Ilmu Hadis merupakan salah satu disiplin ilmu yang paling fundamental dan krusial dalam khazanah keislaman. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang Hadis, seorang Muslim akan kesulitan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya secara kaffah (menyeluruh). Hadis berfungsi sebagai penjelas Al-Qur'an, sumber hukum kedua, serta panduan praktis dalam setiap aspek kehidupan. Di antara berbagai klasifikasi Hadis, Hadis Marfu' menempati kedudukan yang sangat istimewa dan penting. Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai Hadis Marfu', mulai dari definisinya yang mendalam, berbagai jenisnya, hingga kedudukannya sebagai hujjah (argumentasi hukum) dalam syariat Islam, serta perbandingannya dengan jenis Hadis lain yang relevan. Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif bagi para pembaca tentang betapa vitalnya Hadis Marfu' bagi umat Islam.
Sebelum kita menyelami lebih jauh tentang Hadis Marfu', ada baiknya kita memahami terlebih dahulu konteks umum ilmu Hadis itu sendiri. Hadis, secara etimologi dalam bahasa Arab, berarti "baru", "perkataan", atau "berita". Dalam terminologi syariat, Hadis merujuk pada segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi'l), persetujuan (taqrir), maupun sifat-sifat beliau (sifah), yang semuanya berfungsi sebagai pedoman dan teladan bagi umat Islam.
Pentingnya Hadis tidak dapat diragukan lagi. Al-Qur'an, sebagai wahyu utama, seringkali memberikan perintah atau larangan secara umum. Hadislah yang kemudian datang untuk merinci, menjelaskan, dan memberikan contoh aplikasi praktis dari ayat-ayat Al-Qur'an tersebut. Misalnya, Al-Qur'an memerintahkan shalat dan zakat, namun Hadislah yang menunjukkan bagaimana cara shalat, berapa rakaatnya, kapan waktu pelaksanaannya, serta bagaimana mekanisme penghitungan dan penyaluran zakat. Oleh karena itu, Hadis menempati posisi sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ilmu Hadis terbagi menjadi dua cabang utama: Ilmu Rijal al-Hadis (ilmu tentang para perawi Hadis) dan Ilmu Dirayah al-Hadis (ilmu tentang teks dan matan Hadis). Keduanya saling melengkapi untuk memastikan otentisitas dan keabsahan Hadis. Dalam konteks otentisitas ini, para ulama Hadis telah mengembangkan berbagai klasifikasi Hadis berdasarkan beberapa kriteria, seperti:
Dari ketiga jenis terakhir ini, Hadis Marfu' adalah yang memiliki kedudukan tertinggi, karena secara langsung merujuk pada otoritas Nabi Muhammad ﷺ. Memahami perbedaan antara Hadis Marfu', Mauquf, dan Maqtu' adalah kunci untuk mengidentifikasi tingkat kehujahan sebuah riwayat dalam penetapan hukum Islam. Pembahasan selanjutnya akan mengurai secara spesifik Hadis Marfu' dengan segala seluk-beluknya.
Istilah Hadis Marfu' memiliki makna yang sangat spesifik dan penting dalam ilmu Hadis. Untuk memahaminya secara utuh, kita perlu meninjau definisi Hadis Marfu' baik secara bahasa maupun secara istilah ulama Hadis.
Kata "Marfu'" (مرفوع) berasal dari akar kata bahasa Arab raf'a (رفع), yang berarti "mengangkat", "meninggikan", "menyampaikan", atau "menaikkan". Dalam konteks ini, "Marfu'" dapat diartikan sebagai sesuatu yang "diangkat" atau "ditinggikan" kepada sumber yang lebih tinggi. Secara sederhana, Hadis Marfu' adalah Hadis yang "ditinggikan" atau "disandarkan" kepada sumber yang paling mulia, yaitu Nabi Muhammad ﷺ.
Secara istilah, definisi Hadis Marfu' telah disepakati oleh mayoritas ulama Hadis. Hadis Marfu' adalah:
"Setiap Hadis yang disandarkan secara langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ, baik perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat-sifat beliau, baik sanadnya bersambung (muttashil) maupun terputus (munqathi'), dan baik perawinya adalah Sahabat, Tabi'in, maupun generasi setelahnya."
Penjelasan dari definisi ini adalah sebagai berikut:
Sebagai contoh konkret, riwayat dari seorang Tabi'in yang berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda, 'Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya'", meskipun riwayat ini oleh sebagian ulama mungkin dianggap sebagai mursal (salah satu jenis Hadis dha'if karena terputusnya sanad di bagian Sahabat), namun ia tetap digolongkan sebagai Hadis Marfu' karena secara jelas disandarkan perkataannya kepada Nabi ﷺ. Status Marfu' hanya menunjukkan kepada siapa Hadis itu disandarkan, sedangkan status kekuatan Hadis (shahih, hasan, dha'if) adalah penilaian tersendiri terhadap seluruh rantai sanad dan matan.
