Ilustrasi arsitektur Masjid Jami tradisional Nusantara, ditandai dengan atap tumpang tiga yang melambangkan dimensi keimanan.
Istilah Masjid Jami, atau yang sering diterjemahkan sebagai Masjid Agung atau Masjid Raya, memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar tempat ibadah biasa. Secara etimologi, kata ‘Jami’ (جامع) berasal dari akar kata *jama'a* (جمع) yang berarti mengumpulkan. Oleh karena itu, Masjid Jami adalah masjid tempat berkumpulnya umat Islam dalam jumlah besar untuk melaksanakan ibadah komunal yang wajib, yaitu Shalat Jumat.
Dalam konteks sejarah Islam awal, peran Masjid Jami melampaui batas ritual. Masjid Jami berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pengadilan, pendidikan, dan bahkan militer. Ketika Nabi Muhammad SAW mendirikan Masjid Nabawi di Madinah, beliau tidak hanya membangun tempat sujud, tetapi juga mendirikan sebuah model institusi peradaban yang menjadi cetak biru bagi semua Masjid Jami yang dibangun setelahnya. Model ini menekankan integrasi antara dimensi spiritual (ibadah) dan dimensi sosial-politik (muamalah).
Kebutuhan akan adanya Masjid Jami didasarkan pada kewajiban Shalat Jumat. Menurut mayoritas ulama Syafi’i dan Hambali, Shalat Jumat memiliki beberapa syarat sah, salah satunya adalah harus dilaksanakan dalam sebuah lokasi yang ditetapkan, yang secara tradisional diidentifikasi sebagai Masjid Jami. Syarat ini seringkali menimbulkan diskusi panjang mengenai konsep ta’addud al-jumu’at (multiple jumu’ah) di satu kota.
Secara fiqh, Shalat Jumat harus dilakukan:
Sejak abad pertengahan hingga era kesultanan di Nusantara, Masjid Jami adalah simpul utama kekuasaan spiritual dan temporal. Struktur fisiknya seringkali berdekatan dengan istana atau keraton, mencerminkan persatuan antara *Ulama* (pemimpin agama) dan *Umaro* (pemimpin negara). Peran administrasinya meliputi:
Arsitektur Masjid Jami telah mengalami evolusi signifikan seiring penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia. Meskipun selalu mempertahankan elemen inti (mihrab, mimbar, dan kiblat), bentuk dan materialnya beradaptasi dengan iklim, ketersediaan bahan, dan tradisi artistik lokal. Secara umum, terdapat tiga tipologi arsitektur Masjid Jami utama di dunia Islam sebelum masuknya model ini ke Nusantara.
Model ini mendominasi wilayah Hijaz, Mesir, dan Afrika Utara. Ciri khas utamanya adalah desain *hypostyle* atau berkolom banyak. Ruang shalat adalah aula besar dengan deretan kolom yang tak terhitung jumlahnya (seringkali diambil dari reruntuhan bangunan Romawi atau Bizantium), menciptakan kedalaman visual dan dukungan struktural yang luas. Contoh ikonik termasuk Masjid Agung Kairouan di Tunisia dan Masjid Ibnu Tulun di Kairo.
Elemen kunci model hypostyle:
Di bawah pengaruh Dinasti Seljuk dan kemudian Timurid, muncul model arsitektur yang sangat berbeda, ditandai dengan penggunaan *iwan* (gerbang melengkung besar) dan kubah yang sangat tinggi. Masjid Jami model ini sering memiliki empat iwan yang mengarah ke halaman tengah, dengan iwan terbesar dan termegah berada di sisi kiblat. Arsitektur Persia dikenal karena penggunaan ornamen geometris yang rumit, ubin berwarna biru kobalt, dan kaligrafi monumental.
