Warisan Sejarah dan Identitas di Pintu Gerbang Sumatera Timur
Melayu Deli, sebuah entitas kultural yang berakar kuat di wilayah yang kini dikenal sebagai Kota Medan dan sekitarnya di Sumatera Utara, merupakan salah satu cabang terpenting dari rumpun Melayu di Nusantara. Identitas Melayu Deli tidak hanya terpatri pada linguistik atau seni, tetapi juga pada sejarah panjang Kesultanan Deli, yang menjadi salah satu poros ekonomi dan politik paling signifikan di Selat Malaka pada abad ke-19.
Nama 'Deli' sendiri merujuk pada sungai, wilayah, dan akhirnya kesultanan yang didirikan oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan sekitar abad ke-17. Namun, puncak kejayaannya baru dirasakan ketika wilayah ini bertransformasi menjadi pusat perkebunan tembakau (Deli Maatschappij) yang sangat makmur, menarik migrasi global dan menciptakan dinamika sosial yang unik. Kebudayaan Melayu Deli modern adalah sintesis yang rumit antara tradisi asli istana, pengaruh Islam yang mendalam, dan jejak-jejak kolonialisme Belanda.
Inti dari kebudayaan ini adalah adaptabilitas yang tinggi, tetapi pada saat yang sama, ia mempertahankan integritas adat istiadat yang telah diwariskan turun-temurun. Pemahaman tentang Melayu Deli memerlukan penelusuran balik ke Istana Maimun, ke dalam lirik-lirik pantun yang lembut, dan ke keramaian pasar yang dulunya dikuasai oleh komoditas emas hijau: tembakau Deli.
Sejarah Melayu Deli tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kesultanan Deli, yang berdiri di atas pondasi Kerajaan Haru. Pada awalnya, Deli merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh. Pendiri dinasti Deli adalah Tuanku Panglima Gocah Pahlawan, seorang panglima perang yang dikirim oleh Sultan Aceh ke daerah pesisir timur Sumatera. Ia kemudian memerdekakan diri dari Aceh dan mendirikan Kesultanan Deli sekitar tahun 1632.
Pada periode awal, Deli adalah kerajaan yang fokus pada perdagangan hasil hutan dan perikanan, berhadapan langsung dengan intrik politik dari kerajaan tetangga, Serdang. Hubungan Deli dengan Serdang seringkali tegang, bahkan terjadi pemisahan wilayah yang signifikan. Garis suksesi Kesultanan Deli dimulai dengan Gocah Pahlawan, diikuti oleh keturunan-keturunan yang secara bertahap memperkuat posisi mereka di wilayah Sungai Deli dan Sungai Babura.
Meskipun demikian, Deli masih berada di bawah bayang-bayang kekuatan regional besar seperti Aceh dan, kemudian, pengaruh Eropa. Kekuatan Deli mulai terlihat jelas setelah perjanjian dengan Belanda (V.O.C.) pada abad ke-18, meskipun hubungan ini baru benar-benar menguat pada paruh kedua abad ke-19.
Titik balik sejarah Deli adalah penemuan bahwa tanah vulkanik di sekitar Sungai Deli sangat subur dan ideal untuk menanam tembakau berkualitas tinggi. Faktor ini menarik perhatian Jacob Nienhuys, seorang pengusaha Belanda. Pada tahun 1863, dengan izin dari Sultan Mahmud Perkasa Alam (Sultan Deli ke-8), konsesi perkebunan pertama dimulai.
Tembakau Deli, terkenal karena elastisitas dan teksturnya yang sempurna untuk pembungkus cerutu kelas atas (premium wrapper), dikenal sebagai 'Emas Hijau' atau De Gouden Blad. Keuntungan fantastis dari komoditas ini mengubah Kesultanan Deli secara fundamental. Sultan Deli mendapatkan bagian royalti yang sangat besar, memungkinkan pembangunan infrastruktur megah dan simbol-simbol kekuasaan abadi.