Dengan demikian, Hadis Marfu' merupakan fondasi utama dalam memahami ajaran Islam yang autentik, karena ia secara langsung membawa kita kepada sumber kebijaksanaan dan bimbingan dari Nabi terakhir, Muhammad ﷺ.
Meskipun definisi Hadis Marfu' secara umum adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, para ulama Hadis mengklasifikasikannya lebih lanjut menjadi dua jenis utama berdasarkan cara penyandarannya, yaitu Hadis Marfu' Sarih (jelas) dan Hadis Marfu' Hukmi (secara hukum).
Hadis Marfu' Sarih adalah Hadis yang secara eksplisit, terang-terangan, dan jelas disebutkan dalam riwayat bahwa ia berasal dari Nabi Muhammad ﷺ. Tidak ada keraguan atau interpretasi yang diperlukan untuk menentukan bahwa Nabi adalah sumbernya. Penyebutan ini bisa dilakukan oleh Sahabat, Tabi'in, atau perawi lainnya dalam sanad.
Ciri khas Hadis Marfu' Sarih adalah adanya lafaz-lafaz atau redaksi yang secara gamblang merujuk kepada Nabi ﷺ. Berikut adalah bentuk-bentuk Hadis Marfu' Sarih:
Ini adalah jenis yang paling umum, di mana perawi secara langsung mengutip perkataan Nabi Muhammad ﷺ. Lafaz-lafaz yang menunjukkan jenis ini antara lain:
Contoh: Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, "Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: 'Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.'" Lafaz "Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda" dengan jelas menunjukkan bahwa ini adalah Hadis Marfu' Sarih Qaul.
Jenis ini menjelaskan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Perawi menyaksikan langsung atau diberitahu tentang perbuatan Nabi tersebut dan menyampaikannya. Lafaz-lafaz yang menunjukkan ini antara lain:
Contoh: Hadis dari Malik bin Huwairits radhiyallahu 'anhu, "Datanglah dua orang sahabat kepada Nabi ﷺ, maka Nabi bersabda: 'Kembalilah kalian berdua, shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.'" Lafaz "sebagaimana kalian melihat aku shalat" menunjukkan perbuatan Nabi sebagai teladan dan ini adalah Hadis Marfu' Sarih Fi'l.
Ini terjadi ketika suatu perbuatan atau perkataan dilakukan di hadapan Nabi Muhammad ﷺ, dan beliau mengetahui serta tidak mengingkarinya. Diamnya Nabi atau ekspresi persetujuan beliau dianggap sebagai bentuk penetapan hukum. Lafaz-lafaz yang mengindikasikan jenis ini meliputi:
Contoh: Hadis riwayat Abu Dawud dari Abu Sa'id Al-Khudri, "Kami pergi berperang bersama Rasulullah ﷺ, dan kami mendapatkan tawanan, lalu kami mendapatkan makanan. Maka kami makan makanan tersebut dan Rasulullah ﷺ tidak mengingkari kami." Peristiwa makan makanan tawanan tanpa disembelih dan Nabi tidak melarangnya menunjukkan persetujuan beliau, sehingga ini adalah Hadis Marfu' Sarih Taqrir.
Jenis ini menggambarkan sifat-sifat Nabi Muhammad ﷺ, baik sifat fisik (khilqiyyah) maupun sifat akhlak (khuluqiyyah). Sifat-sifat ini merupakan bagian integral dari sunah beliau. Lafaz-lafaznya antara lain:
Contoh: Hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, "Tidaklah Rasulullah ﷺ itu seorang yang kaku lidah dan tidak pula orang yang kasar akhlaknya, dan tidak pula orang yang suka melaknat. Jika beliau menegur seseorang, maka beliau berkata, 'Ada apa dengan dia? Debu di keningnya!'" Ini menggambarkan sifat akhlak Nabi dan merupakan Hadis Marfu' Sarih Sifah.
Hadis Marfu' Hukmi adalah Hadis yang, meskipun secara lahiriah (redaksi) tidak secara eksplisit disebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ yang mengatakannya atau melakukannya, namun secara hukum dianggap sebagai Marfu' karena substansi dan isinya tidak mungkin berasal dari perkataan atau pendapat pribadi seorang Sahabat, melainkan pasti dari ajaran Nabi ﷺ.
Jenis ini membutuhkan analisis dan pemahaman mendalam tentang konteks riwayat dan kemampuan Sahabat. Ini adalah bentuk Hadis Marfu' yang membutuhkan ijtihad dari ulama Hadis untuk menentukannya.
