Konsep ‘marjinal’ (marginal) merujuk pada posisi di tepi, di luar batas norma yang dominan, atau berada di pinggiran sistem. Namun, dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik, marjinalitas jauh lebih kompleks daripada sekadar posisi geografis. Ini adalah sebuah kondisi struktural yang mencerminkan ketidaksetaraan dalam akses sumber daya, kekuasaan, dan pengakuan sosial.
Marjinalitas bukan hanya sekadar kekurangan individu, melainkan hasil dari mekanisme sosial, kebijakan, dan sejarah yang secara sistematis menempatkan kelompok tertentu pada posisi yang rentan, membatasi peluang mobilitas sosial mereka, serta mengurangi kapasitas mereka untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan masyarakat.
Secara sosiologis, marjinalitas dipahami sebagai proses pengecualian sosial (social exclusion) yang terjadi ketika individu atau kelompok tidak dapat berpartisipasi secara efektif dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan politik masyarakat tempat mereka tinggal. Proses ini menciptakan siklus kerentanan yang sulit diputus. Hal ini berbeda dengan kemiskinan murni, meskipun keduanya sering beririsan. Seseorang bisa saja tidak miskin secara absolut, namun tetap terpinggirkan karena identitas, orientasi, atau status minoritasnya.
Pemahaman ini menuntut kita untuk melihat di luar statistik ekonomi semata dan menganalisis dinamika kekuasaan. Siapa yang menentukan batas? Siapa yang memiliki kekuatan untuk menempatkan orang di ‘pinggiran’? Jawabannya seringkali terletak pada struktur hegemonik yang mengutamakan kepentingan kelompok dominan, baik berdasarkan kelas, ras, gender, atau agama.
Meskipun kemiskinan adalah manifestasi paling nyata dari marjinalitas ekonomi, keduanya tidak identik. Kemiskinan adalah kurangnya sumber daya material (uang, makanan, tempat tinggal). Marjinalitas adalah kondisi multidimensional yang melibatkan penolakan pengakuan (recognition), penolakan distribusi (redistribution), dan penolakan representasi (representation). Kelompok adat yang terampas tanah ulayatnya oleh proyek pembangunan mungkin secara statistik tidak tercatat sebagai ‘sangat miskin’, tetapi mereka terampas dari landasan eksistensial dan identitas mereka, membuat mereka sepenuhnya marjinal terhadap sistem ekonomi dan hukum negara.
Gambar 1: Representasi Visual Kesenjangan dan Pengecualian Struktural
Analisis marjinalitas harus dilakukan secara multidimensional, mengakui bahwa seseorang atau kelompok dapat terpinggirkan dalam satu atau beberapa aspek kehidupan secara bersamaan. Konsep interseksionalitas (intersectionalitas) mengajarkan bahwa tumpang tindihnya identitas marjinal (misalnya, menjadi perempuan, miskin, dan anggota kelompok etnis minoritas) menghasilkan pengalaman penindasan yang jauh lebih intens dan unik.
Marjinalitas ekonomi terjadi ketika akses individu terhadap pasar kerja formal, kredit, aset produktif, dan layanan keuangan terhambat. Kelompok yang terpinggirkan sering terjebak dalam sektor informal, yang ditandai oleh upah rendah, jaminan sosial yang minim, dan kerentanan hukum.
Di banyak negara berkembang, sektor informal—pedagang kaki lima, pekerja rumah tangga, pemulung—menjadi penyelamat sekaligus jebakan. Meskipun menyediakan penghidupan, sektor ini menempatkan pekerja pada posisi tawar yang lemah, jauh dari perlindungan hukum ketenagakerjaan. Mereka berada di tepi legitimasi ekonomi, sering dianggap ilegal atau pengganggu ketertiban kota, padahal mereka adalah tulang punggung sirkulasi ekonomi kelas bawah.
Kesenjangan ekonomi diperburuk oleh diskriminasi dalam akses modal. Bank dan lembaga keuangan sering enggan memberikan pinjaman kepada kelompok marjinal karena dianggap berisiko tinggi atau tidak memiliki aset yang cukup sebagai jaminan. Ini menciptakan lingkaran setan di mana kelompok marjinal tidak bisa berinvestasi untuk keluar dari kemiskinan karena mereka miskin.