Booming tembakau memicu urbanisasi masif. Medan, yang semula hanyalah sebuah desa kecil di hilir Sungai Deli, tumbuh pesat menjadi pusat administrasi dan perdagangan yang dijuluki Parijs van Sumatra. Namun, kemakmuran ini juga membawa konsekuensi sosial yang kompleks:
Masa Kesultanan Deli berakhir secara formal setelah kemerdekaan Indonesia. Namun, dampak paling dramatis terjadi selama masa Revolusi Sosial Sumatera Timur (1946). Konflik yang berakar pada ketidakpuasan rakyat terhadap feodalisme dan isu kepemilikan tanah perkebunan menyebabkan penyerbuan terhadap kaum bangsawan Melayu Deli dan Simalungun. Walaupun Kesultanan Deli kehilangan kekuasaan politiknya, peran adat dan budaya tetap dipertahankan oleh para pewaris takhta, yang kini bertindak sebagai penjaga warisan kebudayaan.
Adat Melayu Deli diatur secara ketat oleh ajaran Islam (Adat bersendi Syara', Syara' bersendi Kitabullah) dan hierarki istana. Meskipun kini sifatnya lebih ceremonial, struktur adat ini tetap menjadi panduan dalam upacara besar seperti pernikahan, penyambutan tamu kehormatan, dan penobatan gelar adat.
Masyarakat Melayu Deli tradisional terbagi menjadi beberapa strata yang jelas, dipimpin oleh Sultan dan keluarganya:
Pemberian gelar seperti Dato’ Sri Diraja atau Dato’ Pahlawan merupakan tradisi penting yang menunjukkan pengakuan Kesultanan terhadap kontribusi seseorang terhadap budaya Melayu Deli. Gelar ini seringkali disertai dengan perangkat adat dan busana kebesaran.
Upacara pernikahan adalah manifestasi terbesar dari kekayaan adat Melayu Deli. Prosesi ini sangat panjang dan melibatkan serangkaian tahapan yang sarat makna spiritual dan sosial:
Merisik (Menyelidik): Dilakukan oleh utusan keluarga laki-laki untuk memastikan gadis yang dituju belum terikat dan untuk menanyakan kesediaan. Proses ini harus dilakukan dengan bahasa yang halus dan berkias (berpantun).
Meminang dan Bertunang: Setelah kesediaan didapat, rombongan resmi datang untuk meminang. Prosesi pertunangan ditandai dengan penyerahan tepak sirih lengkap, mas kawin (benda berharga), dan ikatan (cincin atau gelang). Waktu pertunangan diumumkan, seringkali disertai dengan pembacaan pantun-pantun yang lucu namun sarat nasihat.
Berinai (Malam Pacar): Serupa dengan tradisi Melayu lain, calon pengantin dihias dengan inai (pacar). Upacara ini merupakan momen keakraban keluarga dan menandai transisi menuju status pernikahan.
Akad Nikah: Inti dari pernikahan Islam, dilakukan sesuai syariat. Di lingkungan istana atau bangsawan, akad nikah biasanya dihadiri oleh pembesar adat dan dilangsungkan di tempat yang dihormati.
Bersanding (Persandingan): Puncak pesta. Pengantin duduk di atas pelaminan (singgasana) yang dihias megah dengan nuansa warna kuning keemasan (warna kerajaan) dan merah marun. Prosesi bersanding diiringi dengan musik tradisional, seperti Gendang dan Zapin, serta prosesi Menyemah Padi (menyebar beras kuning) sebagai simbol kesuburan dan kesejahteraan.
Busana pengantin Melayu Deli sangat khas. Laki-laki mengenakan Baju Kurung Teluk Belanga, celana panjang, dan kain samping (songket) yang dililit rapi, serta Tanjak (mahkota dari kain). Wanita mengenakan Baju Kurung atau Kebaya Labuh dari bahan sutra atau songket, dengan perhiasan emas yang banyak (Pending, dokoh, dan mahkota kepala) yang melambangkan kemewahan dan martabat Kesultanan.
Melayu Deli adalah gudang seni pertunjukan yang kental dengan sentuhan istana. Seni ini berfungsi tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai media edukasi, sejarah, dan sarana ritual adat.
Tari Zapin adalah seni tarian utama dalam kebudayaan Melayu. Zapin Deli memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dari Zapin Riau atau Jambi. Gerakannya lebih dinamis, tetapi tetap menjaga kelembutan dan keanggunan. Zapin Deli dipertunjukkan dalam acara adat besar dan pernikahan, diiringi oleh alat musik gambus, marwas, dan biola.