Kondisi-kondisi umum Hadis dapat digolongkan sebagai Marfu' Hukmi antara lain:
Jika seorang Sahabat meriwayatkan sesuatu yang berkaitan dengan masalah gaib, seperti kejadian di masa lalu (kisah umat terdahulu yang tidak ada dalam Al-Qur'an), berita tentang hari kiamat, surga, neraka, atau hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal atau ijtihad manusia biasa, maka riwayat tersebut secara hukum dianggap Marfu'. Hal ini karena Sahabat tidak mungkin mengetahui informasi tersebut kecuali melalui wahyu atau pemberitahuan langsung dari Nabi ﷺ.
Contoh: Riwayat dari Aisyah radhiyallahu 'anha, "Ketika Nabi ﷺ melihat bintang-bintang, beliau bersabda, 'Sesungguhnya bintang-bintang ini adalah tanda-tanda bagi manusia. Barangsiapa yang mengikutinya, dia akan binasa'." Meskipun Aisyah tidak secara eksplisit mengatakan "Nabi bersabda", namun berita tentang hal ghaib (tanda-tanda bagi manusia) yang tidak dapat diketahui melalui ijtihad menjadikannya Marfu' Hukmi.
Jika seorang Sahabat mengeluarkan suatu hukum syar'i yang tidak ada dalilnya dalam Al-Qur'an dan hukum tersebut tidak bisa ditetapkan hanya berdasarkan akal atau penalaran pribadi, maka riwayat itu dianggap Marfu' Hukmi. Ini mencakup penetapan pahala atau dosa tertentu untuk suatu perbuatan.
Contoh: Riwayat dari Sahabat Hudzaifah bin Yaman tentang hukuman bagi orang yang berbuat riba. Atau Hadis tentang fadhilah (keutamaan) suatu amal ibadah yang spesifik, seperti "Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat, dia akan diberi cahaya antara dia dan Ka'bah." Informasi seperti ini tidak mungkin dihasilkan dari ijtihad pribadi Sahabat.
Jika seorang Sahabat menggunakan redaksi seperti "Kami diperintahkan..." (Umrina bi kadza), "Kami dilarang..." (Nuhina 'an kadza), "Termasuk sunah adalah..." (Minal sunnati kadza), atau "Kami biasa melakukan di zaman Nabi ﷺ..." (Kunna naf'alu 'ala 'ahdi Rasulillah ﷺ) tanpa menyebut nama Nabi secara langsung, maka ungkapan-ungkapan ini secara hukum dianggap Marfu'. Alasannya adalah bahwa perintah atau larangan dalam syariat hanya berasal dari Allah dan Rasul-Nya, dan kebiasaan di zaman Nabi yang terkait hukum pastilah disetujui atau diajarkan oleh beliau.
Contoh: Hadis dari Ummu 'Athiyah, "Kami dilarang mengantar jenazah." Meskipun tidak disebutkan "Nabi melarang", namun larangan dalam konteks syariat hanya datang dari Nabi, menjadikannya Marfu' Hukmi.
Apabila seorang Sahabat menafsirkan sebuah ayat Al-Qur'an dengan penjelasan yang tidak mungkin ia peroleh dari akal atau pemahamannya sendiri, melainkan harus dari pengajaran Nabi ﷺ, maka tafsir tersebut dihukumi Marfu'. Ini biasanya berlaku untuk ayat-ayat yang berhubungan dengan sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) atau penjelasan rinci mengenai hal-hal ghaib yang termuat dalam Al-Qur'an.
Contoh: Tafsir Ibnu Abbas mengenai makna dari ayat-ayat tertentu yang berkaitan dengan peristiwa spesifik atau takdir. Jika tafsir tersebut tidak memungkinkan bagi Ibnu Abbas untuk mengetahuinya kecuali dari Nabi ﷺ, maka tafsir tersebut secara hukum Marfu'.
Penting untuk dicatat bahwa Hadis Marfu' Hukmi memerlukan penelitian yang cermat dari para ulama untuk memastikan bahwa tidak ada kemungkinan lain (selain dari Nabi) sebagai sumber informasinya. Ini menunjukkan kedalaman dan ketelitian ilmu Hadis dalam menjaga kemurnian ajaran agama.
Pemahaman tentang kedua jenis Hadis Marfu' ini sangat krusial. Hadis Marfu' Sarih memberikan kejelasan langsung, sementara Hadis Marfu' Hukmi menunjukkan betapa para Sahabat memahami bahwa beberapa informasi hanya bisa berasal dari sumber kenabian, meskipun mereka tidak selalu menyebutkan Nabi secara eksplisit dalam setiap riwayat.
Dalam hierarki Hadis berdasarkan sandarannya, Hadis Marfu' menempati posisi tertinggi dan memiliki kehujahan yang paling kuat. Kedudukan istimewa ini bukan tanpa alasan, melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip dasar ilmu Hadis dan syariat Islam.
