Mayur, atau yang dikenal luas sebagai merak, adalah salah satu makhluk hidup paling memukau di planet ini. Nama 'Mayur' sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, mengandung resonansi sejarah dan spiritual yang jauh lebih dalam daripada sekadar penyebutan ilmiah (Pavo cristatus). Burung megah ini bukan hanya keajaiban zoologi dengan bulu ekornya yang spektakuler, tetapi juga merupakan pilar budaya, mitologi, dan seni yang tak tergantikan di seluruh Asia Selatan dan Tenggara. Kehadirannya melintasi batas-batas geografis dan zaman, menjadi simbol universal dari keindahan abadi, royalti, dan siklus kelahiran kembali.
Eksplorasi terhadap Mayur memerlukan pendekatan multidisipliner—mulai dari fisika optik yang menjelaskan kilauan bulunya yang memesona, hingga analisis teks-teks kuno yang menempatkannya sebagai vahana (kendaraan suci) para dewa. Artikel ini akan menyelami setiap aspek keberadaan Mayur, mengungkapkan mengapa ia terus dipuja dan diabadikan dalam berbagai bentuk peradaban manusia selama ribuan tahun.
Keindahan Mayur India (Pavo cristatus) terletak pada dimorfisme seksual yang ekstrem. Jantan, yang disebut merak, memiliki 'kereta' bulu ekor yang luar biasa panjang, sementara betina (merak betina) memiliki bulu yang lebih sederhana dan berwarna cokelat kusam. Namun, keajaiban sesungguhnya terletak pada mekanisme ilmiah yang memungkinkan bulu-bulu tersebut memancarkan spektrum warna yang tidak dapat ditiru oleh pigmen biasa.
Kereta bulu Mayur bukanlah ekor dalam arti biologis sebenarnya. Sebaliknya, itu adalah kumpulan bulu penutup ekor atas (upper tail covert feathers) yang tumbuh memanjang. Bulu-bulu ini dapat mencapai panjang hingga 1,5 meter, terdiri dari sekitar 200 hingga 250 helai. Setiap helai berakhir dengan pola yang dikenal sebagai ocelli, atau 'mata'. Oseli inilah yang menjadi fokus utama dalam ritual kawin.
Struktur bulu ini sangat ringan namun kuat, dirancang untuk diangkat dan digetarkan dengan frekuensi tinggi selama tarian kawin. Bagian yang paling memukau adalah batang bulu yang ramping dan berumbai-rumbai, menopang ribuan mata kecil yang berkedip saat Mayur bergerak, menciptakan ilusi optik pergerakan dan kedalaman. Penelitian menunjukkan bahwa jumlah oseli dan kemampuannya untuk bergetar secara serempak adalah faktor penentu keberhasilan reproduksi, karena betina memilih jantan yang paling ‘berkilau’.
Merak tidak memiliki pigmen biru, hijau, atau ungu yang bertanggung jawab atas warna cerah pada bulunya. Sebaliknya, warna yang kita lihat adalah hasil dari warna struktural, sebuah fenomena fisika. Ini adalah mekanisme yang jauh lebih kompleks daripada pewarnaan berbasis pigmen (seperti melanin atau karotenoid).
Warna struktural dihasilkan oleh mikrostruktur yang terdapat pada barbula (cabang-cabang kecil) pada setiap helai bulu. Barbula-barbula ini tersusun dari lapisan tipis kristal protein yang menyerupai susunan kristal fotonik. Ketika cahaya putih jatuh pada struktur ini, ia dipantulkan kembali (interferensi) pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sudut pandang dan jarak antar lapisan kristal.
Ilustrasi Oseli (Mata) Merak yang menunjukkan lapisan warna struktural yang berbeda. (Alt: Skema detail mata oseli Mayur, dengan lingkaran konsentris biru, hijau, emas, dan ungu gelap di tengah.)
Di wilayah asalnya, Mayur jauh melampaui status sebagai hewan biasa. Ia adalah ikon nasional India dan memiliki posisi yang mendalam dalam berbagai tradisi agama, menjadikannya salah satu simbol fauna yang paling sarat makna di dunia.