Kekaisaran Ottoman (Turki) mengembangkan model Masjid Jami yang didominasi oleh satu kubah sentral besar, dikelilingi oleh setengah kubah (semi-domes) dan menara-menara ramping (pensil minarets). Model ini, yang sangat dipengaruhi oleh Hagia Sophia di Istanbul, menekankan ruang interior yang terang, lapang, dan terfokus secara vertikal, menciptakan perasaan kesatuan dan kebesaran Ilahi. Arsitek Sinan adalah tokoh utama di balik pengembangan gaya ini, yang bertujuan menciptakan ruang yang dapat menampung jumlah jamaah maksimal tanpa kolom penghalang, sebuah revolusi dalam desain Masjid Jami.
Ketika Islam tiba di kepulauan Nusantara, para penyebar agama (Wali Songo dan penerusnya) dihadapkan pada tantangan untuk membangun institusi keagamaan yang sesuai dengan ajaran Islam namun tetap dapat diterima secara kultural oleh masyarakat yang sebelumnya dipengaruhi kuat oleh tradisi Hindu-Buddha. Hasilnya adalah munculnya tipologi Masjid Jami yang unik, yang sama sekali berbeda dari model hypostyle Arab, iwan Persia, atau kubah sentral Ottoman.
Ciri paling ikonik dari Masjid Jami kuno di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan adalah penggunaan atap tumpang atau bersusun, yang menyerupai bentuk Meru (gunung suci) dalam kosmologi Hindu-Buddha. Atap ini tidak menggunakan kubah. Biasanya, atap tumpang terdiri dari tiga hingga lima tingkatan, yang masing-masing memiliki makna simbolis yang mendalam:
Jantung struktural Masjid Jami di Jawa adalah *saka guru* (tiang utama). Ini adalah empat tiang kayu monumental yang terletak di tengah ruang utama (ruang *sakral*), menopang seluruh beban atap tumpang yang berat. Dalam banyak kasus, seperti Masjid Agung Demak, *saka guru* ini dibuat dari tumpukan serpihan kayu (disebut *tatal*) yang diikat kuat, melambangkan gotong royong dan kesatuan komunitas dalam membangun rumah ibadah.
Penekanan pada empat tiang utama ini memiliki resonansi filosofis: tiang-tiang tersebut bukan hanya penyangga fisik, tetapi juga simbol dari empat arah mata angin atau empat elemen utama kehidupan, yang kemudian diislamisasikan menjadi simbol empat sahabat utama Nabi atau empat pilar keimanan.
Masjid Jami Nusantara sering dilengkapi dengan serambi (teras terbuka) di sekeliling ruang utama. Serambi berfungsi sebagai area transisi antara dunia luar yang profan dan ruang shalat yang suci. Serambi juga merupakan ruang multifungsi tempat pelajaran agama diberikan, musyawarah diadakan, dan kadang-kadang, tempat menginap bagi musafir. Pagar keliling masjid (pagar *keputren* atau *pekarangan*) juga sering dihiasi dengan ukiran yang memadukan motif pra-Islam (flora dan fauna yang distilasi) dengan kaligrafi Islam.
Untuk memahami kedalaman arsitektur Jami di Nusantara, perlu dilakukan telaah mendalam terhadap beberapa studi kasus yang menjadi penanda sejarah penyebaran Islam dan pembentukan kesultanan-kesultanan regional.
Masjid Agung Demak, yang didirikan oleh Wali Songo, merupakan prototipe utama dari arsitektur Masjid Jami Jawa tradisional. Masjid ini secara tegas menolak penggunaan kubah dan menara tinggi (minaret terpisah), sebagai penyesuaian terhadap kepercayaan lokal yang menganggap menara tinggi sebagai tempat tinggal roh. Masjid ini menggunakan atap tumpang tiga, yang dipuncaki oleh *mustaka* (mahkota) yang seringkali berbentuk guci atau hiasan lainnya, bukan bulan sabit klasik.
Kisah tentang salah satu *saka guru* yang dibuat oleh Sunan Kalijaga dari tatal (serpihan kayu) bukan hanya legenda, melainkan simbol filosofis penting. Ini menunjukkan bahwa fondasi spiritual komunitas tidak harus sempurna secara material (kayu solid), tetapi dapat dibangun dari materi yang sederhana dan terabaikan, asalkan didasari oleh niat dan usaha kolektif yang kuat. Keberadaan empat *saka guru* yang kokoh ini menandai pusat kosmis dan spiritual kesultanan Demak.