Ada berbagai jenis ragam Zapin, seperti Zapin Beradat (yang lebih formal dan terstruktur) dan Zapin Kontemporer. Inti dari tarian ini adalah perpaduan gerak kaki yang cepat dengan ayunan tangan yang elegan, seringkali menceritakan kisah percintaan atau pujian kepada para Sultan.
Musik Melayu Deli sangat dipengaruhi oleh instrumen Timur Tengah (seperti gambus) dan instrumen Eropa (biola/violin), yang masuk melalui perdagangan Selat Malaka. Ciri khasnya adalah melodi yang melankolis dan lirik yang berbasis pantun. Genre ini mencapai popularitas tinggi di era 1950-an hingga 1970-an, dengan tokoh-tokoh seperti O.K. Abdullah dan Tengku Adnan.
Alat musik utama: Biola, Gambus (instrumen petik yang mirip Oud), Marwas (sejenis kendang kecil), dan Akordeon. Musik ini sering digunakan untuk mengiringi lagu-lagu Irama Melayu Deli yang mendayu-dayu, yang liriknya kaya akan metafora alam dan ungkapan kerinduan.
Sastra lisan adalah fondasi komunikasi dan diplomasi Melayu Deli. Pantun dan syair digunakan dalam segala situasi, dari percakapan santai hingga perundingan adat yang serius (berbalas pantun).
Pantun Melayu Deli terkenal dengan logatnya yang unik dan penggunaan perumpamaan lokal. Struktur pantun (empat baris, a-b-a-b, dua baris sampiran, dua baris isi) adalah pakem yang wajib dipatuhi. Pantun berfungsi sebagai nasihat, sindiran halus, atau ungkapan cinta.
Jikalau tuan pergi ke pekan,
Jangan lupa membeli batik;
Jikalau ilmu sudah didapatkan,
Jangan sombong dan jangan pelik.
Syair-syair panjang (puisi naratif) seperti Hikayat Deli menceritakan silsilah para Sultan dan peristiwa-peristiwa penting di Kesultanan. Ini adalah warisan tertulis yang berharga, yang dahulu dibacakan pada malam-malam hari besar atau di lingkungan istana untuk menjaga memori sejarah.
Arsitektur Melayu Deli adalah cerminan dari kemakmuran Kesultanan di akhir abad ke-19, menggabungkan elemen tradisional Melayu, Islam, dan pengaruh Eropa (terutama Spanyol, India, dan Belanda) yang masuk melalui kontak dagang.
Istana Maimun, dibangun atas prakarsa Sultan Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alam, adalah mahakarya arsitektur Kesultanan Deli. Selesai pada tahun 1888, istana ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal Sultan, tetapi juga sebagai pusat administrasi dan diplomasi.
Ciri khas Istana Maimun adalah perpaduan gaya yang eklektik:
Masjid Raya Medan, atau Al-Mashun, adalah pasangan simbolis dari Istana Maimun, yang menunjukkan eratnya hubungan antara kekuasaan spiritual dan temporal dalam Kesultanan Deli. Dibangun dengan gaya arsitektur Maroko dan Eropa, masjid ini memiliki kubah yang khas dan ukiran-ukiran kaligrafi yang indah.
Keunikan Masjid Raya terletak pada material bangunannya yang didatangkan langsung dari luar negeri (marmer dari Italia, kaca patri dari Tiongkok, dan lainnya), menunjukkan betapa kayanya Kesultanan Deli berkat tembakau.
Bahasa Melayu Deli adalah salah satu dialek Melayu yang memiliki ciri khas tersendiri, berbeda dengan Melayu Riau, Minangkabau, atau bahkan Melayu Malaysia. Bahasa ini menjadi lingua franca di Medan dan sekitarnya sebelum didominasi oleh bahasa Indonesia baku, dan kini hidup berdampingan dengan bahasa suku Batak dan Jawa.
Ciri paling menonjol dari Melayu Deli adalah intonasinya yang khas, seringkali terdengar lebih cepat dan memiliki penekanan vokal yang jelas. Secara fonologis:
Karena Medan adalah kota pelabuhan yang sangat terbuka, kosa kata Melayu Deli menyerap banyak istilah dari bahasa Tionghoa (Hokkien), Tamil, Belanda, dan Jawa. Hal ini memperkaya kosakata mereka sehari-hari.