Seperti yang telah dijelaskan, Hadis dibagi berdasarkan sandarannya menjadi tiga kategori utama:
Dari ketiga jenis ini, Hadis Marfu' jelas menduduki peringkat teratas. Alasannya sangat fundamental: sumber ajaran Islam yang autentik dan mengikat adalah Al-Qur'an dan Sunah Nabi Muhammad ﷺ. Perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat-sifat Nabi ﷺ adalah manifestasi dari Sunah beliau. Oleh karena itu, Hadis yang secara langsung terhubung dengan Nabi ﷺ memiliki otoritas syar'i yang paling tinggi setelah Al-Qur'an.
Hadis Mauquf, meskipun dari Sahabat yang mulia, tetap merupakan pandangan atau perbuatan Sahabat, bukan Nabi. Demikian pula Hadis Maqtu' yang berasal dari Tabi'in. Meskipun keduanya dapat memiliki nilai penting dalam konteks pemahaman dan interpretasi, mereka tidak dapat langsung dijadikan sumber hukum independen yang setara dengan Hadis Marfu'.
Kekuatan kehujahan Hadis Marfu' bersumber dari beberapa faktor:
Hadis Marfu' memiliki kehujahan yang kuat dalam penetapan berbagai jenis hukum syariat:
Meskipun Hadis Marfu' memiliki status kehujahan yang tinggi karena sandarannya kepada Nabi, namun untuk dapat dijadikan hujjah dalam penetapan hukum, Hadis Marfu' tersebut harus memenuhi syarat kualitas sanad dan matan:
Dengan demikian, Hadis Marfu' merupakan tiang penyangga utama syariat Islam setelah Al-Qur'an. Pemahaman yang benar tentang definisinya dan syarat-syarat kehujahannya sangat penting bagi setiap Muslim untuk menjalankan agamanya sesuai tuntunan yang autentik dan terverifikasi.
Untuk lebih memahami keunikan dan kedudukan Hadis Marfu', sangat penting untuk membandingkannya dengan dua jenis Hadis lain yang dikategorikan berdasarkan sandarannya: Hadis Mauquf dan Hadis Maqtu'. Ketiga istilah ini seringkali membingungkan bagi sebagian orang, namun perbedaannya sangat fundamental dalam ilmu Hadis dan implikasinya terhadap penetapan hukum.
Secara bahasa, Mauquf berarti "yang diberhentikan" atau "yang dihentikan". Secara istilah, Hadis Mauquf adalah:
"Segala sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat Nabi Muhammad ﷺ, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuan beliau, tanpa ada indikasi bahwa hal tersebut berasal dari Nabi ﷺ."
Dengan kata lain, sanad Hadis Mauquf berhenti pada seorang Sahabat. Perawi setelah Sahabat meriwayatkan langsung dari Sahabat tersebut, yang kemudian menyatakan sesuatu sebagai perkataan atau perbuatannya sendiri, bukan perkataan atau perbuatan Nabi.
Perbedaan paling krusial antara Hadis Marfu' dan Mauquf terletak pada sumber sandarannya. Hadis Marfu' bersumber langsung dari Nabi ﷺ, sementara Hadis Mauquf bersumber dari Sahabat. Akibatnya, status kehujahannya pun berbeda:
Penting untuk diingat bahwa ada pengecualian di mana Hadis Mauquf dapat ditingkatkan statusnya menjadi Hadis Marfu' secara hukum (Marfu' Hukmi). Ini terjadi ketika riwayat seorang Sahabat mengandung informasi yang tidak mungkin ia ketahui dari ijtihad pribadinya, seperti telah dibahas pada bagian jenis Hadis Marfu' Hukmi. Contohnya adalah riwayat tentang hal-hal ghaib atau hukum syariat yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur'an dan tidak dapat diturunkan melalui akal semata. Dalam kasus-kasus tersebut, meskipun lafaznya Mauquf, maknanya dihukumi Marfu'.
Secara bahasa, Maqtu' berarti "yang terputus" atau "yang terpotong". Secara istilah, Hadis Maqtu' adalah:
"Segala sesuatu yang disandarkan kepada Tabi'in atau generasi setelahnya (bukan Sahabat), baik berupa perkataan maupun perbuatan mereka."
Sanad Hadis Maqtu' berakhir pada seorang Tabi'in (generasi setelah Sahabat yang bertemu dengan Sahabat) atau perawi di bawahnya.
Hadis Maqtu' memiliki tingkat kehujahan yang paling rendah dibandingkan Marfu' dan Mauquf dalam penetapan hukum syariat. Ini karena ia hanya mencerminkan pandangan atau praktik seorang Tabi'in atau generasi setelahnya, yang tentu saja jauh dari otoritas kenabian dan juga bukan dari Sahabat yang secara langsung berguru kepada Nabi.