Dalam mitologi Hindu, Mayur dikaitkan erat dengan beberapa dewa utama, menandakan peran spiritual yang spesifik:
Mayur adalah Parvani, vahana (kendaraan) dari Dewa Kartikeya, putra Dewa Siwa dan Dewi Parwati, yang dikenal sebagai dewa perang dan kemenangan. Asosiasi ini sangat dominan di India Selatan, di mana Kartikeya dipuja sebagai Murugan. Kisah mengapa merak dipilih sebagai kendaraannya seringkali melibatkan penaklukan iblis Surapadman, yang dikalahkan oleh Kartikeya dan kemudian diubah menjadi ayam jantan dan merak. Merak melambangkan penaklukan ego, nafsu, dan ilusi duniawi. Kekuatan Mayur untuk mengonsumsi racun ular juga melambangkan kemampuan Kartikeya untuk menghadapi kejahatan dan mengatasinya.
Lord Krishna hampir selalu digambarkan mengenakan satu atau beberapa bulu merak (mor-mukut) di mahkotanya. Bulu merak bagi Krishna melambangkan kemurnian, keindahan kosmis, dan siklus kehidupan. Ini juga diinterpretasikan sebagai simbol kerendahan hati, karena Krishna, meskipun merupakan inkarnasi ilahi, memilih simbol alam yang sederhana sebagai hiasannya.
Meskipun angsa adalah vahana utama Dewi Saraswati (dewi pengetahuan, musik, dan seni), merak juga kadang-kadang dikaitkan dengannya. Merak, dengan keindahan dan kebanggaannya, melambangkan seni yang termanifestasi. Namun, ia juga membawa peringatan: keindahan tanpa kebijaksanaan (yang diwakili oleh angsa) dapat menjadi kesombongan. Oleh karena itu, merak mewakili seni yang harus dijinakkan oleh pengetahuan.
Dalam Buddhisme, terutama aliran Mahayana, Mayur memiliki simbolisme yang kuat terkait dengan keterbukaan dan transformasi. Merak diasosiasikan dengan Bodhisattva Amitabha dan juga sering ditemukan di stupa-stupa kuno.
Makna utama merak dalam Buddhisme adalah kemampuannya untuk mengonsumsi tanaman beracun (atau ular berbisa) tanpa meracuni dirinya sendiri, tetapi malah mengubah racun tersebut menjadi keindahan cemerlang (bulunya). Secara spiritual, ini berarti bahwa seorang praktisi dapat mengubah penderitaan, kesulitan, dan 'racun' mental (seperti kemarahan, ketamakan, dan kebodohan) menjadi pencerahan dan kebijaksanaan yang murni. Ini adalah simbol alkimia spiritual yang mendalam.
Dalam Jainisme, Mayur juga merupakan hewan suci, melambangkan perlindungan ilahi. Selain itu, dalam tradisi Timur Tengah dan Persia kuno, Mayur adalah pelayan dewa Melek Taus (Malaikat Merak) dalam Yazidisme, mewakili keilahian tertinggi dan pencipta alam semesta.
Mayur telah menjadi kanvas tempat manusia memproyeksikan aspirasi, ketakutan, dan harapan mereka. Simbolisme utamanya dapat dikelompokkan menjadi beberapa tema dominan yang melintasi benua dan era.
Di dunia Barat, terutama dalam tradisi Kristen awal dan Romawi kuno, Mayur menjadi simbol keabadian dan kebangkitan. Hal ini sebagian besar didasarkan pada keyakinan kuno bahwa daging merak tidak pernah membusuk setelah mati. Meskipun secara ilmiah ini tidak benar, mitos tersebut bertahan, menjadikan merak sebagai lambang Kristus yang bangkit dan jiwa yang tidak pernah mati. Oseli yang menyerupai mata yang tersebar di bulu-bulunya sering diinterpretasikan sebagai "mata semua santo" atau bahkan representasi dari surga yang bertabur bintang.