Penggunaan peribahasa dan kiasan adalah jantung dari komunikasi Melayu Deli, terutama dalam konteks formal adat. Bahasa kiasan ini menjaga kehalusan komunikasi dan menghindari konflik langsung. Misalnya, alih-alih mengatakan 'berbohong', mereka mungkin menggunakan frasa 'cakapnya tak menentu' atau 'temberang sahaja'.
Masakan Melayu Deli mencerminkan kekayaan rempah-rempah Sumatera dan pengaruh budaya istana. Kuliner ini kaya akan santan, kunyit, lengkuas, dan asam, menghasilkan rasa yang kompleks, gurih, dan pedas yang seimbang. Kuliner juga menjadi bagian penting dalam upacara adat, terutama saat menjamu tamu.
Nasi Lemak versi Deli disajikan dengan lauk pauk yang lebih kaya rempah. Nasi yang dimasak dengan santan dan daun pandan disajikan bersama sambal tumis udang atau sambal teri kacang, telur balado, dan rendang daging yang dimasak hingga kering, dengan cita rasa yang lebih manis dan kaya bumbu dibandingkan rendang Minangkabau.
Gulai Ikan Salai adalah hidangan yang wajib ada dalam jamuan adat. Ikan (biasanya patin, baung, atau selais) diasap terlebih dahulu (salai) hingga kering, memberikan aroma khas. Kemudian, ikan tersebut dimasak dalam kuah gulai santan kental dengan cabai rawit, kunyit, dan asam kandis, menghasilkan kombinasi rasa pedas, asam, dan smoky yang sangat menggugah selera.
Tempoyak (fermentasi durian) adalah bahan baku penting. Sambal belacan tempoyak Melayu Deli dibuat dengan mencampurkan tempoyak segar, cabai rawit, bawang merah, dan terasi (belacan), menghasilkan sambal yang tajam, pedas, dan memiliki rasa manis-asam durian yang unik. Ini sering disajikan sebagai pelengkap hampir semua hidangan utama.
Meskipun Bolu Kemojo lebih dikenal di Riau, versi Deli memiliki tekstur yang lebih padat dan biasanya menggunakan santan kental yang banyak, menciptakan aroma gurih yang kuat. Kue ini berbentuk bunga kamboja (kemojo) dan sering dijadikan hidangan penutup pada acara-acara formal.
Bika Ambon adalah kue yang telah diadopsi secara sempurna oleh Medan dan Melayu Deli, meskipun asal-usulnya diperdebatkan. Versi Medan terkenal karena teksturnya yang berserat, kenyal, dan rasa pandan atau nangka yang kuat, dimasak perlahan dalam waktu yang lama menggunakan loyang khusus.
Lemang, beras ketan yang dimasak di dalam bambu dengan santan, adalah makanan komunal penting, khususnya saat Hari Raya. Lemang Deli disantap dengan rendang, tapai ketan hitam, atau bahkan durian. Proses pembuatannya yang memakan waktu lama mencerminkan gotong royong dan kesabaran komunitas.
Setelah Kesultanan kehilangan peran politiknya dan Medan berkembang menjadi kota metropolitan yang didominasi oleh perantau, identitas Melayu Deli menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan warisan budayanya di tengah arus globalisasi dan dominasi budaya mayoritas regional.
Medan hari ini adalah kota yang sangat plural. Kelompok etnis Batak, Tionghoa, Jawa, dan Minang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam ekonomi dan politik kota. Dalam konteks ini, Melayu Deli harus berjuang untuk menonjolkan identitasnya sebagai pemilik budaya asal wilayah tersebut.
Ancaman utama adalah asimilasi. Generasi muda Melayu Deli seringkali lebih fasih berbahasa Indonesia atau dialek lain, dan pengetahuan tentang adat istiadat formal, seperti pantun beradat atau tarian Zapin klasik, semakin menipis. Banyak warisan fisik seperti rumah-rumah tradisional Melayu juga hilang akibat pembangunan.
Untungnya, ada upaya yang gigih untuk melestarikan dan merevitalisasi kebudayaan Melayu Deli, didukung oleh pihak Kesultanan, akademisi, dan pemerintah daerah:
Istana Maimun, meskipun bukan lagi pusat kekuasaan, berfungsi sebagai museum hidup dan pusat kegiatan adat. Sultan dan pewaris adat secara rutin menyelenggarakan acara-acara kebudayaan, seperti penabalan gelar, pertunjukan Zapin, dan majelis berbual pantun, untuk menjaga agar tradisi tetap relevan.