Mihrab di Demak seringkali sederhana, namun dihiasi dengan ukiran kaligrafi yang kaya, terutama surah-surah yang berkaitan dengan pendirian dan keutamaan masjid. Gaya ukiran di Demak menunjukkan perpaduan antara motif Hindu-Jawa (seperti sulur-suluran dan ragam hias fauna yang distilisasi hingga menjadi motif geometris) yang digabungkan dengan aksara Arab, menciptakan gaya seni Islam Nusantara yang khas.
Masjid Jami di Banten Lama menunjukkan akulturasi yang lebih kompleks karena posisinya sebagai pelabuhan perdagangan internasional. Masjid ini unik karena menaranya, yang berbeda dari gaya Jawa. Menara Masjid Banten menyerupai mercusuar atau menara api (lighthouse) yang diyakini dirancang oleh arsitek Tiongkok bernama Cek Ban Cut.
Atap utamanya masih menggunakan model tumpang bersusun, namun adanya menara yang terpisah dan berbentuk silinder tinggi menunjukkan pengaruh yang lebih kosmopolitan. Penggunaan material bata merah yang kokoh juga menunjukkan adaptasi terhadap teknik bangunan yang lebih maju pada masanya. Selain itu, terdapat makam-makam sultan di dalam kompleks masjid, menegaskan statusnya sebagai Masjid Jami Kerajaan (Royal Congregational Mosque).
Di wilayah Melayu, khususnya di Kepulauan Riau, Masjid Jami menunjukkan sintesis yang berbeda. Masjid yang terkenal ini dibangun menggunakan bahan baku unik: kuning telur yang dicampur dengan kapur dan pasir, menciptakan semen yang sangat kuat. Masjid ini memiliki banyak tiang yang terbuat dari bata yang kokoh, menyerupai gaya hypostyle, namun dengan sentuhan arsitektur Melayu yang ditunjukkan melalui ukiran kayu dan cat warna-warni.
Yang menarik, Masjid Sultan Riau memiliki banyak kubah kecil yang terletak di atapnya, yang menunjukkan pengaruh arsitektur Utsmani yang masuk belakangan melalui jalur perdagangan. Namun, kubah-kubah tersebut tidak mendominasi, melainkan berfungsi sebagai hiasan dan ventilasi, mempertahankan karakter Melayu yang lebih terbuka dan adaptif terhadap iklim maritim.
Masjid Jami Tua Palopo, yang merupakan pusat Kesultanan Luwu, memiliki karakter yang sangat kental dengan kekokohan dan kesederhanaan. Arsitekturnya menghindari ornamen yang terlalu rumit, tetapi menekankan pada kekuatan struktur. Atapnya berbentuk tumpang dua, namun dinding dan tiangnya dibuat dari kayu ulin (besi) yang sangat keras dan tahan lama. Keunikan Masjid Palopo terletak pada teknik sambungan kayunya yang tanpa paku, menunjukkan keunggulan teknik pertukangan tradisional Bugis.
Studi kasus dari berbagai wilayah ini menegaskan bahwa istilah Masjid Jami di Nusantara merujuk pada fungsi (tempat Shalat Jumat dan pusat kesultanan) daripada bentuk arsitektural yang tunggal. Setiap Jami adalah perwujudan unik dari dialog antara Islam dan budaya lokal yang kaya.
Peran Masjid Jami sebagai pusat peradaban tidak terbatas pada konstruksi fisik dan ritual ibadah, tetapi merasuk jauh ke dalam pembentukan struktur sosial, pendidikan, dan bahkan sistem ekonomi masyarakat.
Sebelum munculnya institusi pendidikan formal seperti madrasah dan universitas modern, Masjid Jami adalah kampus utama bagi penyebaran ilmu pengetahuan Islam.