Terkadang, istilah "Maqtu'" juga digunakan dalam konteks ilmu sanad untuk Hadis yang sanadnya terputus di tengah-tengah (munqathi'), bukan hanya berhenti pada Tabi'in. Namun, dalam klasifikasi berdasarkan sandaran kepada sumbernya, Maqtu' secara spesifik merujuk pada apa yang dinisbatkan kepada Tabi'in ke bawah.
| Jenis Hadis | Disandarkan Kepada | Kehujahan Hukum |
|---|---|---|
| Marfu' | Nabi Muhammad ﷺ | Mengikat (jika shahih/hasan) |
| Mauquf | Sahabat Nabi | Tidak mengikat langsung, bisa jadi rujukan/dalil pendukung |
| Maqtu' | Tabi'in atau generasi setelahnya | Tidak mengikat, hanya sebagai rujukan ijtihad |
Memahami perbedaan ini adalah langkah fundamental dalam studi ilmu Hadis, karena hal ini memungkinkan seorang Muslim untuk menilai kekuatan argumen syar'i dari berbagai riwayat dan memastikan bahwa praktik agamanya didasarkan pada sumber yang paling autentik dan memiliki otoritas tertinggi.
Identifikasi Hadis Marfu' bukanlah tugas yang mudah dan sembarangan. Ia membutuhkan ketelitian, keilmuan mendalam, dan pemahaman yang komprehensif terhadap metodologi ilmu Hadis yang telah dikembangkan oleh para ulama muhaddisin (ahli Hadis) selama berabad-abad. Metodologi ini melibatkan analisis cermat terhadap dua komponen utama Hadis: sanad (rantai perawi) dan matan (teks Hadis).
Sanad adalah rantai perawi yang menyampaikan Hadis dari sumber awalnya hingga kepada orang yang menuliskannya atau meriwayatkannya. Sanad adalah "tulang punggung" Hadis, dan tanpa sanad, Hadis tidak memiliki nilai ilmiah. Ibnu Sirin, salah seorang Tabi'in yang agung, pernah berkata: "Sesungguhnya ilmu ini (Hadis) adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu." Pernyataan ini menegaskan betapa krusialnya sanad dalam menjaga kemurnian Hadis.
Dalam mengidentifikasi Hadis Marfu', ulama Hadis akan meneliti sanad dari berbagai sisi:
Ulama memastikan bahwa setiap perawi dalam rantai sanad benar-benar mendengar Hadis dari perawi sebelumnya dan tidak ada perawi yang terputus atau hilang. Jenis-jenis Hadis yang sanadnya terputus (seperti mursal, munqathi', mu'allaq, mudallal) akan diteliti lebih lanjut. Meskipun Hadis yang sanadnya terputus masih bisa digolongkan Marfu' jika disandarkan kepada Nabi secara substansi (misalnya mursal Sahabat), namun kekuatan kehujahannya akan berkurang dibandingkan Marfu' dengan sanad yang muttashil.
Setiap perawi dalam sanad haruslah seorang yang adil, yaitu memiliki sifat takwa, menjauhi dosa-dosa besar, tidak terus-menerus melakukan dosa kecil, dan memiliki muru'ah (martabat diri). Ini memastikan bahwa perawi tersebut tidak akan sengaja berdusta atau memalsukan Hadis.
Perawi juga harus dhabit, artinya memiliki ingatan yang kuat dan teliti dalam meriwayatkan Hadis, baik melalui hafalan maupun catatan. Mereka harus mampu menjaga teks Hadis dari kekeliruan atau perubahan. Muhaddisin akan memeriksa riwayat seorang perawi dari berbagai jalur untuk memastikan konsistensinya.
Ulama Hadis sangat cermat dalam mengenali lafaz-lafaz yang digunakan perawi untuk menyandarkan Hadis. Lafaz-lafaz seperti "Qala Rasulullah ﷺ" (Rasulullah bersabda), "Sami'tu Rasulullah ﷺ" (Saya mendengar Rasulullah), atau "Ra'aitu Rasulullah ﷺ" (Saya melihat Rasulullah) adalah indikator jelas dari Hadis Marfu' Sarih. Sementara itu, lafaz "Kunna naf'alu 'ala 'ahdi Rasulillah ﷺ" (Kami biasa melakukan di zaman Rasulullah) atau "Umrina bi kadza" (Kami diperintahkan begini) adalah indikator Marfu' Hukmi.
Matan adalah teks atau isi sebenarnya dari Hadis. Setelah memastikan sanadnya kuat, ulama Hadis akan beralih menganalisis matan untuk memastikan tidak ada kejanggalan atau cacat tersembunyi. Dua aspek utama dalam kajian matan adalah:
Hadis tidak boleh syadz, yaitu tidak boleh menyalahi riwayat yang lebih kuat atau lebih banyak dari perawi yang terpercaya. Jika sebuah Hadis Marfu' yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah (terpercaya) bertentangan dengan Hadis Marfu' lain yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih banyak atau lebih kuat, maka Hadis yang syadz akan dianggap dha'if.