Pemerintah daerah Sumatera Utara telah berupaya memasukkan elemen-elemen Melayu Deli (terutama sejarah Kesultanan dan seni tari) ke dalam kurikulum sekolah lokal. Selain itu, Istana Maimun dan Masjid Raya Al-Mashun dijadikan sebagai destinasi wisata utama, yang secara tidak langsung membantu membiayai pelestarian bangunan bersejarah tersebut.
Seniman-seniman muda Melayu Deli mulai memodernisasi bentuk seni tradisional, misalnya dengan menggabungkan musik Zapin dengan genre kontemporer atau menciptakan koreografi baru yang tetap berakar pada pakem Melayu. Hal ini penting untuk menarik minat generasi milenial.
Meskipun tantangan urbanisasi dan globalisasi tetap ada, kontribusi Melayu Deli terhadap peradaban Indonesia—terutama dalam hal perdagangan internasional, arsitektur, dan sintesis budaya—tetap abadi. Identitas mereka mengajarkan pentingnya menghargai sejarah kerajaan yang bertransformasi menjadi pusat ekonomi dunia.
Melayu Deli adalah narasi yang kompleks dan indah tentang adaptasi, kekayaan, dan martabat. Dari tepian Sungai Deli yang sunyi, ia tumbuh menjadi jantung perdagangan yang menarik perhatian dunia, disimbolkan oleh Istana Maimun yang megah dan Masjid Raya yang anggun.
Kekayaan Melayu Deli tidak hanya terletak pada harta benda atau luas wilayah yang pernah dikuasainya, melainkan pada kehalusan bahasa, ketegasan adat yang bersendi syariat, dan keindahan seninya. Warisan ini adalah tanggung jawab bersama—untuk memastikan bahwa melodi gambus dan irama Zapin tetap terdengar, dan bahwa kosa kata unik seperti 'paten' dan 'kelen' terus menjadi bagian dari identitas Medan sebagai kota Melayu yang kosmopolitan. Melalui upaya pelestarian yang berkelanjutan, Melayu Deli memastikan bahwa jejak gemilangnya akan terus mengalir, sehangat santan dalam gulai ikan salai, seindah lipatan tanjak yang terjaga rapi.
Untuk memahami sepenuhnya struktur sosial dan historis Melayu Deli, perluasan mengenai silsilah dan sistem kedaulatan sangatlah penting. Kesultanan Deli tidak hanya berfokus pada Sultan; ada struktur pembantu yang kuat, termasuk Raja Muda dan Orang Besar Empat Suku.
Sultan Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alam (bertahta 1873-1924) adalah figur sentral yang mengarahkan Kesultanan Deli menuju puncak kemakmuran ekonominya. Dialah yang mengawasi ekspansi perkebunan dan menata kembali infrastruktur kota. Keputusan visioner Sultan Ma'mun dalam menjalin kerjasama dengan para pengusaha perkebunan Eropa memastikan bahwa Deli tetap menjadi entitas yang dihormati, meskipun berada di bawah bayang-bayang politik kolonial Belanda.
Kontrasnya, Sultan Osman Perkasa Alam (Sultan ke-11) adalah sosok yang menyaksikan gejolak Revolusi Sosial 1946, momen tragis yang secara efektif menghapus kekuasaan politik bangsawan di Sumatera Timur. Detail mengenai peran masing-masing Sultan dalam negosiasi konsesi, pertahanan wilayah, dan pengembangan hukum adat membentuk narasi Melayu Deli yang kaya.
Secara tradisional, Kesultanan Deli terbagi menjadi beberapa Marga atau Kampung yang dipimpin oleh Ulung (Kepala Adat). Setiap Ulung bertanggung jawab atas urusan tanah, pernikahan, dan penyelesaian sengketa di wilayahnya. Empat suku besar yang secara tradisional mendukung Kesultanan adalah:
Struktur ini memastikan bahwa Sultan memiliki jaringan kekuasaan yang solid dan mampu mengontrol sumber daya alam yang tersebar di wilayah Kesultanan. Keberadaan empat suku ini sering tercermin dalam penamaan daerah di sekitar Medan hingga kini.