Metode pembelajaran utama adalah *halaqah* (lingkaran studi). Ulama atau kiai duduk di tiang masjid (seringkali dekat *saka guru* atau di serambi) dan memberikan pelajaran mengenai fiqh, tafsir, hadis, tasawuf, dan bahasa Arab kepada murid-muridnya. Pentingnya Masjid Jami sebagai pusat hafal Qur'an (tahfiz) juga sangat ditekankan, mengingat ketersediaan ulama besar di pusat kota. Semua pengetahuan yang tersebar dari Masjid Jami inilah yang kemudian melahirkan tradisi pesantren di Nusantara.
Banyak Masjid Jami Kesultanan memiliki perpustakaan khusus yang menyimpan manuskrip-manuskrip penting, baik yang ditulis oleh ulama lokal maupun yang dibawa dari Mekah atau Timur Tengah. Perpustakaan ini tidak hanya berfungsi sebagai gudang ilmu, tetapi juga sebagai bengkel kerja bagi penyalinan dan penerjemahan naskah, memastikan kelestarian tradisi intelektual Islam.
Masjid Jami memainkan peran krusial dalam menstabilkan ekonomi lokal melalui pengelolaan wakaf dan Baitul Mal. Tanah-tanah pertanian, kebun, atau properti yang diwakafkan (diberikan secara abadi untuk kepentingan umat) dikelola oleh badan yang terpusat di masjid. Hasilnya digunakan untuk:
Dalam konteks Nusantara yang sangat multietnis dan multibahasa, Masjid Jami sering menjadi tempat pertemuan lintas budaya. Di banyak pelabuhan besar, seperti Malaka atau Banten, khutbah Jumat sering disampaikan dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pedagang dari berbagai latar belakang, seringkali menggunakan dialek Melayu yang telah menjadi *lingua franca*. Fenomena ini turut memperkuat peran Masjid Jami sebagai katalisator dalam pembentukan bahasa Melayu (dan kemudian Bahasa Indonesia) sebagai bahasa persatuan di wilayah kepulauan.
Untuk memahami sepenuhnya keunikan Masjid Jami, kita harus menelaah secara rinci fungsi dan simbolisme dari komponen-komponen yang terdapat di dalamnya, yang seringkali merupakan hasil adaptasi dan sinkretisme budaya yang halus.
Mihrab adalah ceruk di dinding kiblat yang menunjukkan arah Ka'bah di Mekah. Di Masjid Jami Nusantara, mihrab umumnya sederhana, namun selalu menjadi titik fokus utama yang dihiasi dengan kaligrafi terbaik atau ukiran kayu yang paling halus. Berbeda dengan mihrab di Timur Tengah yang kadang berukuran monumental, mihrab Nusantara cenderung lebih intim dan fokus pada fungsi penanda arah semata.
Mimbar, tempat khatib menyampaikan khutbah, seringkali dibangun sebagai struktur kayu bertingkat yang dihiasi ukiran bermotif flora dan sulur yang padat. Bentuk mimbar ini mengambil inspirasi dari bentuk panggung (mandapa) dalam tradisi pra-Islam, namun dengan penambahan ornamen Islam yang ketat. Mimbar Masjid Jami harus kokoh dan cukup tinggi untuk memastikan suara khatib terdengar oleh seluruh jamaah sebelum penggunaan pengeras suara modern.
Selain *saka guru* yang monumental, seluruh ruang shalat didukung oleh deretan kolom (saka) lainnya yang biasanya terbuat dari kayu jati. Penataan kolom ini menentukan tata ruang interior. Dalam arsitektur Jawa, penempatan kolom seringkali menciptakan ruang-ruang semi-terpisah yang dulu digunakan untuk kegiatan hafal Qur'an atau diskusi fiqh, menunjukkan fleksibilitas ruang Masjid Jami.
Kondisi iklim tropis menuntut bahan yang tahan kelembaban dan serangan rayap. Oleh karena itu, penggunaan kayu jati (teak) berkualitas tinggi bukan hanya pilihan estetika, tetapi juga keharusan struktural yang mahal. Pemilihan material ini mencerminkan tingginya nilai yang diberikan kepada bangunan Masjid Jami sebagai institusi pusat.