'Illat adalah cacat tersembunyi dalam Hadis, baik pada sanad maupun matan, yang meskipun Hadis tersebut secara lahiriah tampak sahih, namun setelah diteliti secara mendalam ditemukan kelemahan. Contoh 'illat bisa berupa perawi yang salah menyambungkan sanad, salah mengidentifikasi perawi, atau salah dalam redaksi matan meskipun perawi tersebut terpercaya. Mendeteksi 'illat adalah salah satu keahlian tertinggi para kritikus Hadis.
Matan Hadis Marfu' juga akan dibandingkan dengan Al-Qur'an dan Hadis-Hadis Marfu' lainnya yang telah terbukti sahih. Jika ada Hadis Marfu' yang isinya bertentangan secara mutlak dengan Al-Qur'an atau Hadis Marfu' Mutawatir/Shahih yang tidak mungkin dikompromikan, maka Hadis tersebut akan dipertanyakan keasliannya sebagai Marfu' Nabi.
Ilmu Jarh wa Ta'dil (kritik dan pujian terhadap perawi) adalah instrumen utama para muhaddisin dalam menilai kualitas Hadis Marfu'. Melalui ilmu ini, para ulama mempelajari biografi, reputasi, keadilan, dan kedhabitan ribuan perawi Hadis. Mereka mengumpulkan informasi tentang tanggal lahir dan wafat perawi, guru-guru mereka, murid-murid mereka, perjalanan ilmiah mereka, serta penilaian ulama lain terhadap mereka.
Seorang muhaddis yang ahli mampu menentukan:
Tanpa kerja keras dan metodologi yang canggih dari para muhaddisin seperti Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah, dan banyak lagi, otentisitas Hadis Marfu' dan Hadis lainnya tidak akan terjaga. Merekalah yang menyaring ribuan bahkan jutaan riwayat untuk memastikan hanya yang paling shahih dan autentik yang diterima sebagai bagian dari Sunah Nabi ﷺ.
Beberapa istilah penting yang sering digunakan dalam konteks Hadis Marfu':
Keseluruhan metodologi ini menunjukkan betapa komprehensif dan ilmiahnya ilmu Hadis dalam menjaga kemurnian ajaran Islam. Hadis Marfu', sebagai inti dari Sunah Nabi, menjadi fokus utama dalam upaya verifikasi ini, memastikan umat Muslim memiliki pedoman yang autentik dan dapat diandalkan.
Setelah memahami definisi, jenis, dan metodologi identifikasi Hadis Marfu', akan lebih jelas jika kita melihat beberapa contoh konkret dari Hadis Marfu' Sarih dan Marfu' Hukmi. Contoh-contoh ini akan membantu mengilustrasikan bagaimana lafaz dan substansi Hadis berperan dalam klasifikasinya.
Hadis Marfu' Sarih adalah yang secara eksplisit menyebutkan bahwa perkataan, perbuatan, persetujuan, atau sifat berasal langsung dari Nabi Muhammad ﷺ. Berikut adalah contoh-contohnya:
Hadis Niat:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى..."
Artinya: "Dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, ia berkata: 'Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: 'Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya...'" (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan: Lafaz "سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ" (Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda) adalah indikator yang sangat jelas bahwa Hadis ini adalah Marfu' Sarih Qaul. Umar bin Khattab, seorang Sahabat, secara langsung mengaitkan perkataan ini dengan Nabi ﷺ.
Hadis Cara Shalat Nabi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: دَخَلَ رَجُلٌ الْمَسْجِدَ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ". فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ. فَقَالَ: "ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ" ثَلَاثًا. فَقَالَ الرَّجُلُ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي. فَقَالَ: "إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا."
Artinya: "Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: 'Seorang laki-laki masuk masjid, lalu shalat, kemudian datang dan memberi salam kepada Nabi ﷺ. Nabi bersabda: 'Kembalilah, shalatlah lagi, karena engkau belum shalat.' Orang itu kembali dan shalat, kemudian datang lagi dan memberi salam. Nabi bersabda: 'Kembalilah, shalatlah lagi, karena engkau belum shalat,' sampai tiga kali. Lalu orang itu berkata: 'Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa shalat selain itu, maka ajarilah aku.' Nabi bersabda: 'Jika engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur'an, kemudian rukuklah hingga engkau tenang dalam rukuk, kemudian bangkitlah hingga engkau tegak berdiri, kemudian sujudlah hingga engkau tenang dalam sujud, kemudian bangkitlah hingga engkau tenang dalam duduk, kemudian sujudlah hingga engkau tenang dalam sujud, kemudian lakukanlah itu dalam seluruh shalatmu.'" (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan: Meskipun Hadis ini lebih banyak berisi perkataan Nabi yang mengajari cara shalat (Qaul), namun konteks "sebagaimana kalian melihat aku shalat" pada riwayat serupa dari Malik bin Huwairits atau tindakan Nabi ﷺ yang mengoreksi dan mengajari secara praktis, seringkali digabungkan dengan aspek Fi'l beliau. Dalam Hadis ini, perintah "lakukanlah itu dalam seluruh shalatmu" merujuk pada tata cara yang secara implisit adalah perbuatan Nabi sendiri yang beliau contohkan. Oleh karena itu, Hadis yang mengajarkan tata cara shalat ini secara substansi adalah Marfu' Sarih Fi'l karena ia menjelaskan bagaimana Nabi ﷺ melakukan shalat.