Seni tenun Melayu Deli, khususnya songket, adalah puncak keahlian kerajinan tangan. Songket Deli terkenal dengan motifnya yang halus dan penggunaan benang emas atau perak yang dominan, melambangkan kemewahan istana. Motif yang paling khas meliputi:
Proses menenun songket Deli sangat rumit, menggunakan alat tenun tradisional (alat tenun bukan mesin/ATBM), dan satu helai kain dapat memakan waktu berminggu-minggu, menjadikan songket sebagai harta pusaka yang bernilai tinggi.
Dalam arsitektur tradisional Melayu Deli, ukiran kayu tidak hanya berfungsi sebagai dekorasi, tetapi juga sebagai media perlindungan spiritual dan narasi. Rumah-rumah tradisional (Rumah Limas) dihiasi dengan ukiran yang menceritakan flora dan fauna lokal, namun selalu dihindari penggambaran makhluk hidup secara utuh sesuai dengan ajaran Islam. Kaligrafi Arab, khususnya tulisan Jawi, mendominasi dekorasi di Istana Maimun dan Masjid Raya, menegaskan identitas Islam Kesultanan.
Sungai Deli adalah arteri kehidupan Kesultanan. Bukan hanya jalur transportasi dan perdagangan, sungai ini juga memiliki makna spiritual dan mitologi. Sungai Deli diyakini sebagai tempat bersemayamnya makhluk halus penjaga kerajaan. Upacara adat seringkali melibatkan persembahan di tepi sungai sebagai bentuk penghormatan.
Dalam ritual adat Melayu Deli, air dari Sungai Deli atau air suci yang telah didoakan (Air Tepung Tawar) digunakan dalam upacara penobatan, penyucian, dan pernikahan. Air ini melambangkan kesuburan, kehidupan, dan pembersihan dari segala mara bahaya. Prosesi Mandi Berlimau (mandi dengan air kembang dan jeruk limau) sebelum pernikahan adalah contoh bagaimana air memegang peranan sakral.
Medan merupakan titik pertemuan etnis yang luar biasa. Melayu Deli memiliki hubungan yang kompleks dan dinamis dengan etnis Tionghoa, yang datang sebagai buruh perkebunan dan pedagang. Hubungan ini melahirkan akulturasi unik:
Beberapa kuliner khas Medan, seperti Mie Rebus atau Lontong Sayur Medan, merupakan hasil asimilasi. Meskipun dasar lontong sayur adalah Melayu, teknik memasak dan penambahan bahan tertentu (seperti telur puyuh atau kerupuk yang terinspirasi Tionghoa) menunjukkan perpaduan rasa. Istilah 'kopi tiam' atau penggunaan mangkuk keramik tertentu dalam jamuan juga merupakan adopsi dari tradisi Tionghoa.
Bahasa pergaulan (prokem) di Medan saat ini adalah campuran bahasa Indonesia, Melayu Deli, Hokkien, dan Batak. Contoh kata serapan dari Hokkien yang diadopsi ke dalam percakapan sehari-hari Melayu Deli termasuk 'cengli' (adil), 'kiam' (pelit), dan 'ciak' (makan). Kehadiran bahasa ini di Deli membuktikan kemampuan adaptasi dialek Melayu terhadap lingkungan sosial yang terus berubah.
Falsafah hidup Melayu Deli sangat terikat pada konsep Marwah (martabat) dan Adat. Martabat bukan hanya kehormatan diri sendiri, tetapi juga kehormatan keluarga dan Kesultanan. Seseorang yang kehilangan marwah dianggap telah merusak seluruh komunitasnya.
Dalam menyelesaikan masalah, prinsip yang digunakan adalah musyawarah untuk mencapai mufakat, berdasarkan hukum adat yang tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam. Keadilan harus ditegakkan, tetapi dengan cara yang beradab dan penuh hormat. Konsep gotong royong juga sangat kuat, terlihat dalam prosesi mendirikan rumah (Rumah Limas) atau saat panen.
Menurut tuntunan adat, seorang Melayu Deli yang baik harus memiliki sifat:
Seluruh kekayaan sejarah, bahasa, dan adat istiadat Melayu Deli ini terus disajikan sebagai warisan berharga, menjadikannya salah satu pilar utama identitas budaya Nusantara yang patut terus dikaji dan dilestarikan.