Karena kemegahan alaminya, Mayur adalah simbol yang sempurna untuk royalti. Di Dinasti Mughal India, 'Takhta Merak' (Peacock Throne) adalah singgasana yang dihiasi berlian dan permata, menggambarkan dua merak yang mengapit pohon permata, menjadi puncak kejayaan kekaisaran Mughal. Penggunaan bulu merak dalam upacara kekaisaran di Tiongkok juga menandakan peringkat dan kehormatan tinggi dalam birokrasi kekaisaran.
Dalam ekologi alam India, Mayur sering terlihat sebelum atau saat musim hujan tiba. Kemampuan merak untuk merasakan perubahan tekanan atmosfer dan suara guntur menjadikannya indikator ramalan cuaca. Karenanya, ia menjadi simbol kesuburan, awan, dan kedatangan hujan yang membawa kehidupan. Teriakan khas Mayur dianggap sebagai panggilan kepada dewa hujan (Indra).
"Mayur adalah perwujudan kontradiksi yang harmonis: ia adalah keindahan yang mengatasi racun, kebanggaan yang harus ditundukkan oleh kebijakan, dan kemewahan yang mengandung janji keabadian. Bulunya adalah perpustakaan biologi dan metafisika."
Kecintaan pada Mayur tidak terbatas pada mitologi; ia merasuk ke dalam tekstil, kerajinan logam, dan desain arsitektur, menciptakan motif yang kaya dan terus berulang dari Spanyol hingga Jepang.
Masa keemasan Mayur sebagai motif artistik terjadi selama periode Mughal dan Rajput di India. Merak digambarkan dalam miniatur secara hiper-realistis, seringkali sebagai pasangan (merak dan betina) di taman surga. Dalam arsitektur Mughal, seperti di Red Fort dan Taj Mahal, motif merak diukir dalam panel pietra dura (teknik tatahan batu mulia) dan jali (ukiran kisi-kisi), melambangkan keindahan yang tak terbatas dan kekuasaan abadi.
Merak adalah motif populer dalam mozaik Romawi dan Bizantium kuno. Ia sering diletakkan di samping air mancur atau di pintu masuk gereja. Di Spanyol Islam (Al-Andalus), Mayur menjadi motif penting dalam arsitektur Istana Alhambra, di mana ia melambangkan surga dan air kehidupan, sejalan dengan citra taman Persia.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Mayur mengalami kebangkitan popularitas di Eropa. Gerakan Art Nouveau dan Art Deco secara intensif menggunakan siluet merak yang mengalir dan warna-warna cerah bulunya (biru-hijau, emas). Seniman seperti Louis Comfort Tiffany dan Aubrey Beardsley sering mengintegrasikan bulu merak yang panjang dan berliku ke dalam desain kaca patri, perhiasan, dan ilustrasi buku. Merak mewakili keindahan organik, sensual, dan eksotis yang menjadi ciri khas Art Nouveau.
Siluet Mayur dengan 'kereta' bulu yang anggun, mewakili keindahan dan kebanggaan.
Meskipun Mayur India (Pavo cristatus) adalah yang paling dikenal, ada dua spesies merak lain yang sama pentingnya dalam genus Pavo dan genus yang terkait, yang semuanya menghadapi tantangan konservasi yang berbeda.
Spesies paling umum dan terlindungi. Berasal dari India dan Sri Lanka. Jantan memiliki bulu leher biru metalik yang cemerlang. Mereka mudah beradaptasi dengan lingkungan manusia dan sering ditemukan di kawasan pedesaan, kuil, dan bahkan di kota-kota.
Merak Hijau, yang berasal dari Asia Tenggara (Mianmar, Thailand, Jawa), adalah spesies yang terancam punah. Berbeda dengan merak India yang memiliki leher biru, merak hijau memiliki leher dan dada berwarna hijau metalik dengan jumbai mahkota yang lebih tegak. Merak hijau jauh lebih pemalu dan menyendiri. Mereka menghadapi ancaman serius dari kehilangan habitat akibat deforestasi dan perburuan liar, karena bulunya memiliki nilai komersial yang tinggi, dan di beberapa wilayah, dagingnya dikonsumsi.