Hadis Makan Dhab (Kadal Padang Pasir):
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ: "أُكِلَ الضَّبُّ عَلَى مَائِدَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يُحَرِّمْهُ وَلَمْ يَمْنَعْهُ."
Artinya: "Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: 'Kadal padang pasir (dhab) dimakan di hidangan Rasulullah ﷺ, dan beliau tidak mengharamkannya serta tidak melarangnya.'" (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan: Perbuatan makan dhab dilakukan di hadapan Nabi ﷺ, dan beliau tidak melarangnya atau mengharamkannya. Diamnya Nabi ﷺ dalam hal ini dianggap sebagai persetujuan, yang secara hukum menunjukkan kebolehan. Ini adalah Marfu' Sarih Taqrir.
Hadis Sifat Fisik Nabi:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُمْ خُلُقًا."
Artinya: "Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata: 'Rasulullah ﷺ adalah manusia yang paling baik wajahnya dan paling baik akhlaknya.'" (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan: Lafaz "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ" (Rasulullah ﷺ adalah...) diikuti dengan deskripsi sifat fisik dan akhlak beliau, menunjukkan bahwa ini adalah Hadis Marfu' Sarih Sifah.
Hadis Marfu' Hukmi adalah Hadis yang secara redaksi berhenti pada Sahabat, tetapi substansinya tidak mungkin berasal dari ijtihad pribadi Sahabat, melainkan pasti dari Nabi ﷺ. Berikut adalah beberapa contoh umum:
Hadis tentang Kejadian Akhir Zaman:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: "إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قِيلَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ."
Artinya: "Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: 'Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah datangnya Kiamat.' Ditanyakan: 'Bagaimana menyia-nyiakan amanah itu, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab: 'Apabila urusan diserahkan kepada selain ahlinya, maka tunggulah datangnya Kiamat.'" (HR. Bukhari)
Penjelasan: Meskipun pertanyaan "wahai Rasulullah" muncul di tengah riwayat, ini adalah Hadis Marfu' Sarih. Namun, jika bagian awal Hadis ("Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah datangnya Kiamat") diriwayatkan oleh Sahabat tanpa menyebutkan "Nabi bersabda" dan tanpa pertanyaan tersebut, ia akan dihukumi Marfu' Hukmi. Informasi tentang tanda-tanda Kiamat adalah hal ghaib yang tidak mungkin Abu Hurairah mengetahuinya dari akal atau ijtihadnya sendiri.
Hadis Perintah Membersihkan Diri:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: "كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ."
Artinya: "Dari Ummu 'Athiyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: 'Kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita haid dan wanita pingitan pada hari raya.'" (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan: Lafaz "كُنَّا نُؤْمَرُ" (Kami diperintahkan) meskipun tidak menyebut siapa yang memerintah, secara syariat yang berhak memerintah dalam agama adalah Allah atau Rasul-Nya. Oleh karena itu, perintah ini secara hukum disandarkan kepada Nabi ﷺ, menjadikannya Marfu' Hukmi.
Hadis Tentang Khutbah Idul Fitri:
عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ: "مِنَ السُّنَّةِ أَنْ تَخْطُبَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فِي الْعِيدَيْنِ."
Artinya: "Dari Az-Zuhri (seorang Tabi'in) ia berkata: 'Termasuk sunah adalah berkhutbah sebelum shalat pada dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).'" (HR. Tirmidzi, secara mursal dari Az-Zuhri)
Penjelasan: Meskipun Az-Zuhri adalah seorang Tabi'in dan riwayat ini adalah Mursal (sanadnya terputus karena Az-Zuhri tidak bertemu Nabi), lafaz "مِنَ السُّنَّةِ" (Termasuk sunah adalah) jika diucapkan oleh seorang Sahabat atau Tabi'in (terutama ketika dia seorang fakih) tanpa menyebutkan Nabi, dihukumi sebagai Marfu' Hukmi. Ini karena kata "sunah" dalam konteks syar'i merujuk kepada praktik Nabi ﷺ, dan seorang Sahabat tidak akan mengatakannya kecuali ia mengetahuinya dari Nabi. Namun, dalam kasus Az-Zuhri yang Tabi'in, tetap diperdebatkan apakah ia benar-benar Marfu' Hukmi atau Maqtu' yang mengandung hukum Sunah.
Melalui contoh-contoh ini, dapat dilihat bahwa identifikasi Hadis Marfu' membutuhkan tidak hanya pengenalan lafaz tetapi juga pemahaman mendalam tentang konteks, tradisi kenabian, dan otoritas para perawi.