Ini berkaitan dengan penolakan atau diskriminasi berdasarkan identitas sosial. Kelompok yang tidak sesuai dengan norma mayoritas—baik karena orientasi seksual, kepercayaan, status disabilitas, atau latar belakang etnis—sering menghadapi stigma yang menghalangi mereka dari interaksi sosial normal dan partisipasi publik.
Stigma yang dilekatkan masyarakat dapat menginternalisasi rasa malu dan rendah diri pada individu marjinal, sebuah konsep yang dikenal sebagai "internalisasi penindasan". Hal ini memengaruhi kesehatan mental dan membatasi kemampuan mereka untuk menuntut hak-hak mereka.
Marjinalitas ini terkait dengan lokasi fisik. Penduduk yang tinggal di wilayah pedalaman, daerah perbatasan (periferi), atau kawasan kumuh perkotaan yang tidak resmi, sering kekurangan infrastruktur dasar (air bersih, listrik, jalan) dan jauh dari pusat layanan (sekolah, rumah sakit, kantor pemerintahan). Dalam konteks perkotaan, penggusuran paksa adalah bentuk ekstrim dari marjinalitas spasial, yang secara harfiah mendorong kelompok miskin ke tepi kota, jauh dari pekerjaan dan peluang.
Ini adalah kondisi tidak adanya representasi politik yang efektif dan ketidakmampuan untuk memengaruhi pembuatan keputusan. Kelompok marjinal sering diabaikan dalam kebijakan publik atau, lebih buruk lagi, menjadi korban kebijakan yang dirancang untuk keuntungan kelompok dominan. Ketidakmampuan untuk mengakses keadilan hukum atau perlindungan hak asasi juga merupakan inti dari marjinalitas politik. Hukum seringkali berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan status quo yang menguntungkan pusat, bukan sebagai pelindung bagi yang berada di pinggiran.
Dalam era modern, akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi sumber daya penting. Marjinalitas digital (digital divide) merujuk pada kesenjangan antara mereka yang memiliki akses dan kemampuan menggunakan TIK, dan mereka yang tidak. Kesenjangan ini memperburuk marjinalitas ekonomi dan pendidikan, karena banyak layanan publik dan peluang kerja kini hanya tersedia secara daring.
Akses yang buruk terhadap pendidikan berkualitas menjadi salah satu mesin utama yang mereproduksi marjinalitas lintas generasi. Sekolah yang kekurangan sumber daya di daerah marjinal cenderung menghasilkan lulusan dengan keterampilan yang kurang kompetitif, menutup pintu mereka terhadap pekerjaan formal berpenghasilan tinggi. Selain itu, kurikulum seringkali bias, tidak mengakui pengetahuan lokal atau sejarah kelompok minoritas, yang pada gilirannya menafikan identitas mereka.
Kelompok marjinal sering menjadi yang paling rentan terhadap bencana lingkungan dan perubahan iklim. Mereka sering dipaksa untuk tinggal di lokasi yang berbahaya (misalnya, bantaran sungai yang rawan banjir atau area dekat pabrik yang berpolusi) karena keterbatasan pilihan perumahan. Ketika terjadi krisis iklim, mereka memiliki sumber daya paling sedikit untuk beradaptasi atau pulih, memperkuat siklus marjinalitas.
Marjinalitas bukanlah kecelakaan; ia adalah hasil dari proses historis, ekonomi, dan politik yang disengaja atau tidak disengaja. Untuk membongkar marjinalitas, kita harus memahami mekanisme yang terus-menerus mereproduksinya.
Sistem ekonomi global cenderung mengonsentrasikan kekayaan dan kekuasaan di pusat-pusat metropolitan, meninggalkan daerah periferi sebagai sumber bahan baku dan pasar tenaga kerja murah. Neoliberalisme, dengan penekanan pada deregulasi, privatisasi, dan pengurangan pengeluaran sosial, sering memperburuk situasi. Ketika jaring pengaman sosial ditiadakan atau dilemahkan, kelompok yang sudah rentan akan jatuh ke jurang marjinalitas yang lebih dalam. Privatisasi layanan publik (kesehatan, pendidikan) membuat akses menjadi mahal, secara otomatis mengecualikan mereka yang berpenghasilan rendah.