Spesies ini adalah satu-satunya merak yang berasal dari Afrika (hutan hujan Kongo). Ditemukan relatif baru pada tahun 1936. Merak Kongo jauh lebih kecil dan kurang mencolok dibandingkan kerabat Asia-nya. Jantan memiliki bulu biru gelap dan hijau, namun ‘kereta’ bulu ekornya jauh lebih pendek dan tidak memiliki oseli yang dramatis. Status konservasinya diklasifikasikan sebagai Rentan, menghadapi tekanan dari perang sipil, penggundulan hutan, dan penambangan ilegal di habitatnya yang terbatas.
Ritual kawin (lek) Mayur India adalah salah satu tontonan alam terbesar. Prosesnya melibatkan serangkaian langkah yang ketat dan terukur secara biologis:
Peran Mayur meluas jauh ke dalam narasi dan puisi. Ia sering menjadi metafora sentral untuk cinta, kesedihan, dan kerinduan, terutama dalam puisi India Utara.
Dalam tradisi puisi Bhakti (devosional), khususnya yang didedikasikan untuk Krishna, Mayur sering muncul. Tangisan merak (yang khas dan menusuk) sering diinterpretasikan sebagai ekspresi kerinduan atau penderitaan, yang kontras dengan keindahan visualnya. Ini menciptakan dualitas puitis: keindahan luar yang spektakuler menyembunyikan rasa sakit atau kesepian. Pemandangan merak yang menari di bawah langit berawan menjadi simbol kerinduan Krishna akan Radharani, atau kerinduan jiwa akan yang Ilahi.
Para penyair seperti Mirabai sering menggunakan citra merak yang menari saat hujan sebagai penanda musim semi dan romansa. Bulu merak yang menghiasi mahkota Krishna adalah janji keindahan abadi dan kehadiran ilahi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam praktik arsitektur tradisional India (Vastu Shastra) dan sistem Tiongkok (Feng Shui), bulu merak diyakini membawa energi positif. Dalam Vastu, menempatkan bulu merak di rumah dipercaya dapat menangkal energi negatif, melindungi dari ‘mata jahat’ (evil eye), dan menarik keberuntungan finansial. Karena asosiasinya dengan Kartikeya (dewa perang), bulu merak juga digunakan sebagai jimat pelindung.
Di Tiongkok, merak mewakili pangkat dan martabat. Selama Dinasti Ming dan Qing, bulu merak diberikan kepada pejabat tinggi sebagai penghargaan atas jasa mereka. Semakin banyak "mata" pada bulunya, semakin tinggi pangkat si pejabat. Oleh karena itu, Mayur telah lama menjadi simbol aspirasi sosial dan pencapaian politik.
Salah satu mitos tertua dan paling penting tentang Mayur adalah kemampuannya untuk berburu dan membunuh ular, termasuk kobra yang sangat berbisa. Karena Mayur adalah pemakan ular, ia sering disebut sebagai musuh alami racun (vishaharan). Inilah alasan mengapa ia dikaitkan dengan Kartikeya, yang tugasnya adalah menghancurkan kejahatan dan kekuatan destruktif.
Dalam Ayurveda dan pengobatan rakyat tradisional, bulu dan bahkan kaki Mayur pernah digunakan—walaupun ini sekarang dilarang dan tidak etis—untuk mengobati gigitan ular dan masalah mata, berdasarkan asumsi bahwa jika burung itu dapat menetralkan racun di dalam dirinya, ia dapat menetralkannya pada orang lain.
Untuk benar-benar menghargai Mayur, kita harus melihat melampaui mata telanjang dan masuk ke ranah nanoteknologi alami. Keajaiban warna struktural pada bulu Mayur adalah salah satu contoh paling canggih dari nanostruktur biologis.
Setiap helai bulu Mayur terdiri dari banyak tingkatan: bulu (vane), cabang (barb), dan sub-cabang (barbula). Barbula adalah tempat keajaiban terjadi. Di bawah mikroskop elektron, barbula terlihat datar dan memiliki lapisan protein keratin yang sangat teratur. Di dalam lapisan keratin ini, terdapat matriks lubang-lubang mikroskopis yang diisi dengan melanin (pigmen yang memberikan warna gelap pada dasar). Susunan lubang dan lapisan melanin ini bertindak sebagai kristal fotonik.
