak hanya pantai dan pelabuhan, tetapi juga pegunungan yang subur.
Makassar juga merupakan pusat kerajinan tangan. Selain replika Phinisi, yang menjadi suvenir paling dicari, kerajinan kain sutra Sengkang dan Toraja juga banyak dijual di pusat-pusat perbelanjaan. Sutra Sengkang, yang ditenun secara tradisional dengan motif khas Bugis, menawarkan warna-warna cerah dan tekstur halus. Toko-toko di sepanjang Jalan Somba Opu menjadi pusat perburuan oleh-oleh, mulai dari makanan ringan khas seperti Mantau (roti kukus) hingga kerajinan perak dan ukiran kayu dengan motif Lontara.
Makassar sangat aktif dalam mengadakan festival budaya dan ekonomi yang menarik ribuan pengunjung. Salah satu yang paling terkenal adalah F8 (Film, Fashion, Food, Flora, Folk, Fusion, Fiction, and Fine Art). Festival tahunan ini menampilkan delapan elemen budaya dan seni yang disajikan secara masif di Pantai Losari, menarik perhatian nasional dan internasional.
Agenda lain yang penting adalah perayaan Hari Jadi Kota Makassar, yang selalu diisi dengan berbagai upacara adat, pertunjukan seni, dan pameran ekonomi kreatif. Partisipasi aktif pemerintah daerah dalam mempromosikan acara-acara ini menunjukkan komitmen Makassar untuk menjadi kota yang tidak hanya unggul secara ekonomi, tetapi juga kaya secara budaya dan kreatif.
Kombinasi antara kemajuan infrastruktur modern—seperti pembangunan kawasan Central Business District (CBD) yang baru dan pengembangan transportasi publik yang lebih terintegrasi—dengan pelestarian nilai-nilai sejarah dan budaya Gowa-Tallo, menegaskan status Makassar sebagai kota metropolitan yang berkarakter kuat. Kota ini berdiri sebagai monumen hidup bagi semangat Siri' Na Pacce yang diwariskan oleh para leluhur pelaut ulung.
Makassar bukan hanya sekadar persinggahan, melainkan destinasi yang menawarkan kisah mendalam tentang perjuangan, kehormatan, dan kekayaan rasa. Ia adalah gerbang yang menghubungkan kita dengan keindahan dan misteri Indonesia Timur, dihidupkan oleh aroma rempah Konro dan bisikan sejarah dari dinding Fort Rotterdam.
Setiap sudut kota Makassar menceritakan sebuah narasi. Mulai dari riuhnya pedagang di Pasar Sentral yang menawarkan hasil bumi dari berbagai penjuru Sulawesi, hingga ketenangan saat menikmati secangkir kopi khas Toraja di kedai-kedai modern. Energi kota ini tak pernah padam, mencerminkan ketabahan dan semangat pantang menyerah yang ditanamkan oleh Sultan Hasanuddin dan para pelaut Phinisi. Ini adalah kota yang menghormati masa lalunya namun tak gentar menyambut masa depan, menjadikannya salah satu permata paling berkilau di kepulauan Nusantara.
Kesinambungan budaya terlihat jelas dalam adat pernikahan Bugis-Makassar yang mewah dan kompleks, di mana mas kawin (panai') bisa mencapai angka fantastis, mencerminkan tingginya nilai kehormatan (siri') keluarga. Seluruh prosesi pernikahan—mulai dari melamar (mammuno) hingga pesta besar—adalah pameran kekayaan adat, pakaian tradisional, dan tentu saja, jamuan kuliner yang pasti menyajikan Coto, Konro, dan hidangan Pallu Basa sebagai menu utama kehormatan. Warisan tradisi ini terus dipertahankan sebagai benteng identitas di tengah arus globalisasi.
Oleh karena itu, menjelajahi Makassar adalah sebuah perjalanan multisensori. Ini adalah kesempatan untuk tidak hanya mencicipi makanan terenak di Timur, tetapi juga untuk menyentuh langsung warisan arsitektur kolonial dan kerajaan yang telah bertahan dari badai sejarah. Kota ini adalah perwujudan sempurna dari semangat maritim Indonesia: tangguh, terbuka, dan kaya akan harta karun budaya yang menunggu untuk ditemukan.