Mengutip teori David Harvey, marjinalitas sering diciptakan melalui proses "akumulasi melalui disposisi," di mana kekayaan diciptakan dengan merampas aset (tanah, sumber daya alam, hak kolektif) dari kelompok yang lemah. Contoh klasiknya adalah perampasan tanah adat untuk perkebunan besar atau proyek infrastruktur, yang secara langsung mengubah status komunitas pemilik tanah menjadi buruh tani yang terpinggirkan.
Diskriminasi tidak selalu dilakukan oleh individu; seringkali ia tertanam dalam struktur institusi. Diskriminasi institusional terjadi ketika aturan, prosedur, atau praktik organisasi secara tidak adil memberikan keuntungan kepada kelompok tertentu dan merugikan yang lain, meskipun tanpa niat jahat eksplisit. Misalnya, persyaratan administrasi yang kompleks untuk mendapatkan bantuan sosial dapat secara efektif mengecualikan mereka yang buta huruf atau tidak memiliki akses ke internet dan fotokopi.
Kebijakan publik seringkali dirancang dengan asumsi "warga negara ideal" yang memiliki pekerjaan formal, tempat tinggal tetap, dan akses penuh ke dokumen sipil. Kelompok marjinal, seperti migran tidak berdokumen, tunawisma, atau pekerja informal yang sangat mobil, seringkali tidak sesuai dengan cetak biru ini. Akibatnya, mereka menjadi "tidak terlihat" oleh birokrasi, dan kebutuhan spesifik mereka tidak pernah terlayani.
Salah satu aspek paling tragis dari marjinalitas adalah sifatnya yang diwariskan. Anak-anak dari kelompok marjinal cenderung memulai hidup dengan modal sosial, kesehatan, dan pendidikan yang jauh lebih rendah. Kurangnya gizi kronis, lingkungan perumahan yang tidak sehat, dan kurangnya stimulasi pendidikan di masa kanak-kanak menciptakan hambatan permanen terhadap mobilitas di masa dewasa, memastikan bahwa siklus marjinalitas berlanjut ke generasi berikutnya.
Marjinalitas mengambil bentuk yang berbeda tergantung konteks sosio-historis. Berikut adalah eksplorasi mendalam terhadap beberapa kelompok yang secara rutin menghadapi proses peminggiran.
Di banyak negara, komunitas adat adalah representasi paling jelas dari marjinalitas yang berakar pada kolonialisme dan pembangunan. Mereka terpinggirkan secara ganda: secara ekonomi melalui perampasan tanah dan sumber daya, dan secara budaya melalui penolakan terhadap sistem pengetahuan, bahasa, dan hukum adat mereka. Ketika negara memaksakan model pembangunan berbasis eksploitasi, komunitas ini sering kehilangan otonomi mereka, dipaksa bertransformasi dari subsisten yang mandiri menjadi tenaga kerja upahan yang rentan di lahan mereka sendiri.
Perjuangan hak ulayat (hak atas tanah komunal) adalah perjuangan inti mereka. Di mata hukum modern, tanah adat sering dianggap 'tanah negara' yang kosong, yang memungkinkan pemerintah memberikannya kepada perusahaan swasta (pertambangan, kayu, kelapa sawit). Proses ini tidak hanya merampas sumber daya ekonomi mereka tetapi juga menghancurkan identitas spiritual dan sosial mereka yang terikat erat dengan alam dan leluhur.
Pekerja migran, baik internal maupun internasional, berada dalam posisi marjinal yang akut. Mereka seringkali tidak memiliki hak kewarganegaraan penuh di tempat mereka bekerja, membuat mereka sangat rentan terhadap eksploitasi, upah di bawah standar, dan kondisi kerja yang tidak manusiawi. Ketakutan akan deportasi atau kehilangan izin kerja menghalangi mereka melaporkan pelanggaran, menempatkan mereka di luar perlindungan hukum yang wajar.
Pengungsi adalah kelompok yang paling terpinggirkan secara politik, karena mereka berada di luar perlindungan negara asal dan seringkali tidak diintegrasikan secara penuh oleh negara penerima. Mereka hidup dalam ketidakpastian hukum yang kronis, membatasi akses mereka ke pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan formal.