Lapisan-lapisan ini berjarak seragam—jika jaraknya sekitar 140 nanometer, akan memantulkan cahaya biru. Jika jaraknya sedikit lebih jauh, katakanlah 190 nanometer, ia akan memantulkan cahaya hijau. Perbedaan kecil dalam ukuran, bentuk, dan susunan periodik elemen-elemen ini menghasilkan spektrum warna yang berbeda di seluruh kereta Mayur.
Iridescence (kilauan pelangi) adalah hasil dari anisotropi optik material. Karena warna bergantung pada sudut pandang, saat Mayur bergerak, sudut datang cahaya terhadap barbula berubah, menyebabkan warna ‘berkedip’ atau bergeser. Ini adalah sinyal kualitas yang kuat. Seekor merak betina tidak hanya menilai warna yang indah, tetapi juga seberapa dinamis dan ‘hidup’ warna itu saat jantan menari.
Proses ini sangat berbeda dari warna pigmen yang bersifat isotropik (terlihat sama dari semua sudut). Kilauan Mayur memaksa pengamat untuk berinteraksi secara visual, dan pada jarak yang tepat, ia memberikan kesan tiga dimensi atau bahkan berair pada permukaan bulu yang sebenarnya kering.
Meskipun warnanya struktural, Melanin tetap memainkan peran kunci. Melanin, yang biasanya bertanggung jawab atas warna hitam atau cokelat, di sini berfungsi sebagai dasar yang menyerap panjang gelombang cahaya yang tidak dipantulkan. Dengan menyerap cahaya latar, ia meningkatkan kontras dan saturasi warna struktural yang dipantulkan. Tanpa pigmen melanin di latar belakang, warna struktural akan terlihat pucat atau kabur. Merak albino, misalnya, yang kekurangan melanin, tidak dapat menampilkan warna struktural—mereka hanya berwarna putih kusam, meskipun struktur barbula mereka mungkin masih ada, menunjukkan pentingnya interaksi pigmen/struktur ini.
Di era modern, Mayur terus menjadi fokus, baik sebagai subjek konservasi yang rentan maupun sebagai hewan peliharaan hias. Etika di sekitar burung ini telah berubah secara signifikan.
Seperti disebutkan, Merak Hijau berada di ambang kepunahan liar di banyak wilayah. Populasi mereka telah berkurang drastis karena fragmentasi hutan dan konflik manusia-satwa liar. Upaya konservasi melibatkan program penangkaran terencana dan perlindungan habitat kritis. Penekanan diletakkan pada pendidikan masyarakat lokal tentang nilai ekologis Mayur, bukan hanya nilai hiasnya.
Salah satu kendala unik dalam konservasi Merak Hijau adalah hibridisasi dengan Merak India. Di wilayah di mana kedua spesies diperkenalkan (seringkali untuk tujuan peternakan hias), hibrida yang dihasilkan dapat mengancam integritas genetik spesies Merak Hijau yang sudah terancam.
Bulu Mayur India adalah salah satu sumber daya alam yang paling dicari untuk kerajinan dan dekorasi. Penting untuk dicatat bahwa di India, bulu merak dikumpulkan secara etis karena proses moulting (pergantian bulu) tahunan.
Merak jantan secara alami menjatuhkan seluruh kereta bulunya setelah musim kawin berakhir (sekitar bulan Januari hingga Mei). Bulu-bulu ini kemudian dikumpulkan dari lantai hutan. Karena bulu-bulu ini diperoleh secara alami tanpa melukai burung, perdagangan bulu merak India dianggap legal dan etis dalam banyak konteks, kecuali jika berasal dari spesies yang dilindungi seperti Merak Hijau.
Mayur telah dibiakkan menjadi berbagai mutasi warna di penangkaran, melampaui warna 'India Biru' alami. Mutasi genetik yang paling terkenal meliputi:
Pemeliharaan jenis-jenis mutasi ini memastikan bahwa Mayur tetap menjadi bagian penting dari zoologi dan peternakan hias global, meskipun peran budayanya tidak pernah bisa sepenuhnya digantikan oleh varian buatan manusia.