Aspek penting yang sering terabaikan adalah tempat wudu. Di Masjid Jami tradisional Nusantara, tempat wudu bukan berupa keran modern, melainkan kolam besar (pawudonan) atau kendi batu berukir (padasan). Desain ini menunjukkan adaptasi terhadap ketersediaan air dan teknik penyimpanan air lokal. Kolam wudu sering terletak di halaman atau serambi, dan arsitekturnya kadang menggabungkan relief atau hiasan yang mengingatkan pada bak mandi candi, menunjukkan integrasi teknik hidrolik lokal ke dalam fungsi keagamaan.
Karena Islam melarang penggambaran makhluk hidup secara realistis, ornamen Masjid Jami sangat mengandalkan pola geometris dan kaligrafi. Pola geometris yang rumit (seperti bintang delapan atau motif anyaman) tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, tetapi juga sebagai meditasi visual tentang ketakterbatasan dan kesempurnaan Allah SWT.
Kaligrafi pada Masjid Jami memiliki fungsi ganda: dekoratif dan didaktik. Ayat-ayat Qur'an yang dipilih (misalnya Surah Al-Ikhlas, Ayat Kursi, atau kalimat syahadat) ditempatkan di tempat-tempat strategis seperti mihrab, mimbar, dan ambang pintu, berfungsi sebagai pengingat konstan akan doktrin dasar Islam bagi setiap jamaah yang memasuki area suci tersebut.
Di era modern, Masjid Jami menghadapi dilema antara mempertahankan warisan arsitektur dan fungsionalitas sejarahnya, dengan tuntutan modernisasi, kapasitas yang lebih besar, dan integrasi teknologi.
Seiring pertumbuhan populasi kota, banyak Masjid Jami bersejarah yang dianggap sudah tidak memadai lagi dalam menampung jamaah Shalat Jumat. Hal ini sering menimbulkan konflik:
Meskipun peran politik Masjid Jami telah berkurang seiring berdirinya negara modern, peran sosialnya justru semakin berkembang. Masjid Jami kontemporer tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai:
Di kota-kota besar saat ini, Masjid Jami modern seringkali mengadopsi kembali kubah dan menara gaya internasional, menjauh dari model atap tumpang tradisional. Hal ini adalah refleksi dari globalisasi dan akses yang lebih mudah terhadap desain arsitektur Timur Tengah atau Turki.
Namun, muncul kesadaran baru di kalangan arsitek Muslim Nusantara untuk memasukkan kembali elemen tradisional, seperti penggunaan kayu lokal, ornamen etnik yang distilisasi, dan desain atap yang mengingatkan pada tumpang, tetapi diinterpretasikan ulang dengan material modern (misalnya, tumpang dari baja dan kaca). Upaya ini bertujuan untuk memastikan bahwa Masjid Jami tetap menjadi ekspresi identitas kultural Islam Nusantara yang khas, meskipun dalam balutan teknologi abad ke-21.
Masjid Jami adalah narasi abadi tentang bagaimana Islam berinteraksi, bernegosiasi, dan akhirnya menyatu dengan budaya lokal di Nusantara. Bangunan-bangunan agung ini bukan hanya warisan fisik yang terbuat dari kayu, bata, atau semen, melainkan catatan sejarah peradaban, pusat spiritualitas, dan fondasi kekuasaan yang membentuk identitas bangsa hingga hari ini. Dari *saka guru* yang kokoh di Jawa, menara mercusuar di Banten, hingga bahan perekat dari kuning telur di Riau, setiap Masjid Jami menceritakan kisah adaptasi, keuletan, dan keagungan iman.
Peran Masjid Jami akan terus berevolusi, menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman modern. Namun, fungsinya yang hakiki sebagai tempat berkumpulnya umat, titik sentral pendidikan, dan penjaga moralitas publik akan selalu menjadikannya institusi yang tak tergantikan dalam peta peradaban Islam di kepulauan terbesar di dunia ini.