Kelompok penyandang disabilitas (persons with disabilities) mengalami marjinalitas tidak hanya karena hambatan fisik (kurangnya aksesibilitas infrastruktur) tetapi juga karena hambatan sikap (stigma dan asumsi tentang ketidakmampuan). Meskipun konvensi internasional menuntut inklusi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sistem pendidikan, pasar kerja, dan transportasi publik sering gagal mengakomodasi kebutuhan mereka, membuat mereka terisolasi secara sosial dan bergantung secara ekonomi. Marjinalitas mereka adalah cerminan kegagalan masyarakat untuk beradaptasi, bukan kegagalan individu.
Perempuan, khususnya dari kelas sosial ekonomi rendah, menghadapi lapisan marjinalitas berlapis. Mereka mungkin secara ekonomi terpinggirkan (upah lebih rendah, jam kerja ganda), dan secara sosial terpinggirkan (dibatasi oleh norma patriarkal dalam berpartisipasi publik). Bagi kelompok LGBTQIA+, marjinalitas muncul dari penolakan dan kriminalisasi identitas mereka, yang mengarah pada pengucilan dari keluarga, kesulitan mencari pekerjaan, dan target kekerasan serta diskriminasi hukum.
Dampak marjinalitas meluas jauh melampaui statistik kemiskinan; ia merusak jiwa individu dan merugikan pembangunan nasional secara keseluruhan. Kondisi ini menciptakan masyarakat yang tidak stabil, tidak setara, dan tidak efisien.
Hidup di pinggiran secara kronis—menghadapi ketidakpastian ekonomi, stigma, dan diskriminasi—menghasilkan tingkat stres dan trauma yang tinggi. Kelompok marjinal memiliki risiko yang jauh lebih tinggi mengalami depresi, kecemasan, dan gangguan kesehatan mental lainnya. Selain itu, akses mereka terhadap layanan kesehatan mental seringkali terbatas atau tidak ada, menciptakan jurang pengobatan yang dalam.
Konsep 'stressor minoritas' menjelaskan bahwa beban menghadapi prasangka sehari-hari, ancaman kekerasan, dan kebutuhan untuk menyembunyikan identitas diri memberikan kontribusi signifikan terhadap masalah kesehatan jiwa kronis pada kelompok-kelompok marjinal.
Ketika sebagian besar populasi terpinggirkan dari pendidikan berkualitas, pelatihan, dan pasar kerja formal, negara kehilangan potensi inovasi dan produktivitas yang masif. Anak-anak yang putus sekolah dini, atau lulusan yang keterampilannya tidak diakui, adalah investasi yang hilang. Marjinalitas secara efektif menahan pembangunan ekonomi dan sosial, karena hanya sebagian kecil populasi yang diizinkan untuk mencapai potensi penuhnya.
Ketidaksetaraan yang diakibatkan oleh marjinalitas struktural adalah pemicu utama keretakan sosial dan konflik. Ketika kelompok tertentu merasa secara sistematis dikecualikan dari kekayaan dan kekuasaan, rasa ketidakadilan dapat memicu protes, radikalisasi, atau konflik terbuka. Masyarakat yang terfragmentasi oleh jurang marjinalitas akan kesulitan untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan nasional bersama, menghambat demokrasi dan stabilitas.
Meskipun penting untuk tidak menstigma, kondisi marjinalitas sering memaksa individu untuk terlibat dalam aktivitas yang berada di luar batas hukum formal (misalnya, ekonomi gelap, prostitusi, atau kejahatan kecil) sebagai strategi bertahan hidup. Ini bukan pilihan moral, tetapi respons terhadap ketiadaan peluang legal yang layak. Sistem peradilan pidana seringkali justru menargetkan individu marjinal ini, memperkuat stigma dan menghukum kemiskinan, bukannya mengatasi akar struktural marjinalitas.
Marjinalitas tidak berarti kepasifan. Kelompok marjinal sering menunjukkan tingkat agensi (agency) dan daya tahan yang luar biasa. Mereka adalah aktor utama dalam menantang status quo, menuntut pengakuan, dan menciptakan ruang-ruang alternatif di mana mereka dapat berdaya.