Mayur, sebagai sebuah subjek studi, memberikan lebih dari sekadar data ilmiah atau narasi mitologis. Ia menawarkan sebuah pelajaran filosofis yang mendalam tentang sifat dualitas kehidupan, yang tercermin dalam setiap helai bulunya dan setiap teriakan panggilannya yang bergema di hutan.
Filosofi utama Mayur adalah perwujudan dualitas: keindahan yang ekstrem dan kerentanan yang ekstrem. Kereta bulu yang mewah itu adalah senjata utama jantan dalam kompetisi, tetapi pada saat yang sama, itu adalah beban yang memperlambat penerbangan dan membuatnya rentan terhadap predator. Bulu-bulu itu harus dipertaruhkan setiap musim kawin, hanya untuk dijatuhkan dalam proses yang melambangkan kerendahan hati dan pelepasan. Siklus ini mengajarkan bahwa kemewahan fisik dan kebanggaan (ego) adalah sementara dan harus dilepaskan untuk siklus hidup yang baru. Dalam konteks spiritual, Mayur mengingatkan kita bahwa pembebasan sering kali datang setelah kita melepaskan hal-hal yang paling kita banggakan.
Di banyak budaya, Mayur dikaitkan dengan siklus waktu dan astrologi. Oseli, yang menyerupai mata yang tak terhitung jumlahnya, sering dibandingkan dengan langit malam atau roda waktu yang berputar. Mereka melambangkan pengamatan kosmis, atau kemampuan untuk melihat masa lalu, masa kini, dan masa depan secara simultan. Sebagai simbol keabadian yang terkait dengan pergantian musim, Mayur mewakili kesadaran bahwa hidup adalah serangkaian kelahiran kembali, di mana setiap kemewahan dan setiap kehilangan adalah bagian integral dari evolusi.
Meskipun dikenal karena tarian dan suaranya yang keras, peran Mayur di alam juga sering melibatkan keheningan. Mayur jantan menghabiskan sebagian besar waktunya dalam pengumpulan dan pemeliharaan diri yang tenang. Tarian yang spektakuler itu hanyalah puncak dari kerja keras biologis selama berbulan-bulan. Hal ini menunjukkan bahwa manifestasi kemewahan dan keindahan sejati membutuhkan fondasi disiplin, kesabaran, dan pemeliharaan yang konsisten—baik dalam biologi maupun dalam kehidupan spiritual.
Dari hutan lebat India hingga mozaik kekaisaran Bizantium, dan dari halaman-halaman kitab suci kuno hingga algoritma nanostruktur modern, Mayur mempertahankan statusnya sebagai fenomena yang tidak pernah berhenti menginspirasi. Ia adalah bukti bahwa keindahan dapat melampaui fungsi murni, menyatu dengan makna spiritual yang mendalam.
Setiap 'mata' pada bulu Mayur adalah jendela kecil ke dalam sejarah alam dan budaya manusia, sebuah pengingat abadi bahwa alam semesta ini dibangun atas dasar kemewahan optik yang halus dan filosofi yang kompleks. Mayur bukan hanya burung—ia adalah sebuah narasi hidup, sebuah simbol yang terus menari di persimpangan sains, seni, dan spiritualitas, memancarkan kecemerlangan yang abadi dan tak tertandingi.
Penghargaan terhadap Mayur adalah penghargaan terhadap perpaduan sempurna antara struktur biologis yang jenius dan makna yang diilhami oleh manusia, memastikan bahwa si Raja Burung ini akan terus memimpin parade keindahan di dunia kita untuk generasi yang akan datang.
***
Perbedaan antara genus Pavo (Merak Asia) dan Afropavo (Merak Kongo) memberikan wawasan evolusioner yang krusial. Merak Asia menunjukkan evolusi dimorfisme seksual yang ekstrem, didorong oleh seleksi betina (female choice), yang menghasilkan ‘kereta’ yang mewah. Sebaliknya, Merak Kongo, yang hidup di lingkungan hutan yang lebih gelap dan tertutup, memiliki dimorfisme yang jauh lebih rendah. Jantannya menunjukkan lebih banyak warna pada leher dan kepala, sementara bulu ekornya tidak memiliki ornamen panjang. Hal ini menggarisbawahi bagaimana tekanan lingkungan (terutama visibilitas di habitat) memengaruhi sejauh mana kemewahan sinyal visual berevolusi. Di hutan gelap Kongo, sinyal yang terlalu mencolok mungkin kontra-produktif karena menarik predator, sehingga evolusi mendorong sinyal yang lebih sederhana.
Penelitian modern telah menunjukkan bahwa Mayur tidak hanya menggunakan visual; komunikasi non-vokal juga vital. Ketika merak jantan menggoyangkan keretanya, ia menghasilkan suara frekuensi rendah (infrasonik) yang di bawah ambang pendengaran manusia. Suara ini dapat menembus vegetasi lebat dan melakukan perjalanan jarak jauh, memungkinkan merak betina untuk mendeteksi kinerja jantan meskipun mereka tidak terlihat. Kombinasi pertunjukan visual yang spektakuler pada jarak dekat, dan sinyal akustik infrasonik jarak jauh, menunjukkan kompleksitas sistem komunikasi merak yang sering diremehkan.
Peran Mayur sebagai simbol kekuasaan dan kemakmuran juga diabadikan dalam koin dan lambang negara. Di Myanmar (Burma), Merak Hijau adalah simbol kerajaan yang kuat. Ia muncul pada koin dan bendera kerajaan kuno. Setelah kemerdekaan, simbol Merak kembali digunakan pada mata uang dan lambang kenegaraan untuk mewakili kedaulatan dan identitas nasional, meskipun sekarang dihadapkan pada krisis konservasi.
Dalam heraldik Eropa, Merak sering muncul di lambang keluarga bangsawan. Dianggap sebagai lambang kebanggaan, kebijaksanaan, dan status yang tinggi. Kepala merak sering digunakan di puncak lambang (crest), melambangkan pengawasan (karena bulunya yang ‘bermata’).
Di Indonesia, khususnya Jawa, meskipun Merak Hijau adalah spesies asli, simbolismenya sering kali bercampur dengan interpretasi Hindu-Buddha yang dibawa dari India. Merak dalam tradisi Jawa dan Bali sering dihubungkan dengan motif batik dan ukiran kayu. Ia melambangkan kemewahan, estetika istana, dan seringkali digunakan sebagai motif pada busana tari tradisional. Tari Merak, yang terkenal di Jawa Barat, secara eksplisit meniru gerakan tarian kawin jantan, sebuah penghormatan budaya yang terus hidup terhadap keindahan dan ritual Mayur.
Studi tentang warna struktural Mayur telah memicu gelombang penelitian di bidang biomimikri (meniru alam untuk teknologi). Para ilmuwan berupaya meniru struktur kristal fotonik pada bulu merak untuk aplikasi industri.
Tujuan utama dari meniru struktur Mayur adalah menciptakan pigmen yang tidak memudar dan tidak beracun. Contoh aplikasi potensial meliputi:
Mayur, dengan demikian, bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga cetak biru (blueprint) untuk inovasi teknologi masa depan, menunjukkan bahwa solusi paling canggih sering kali ditemukan dalam desain alam yang telah berevolusi selama jutaan tahun.
Mayur tetap menjadi subjek yang tak pernah habis, sebuah keajaiban yang menyatukan paradoks. Dalam dirinya, kebanggaan dan kerendahan hati hidup berdampingan, racun diubah menjadi keindahan, dan fisika yang dingin melahirkan emosi yang hangat. Burung ini adalah sebuah ensiklopedia hidup: ensiklopedia biologi yang mengajarkan kita tentang cahaya dan materi; ensiklopedia spiritual yang mengajarkan kita tentang siklus dan pembebasan; dan ensiklopedia seni yang mendefinisikan estetika di banyak peradaban besar.
Merenungkan Mayur adalah merenungkan diri kita sendiri—usaha tanpa akhir untuk mengubah hal yang biasa menjadi hal yang luar biasa, mengubah penderitaan menjadi kemuliaan, dan memastikan bahwa keindahan, dalam segala bentuknya, akan selalu memiliki tempat yang sakral dan tak terbantahkan di dunia ini.
***