Teori Subaltern Studies menyoroti bagaimana kelompok marjinal menciptakan narasi, budaya, dan praktik mereka sendiri yang menentang narasi dominan. Ini bisa berupa seni, musik, atau organisasi komunitas. Di kawasan kumuh, solidaritas sosial dan sistem pertukaran informal (gotong royong) seringkali jauh lebih kuat dan efektif daripada sistem formal negara, menunjukkan bahwa mereka mampu membangun struktur pendukung mereka sendiri.
Gerakan sosial yang dipimpin oleh kelompok marjinal (misalnya, gerakan hak sipil, gerakan hak adat, gerakan LGBTQIA+) adalah mesin utama perubahan. Mereka menuntut bukan sekadar redistribusi ekonomi, tetapi yang lebih fundamental, pengakuan martabat dan identitas mereka. Perlawanan ini sering berfokus pada dekonstruksi bahasa dan kategori yang digunakan oleh kelompok dominan untuk merendahkan atau mengobjektivasi mereka.
Upaya untuk membalik stigma ("reclaiming the narrative") adalah bentuk perlawanan yang kuat. Misalnya, mengubah konotasi negatif dari istilah-istilah yang merendahkan menjadi sumber kebanggaan dan solidaritas. Dengan menceritakan kisah mereka sendiri—bukan kisah yang ditulis oleh pusat—kelompok marjinal menantang monopoli kebenaran dan legitimasi oleh kelompok dominan.
Di banyak daerah marjinal, meskipun akses ke modal formal terputus, kreativitas ekonomi lokal berkembang pesat. Ini termasuk koperasi mikro, perdagangan adil yang dikelola komunitas, atau inovasi teknologi DIY (do-it-yourself) untuk mengatasi kekurangan infrastruktur. Solidaritas ekonomi ini berfungsi sebagai jaring pengaman sosial yang tidak disediakan oleh negara.
Gambar 2: Solidaritas Sebagai Bentuk Perlawanan terhadap Marjinalitas
Mengatasi marjinalitas memerlukan lebih dari sekadar program amal; ini memerlukan perubahan struktural yang mendalam, dimulai dari pengakuan kesalahan sejarah hingga reformasi kebijakan radikal.
Redistribusi sumber daya adalah langkah fundamental. Ini melibatkan reformasi perpajakan yang progresif, investasi besar dalam layanan publik universal (kesehatan, pendidikan, perumahan sosial), dan kebijakan pengamanan sosial yang kuat. Tujuan redistribusi bukan hanya memberi makan yang miskin, tetapi memberikan modal yang memadai agar mereka dapat berpartisipasi secara setara dalam pasar dan politik.
Kebijakan agraria yang adil dan pengakuan hak ulayat bagi komunitas adat sangat penting. Memberikan kepastian hukum atas tanah dan sumber daya alam kepada kelompok marjinal mengubah mereka dari penerima bantuan menjadi agen ekonomi yang memiliki aset produktif.
Pengakuan melibatkan dekonstruksi norma-norma budaya yang menstigma dan mendiskriminasi. Ini menuntut inklusi suara, bahasa, dan perspektif kelompok marjinal dalam wacana publik, media, dan sistem pendidikan. Misalnya, kurikulum sekolah harus mencerminkan sejarah dan kontribusi semua kelompok etnis dan minoritas.
Hal ini juga mencakup legalisasi dan perlindungan penuh hak-hak minoritas, seperti hak LGBTQIA+ untuk hidup tanpa diskriminasi dan hak penyandang disabilitas untuk aksesibilitas penuh (universal design).
Kelompok marjinal harus memiliki suara yang setara dalam proses politik. Ini dapat dicapai melalui kuota representasi (affirmative action) di lembaga legislatif dan eksekutif, serta mekanisme partisipasi publik yang dirancang untuk kelompok yang sulit dijangkau (misalnya, konsultasi yang diadakan di komunitas terpencil, bukan hanya di ibukota).
Untuk memastikan partisipasi politik yang efektif, informasi harus dapat diakses. Ini berarti investasi dalam literasi digital, penyediaan internet yang terjangkau, dan memastikan bahwa dokumen pemerintahan tersedia dalam format yang sederhana dan multibahasa.
Pendekatan berbasis hak (Rights-Based Approach) melihat kelompok marjinal bukan sebagai objek amal, tetapi sebagai subjek hak yang memiliki klaim sah atas negara. Pembangunan harus fokus pada penghapusan hambatan diskriminatif dan penguatan kapasitas individu untuk menuntut hak-hak mereka, alih-alih sekadar memberikan pelayanan minimal.
Pembangunan infrastruktur harus direncanakan dengan lensa marjinalitas. Contohnya, memastikan bahwa jalan, transportasi umum, dan fasilitas publik dibangun di lokasi yang mudah diakses oleh penduduk kumuh atau daerah terpencil, dan bahwa desainnya mengakomodasi penyandang disabilitas.
Organisasi masyarakat sipil yang bekerja di garis depan memiliki peran krusial dalam menantang kebijakan, menyediakan layanan yang tidak disediakan negara, dan memberdayakan komunitas marjinal untuk advokasi diri. Yang terpenting, masyarakat luas harus mengadopsi etika kritis, secara konstan mempertanyakan privilese mereka sendiri dan mekanisme yang menghasilkan ketidaksetaraan. Mengakhiri marjinalitas dimulai dengan pengakuan bahwa masalah ini adalah masalah struktural kita semua, bukan hanya masalah mereka yang terpinggirkan.
Marjinalitas adalah cerminan paling jujur dari kesehatan sosial dan moral suatu peradaban. Keberadaan kelompok marjinal yang terstruktur dan kronis menunjukkan kegagalan sistem untuk mewujudkan janji inklusi, kesetaraan, dan keadilan bagi semua warganya. Ini menantang narasi kemajuan linier yang sering diyakini masyarakat modern.
Analisis komprehensif ini telah menunjukkan bahwa menjadi ‘marjinal’ adalah kondisi multidimensi yang dihasilkan oleh tumpang tindihnya ketidaksetaraan ekonomi, sosial, spasial, dan politik. Dari perampasan tanah adat hingga penolakan terhadap identitas minoritas, mekanisme peminggiran beroperasi secara sengaja dan tidak sengaja dalam setiap lapisan masyarakat.
Kesejahteraan masyarakat tidak dapat diukur dari kemakmuran pusatnya, tetapi dari kondisi di tepiannya. Setiap langkah menuju keadilan—baik itu melalui kebijakan redistribusi yang berani, reformasi institusional yang menghilangkan diskriminasi, atau melalui pengakuan tulus atas martabat setiap individu—adalah langkah untuk meruntuhkan batas-batas yang memisahkan manusia. Tugas menyingkirkan marjinalitas adalah tugas kolektif yang membutuhkan revisi mendasar atas struktur kekuasaan dan cara kita mendefinisikan siapa yang termasuk dan siapa yang terpisah dalam kehidupan bersama kita.
Mengatasi marjinalitas berarti berkomitmen pada visi masyarakat di mana tidak ada seorang pun yang didorong ke pinggiran, dan di mana setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan berkontribusi secara penuh, lepas dari asal-usul atau identitas mereka. Proses ini adalah perjalanan menuju masyarakat yang lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan.
***
Ke depan, marjinalitas akan diperburuk oleh dua tantangan global utama: perubahan iklim dan otomatisasi teknologi. Perubahan iklim akan menciptakan ‘pengungsi iklim’ yang terpinggirkan secara geografis dan hukum. Sementara itu, otomatisasi dapat menghilangkan pekerjaan sektor padat karya, memperburuk marjinalitas ekonomi bagi pekerja yang tidak memiliki akses ke pendidikan dan pelatihan ulang, menciptakan gelombang baru ‘kelas marjinal’ yang tidak memiliki tempat di ekonomi digital.
Oleh karena itu, upaya inklusi harus antisipatif. Ini harus mencakup jaminan pendapatan dasar universal atau jaring pengaman sosial yang mampu menahan guncangan eksternal, dan pendidikan yang berfokus pada adaptasi dan keterampilan masa depan. Hanya dengan menanamkan etos inklusi ke dalam setiap kebijakan dan setiap institusi, kita dapat memastikan bahwa kemajuan peradaban tidak meninggalkan semakin banyak orang di pinggiran yang gelap.