Memahami Hadis Marfu' adalah suatu keniscayaan dan memiliki signifikansi yang luar biasa bagi setiap Muslim yang ingin menjalankan agamanya dengan benar dan sesuai tuntunan. Kedudukannya yang langsung bersumber dari Nabi Muhammad ﷺ menjadikannya landasan fundamental dalam berbagai aspek kehidupan spiritual, hukum, dan moral umat Islam.
Hadis Marfu' merupakan penjelas dan pelengkap Al-Qur'an. Banyak ayat Al-Qur'an yang bersifat umum (mujmal) atau mutlak, dan Hadis Marfu' lah yang datang untuk memperinci (tafshil), membatasi (taqyid), atau menjelaskan (tabyin) makna-makna tersebut. Tanpa Hadis Marfu', umat Islam akan kesulitan memahami bagaimana mengaplikasikan ajaran Al-Qur'an. Misalnya, Al-Qur'an memerintahkan shalat, namun Hadis Marfu' yang mengajarkan tata cara, rukun, dan syarat-syarat shalat. Oleh karena itu, Hadis Marfu' adalah pilar utama kedua dalam legislasi Islam.
Setiap detail dalam syariat, mulai dari ibadah (tata cara wudhu, shalat, puasa, haji), muamalat (hukum jual beli, riba, warisan), hingga jinayat (hukum pidana), banyak yang dijelaskan secara rinci melalui Hadis Marfu'. Tanpa Hadis Marfu', praktik syariat akan menjadi sangat terbatas dan tidak jelas. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an dan Sunah (yang mayoritasnya adalah Hadis Marfu') adalah dua sumber yang tidak dapat dipisahkan.
Banyak Hadis Marfu' yang secara langsung mencontohkan atau memerintahkan akhlak mulia, seperti jujur, amanah, pemaaf, penyayang, tawadhu, sabar, dan lain-lain. Nabi Muhammad ﷺ sendiri adalah teladan sempurna dalam akhlak. Hadis Marfu' tentang sifat-sifat Nabi (Marfu' Sarih Sifah) memberikan gambaran utuh tentang kepribadian yang ideal bagi seorang Muslim. Dengan memahami Hadis Marfu' tentang akhlak, seorang Muslim dapat berusaha meneladani Nabi ﷺ dalam setiap perbuatannya, sehingga menjadi pribadi yang berakhlak Qur'ani.
Dengan memahami Hadis Marfu' yang autentik, umat Muslim dapat membedakan antara ajaran Islam yang murni dengan praktik-praktik yang tidak memiliki dasar syar'i (bid'ah) atau bahkan bertentangan. Pengetahuan ini menjadi benteng bagi umat dari berbagai bentuk penyimpangan dan penafsiran keliru yang bisa muncul. Mengikuti Hadis Marfu' berarti mengikuti jalan yang telah digariskan oleh Nabi ﷺ, menjauhkan diri dari hal-hal baru dalam agama yang tidak beliau ajarkan.
Ilmu Hadis, dan khususnya pemahaman tentang Hadis Marfu', adalah bagian integral dari upaya melestarikan ajaran Nabi Muhammad ﷺ. Para ulama muhaddisin telah berjuang keras untuk mengumpulkan, menyeleksi, dan mengklasifikasikan Hadis agar hanya yang autentik yang sampai kepada kita. Mempelajari Hadis Marfu' berarti menghargai jerih payah mereka dan ikut serta dalam menjaga kemurnian sumber agama dari pemalsuan atau kekeliruan. Ini adalah bentuk ibadah dan komitmen terhadap agama Islam.
Pemahaman yang mendalam tentang Hadis Marfu' memungkinkan seorang Muslim untuk membangun pribadi yang komprehensif, tidak hanya dalam aspek ritual ibadah, tetapi juga dalam etika bermasyarakat, interaksi sosial, ekonomi, politik, dan semua dimensi kehidupan. Hadis Marfu' memberikan arahan yang jelas untuk menjadi Muslim yang saleh secara individu dan juga bermanfaat bagi masyarakat.
Singkatnya, Hadis Marfu' adalah jembatan yang menghubungkan kita langsung dengan Nabi Muhammad ﷺ, sumber kebijaksanaan dan bimbingan ilahi setelah Al-Qur'an. Mengabaikannya berarti kehilangan sebagian besar petunjuk praktis dalam menjalani kehidupan sebagai seorang Muslim. Oleh karena itu, mendalami dan memahami Hadis Marfu' adalah kewajiban sekaligus kehormatan bagi setiap umat Nabi Muhammad ﷺ.
Perjalanan kita dalam memahami Hadis Marfu' telah mengungkapkan betapa sentralnya kedudukan Hadis ini dalam struktur ajaran Islam. Hadis Marfu' adalah inti dari Sunah Nabawiyah, yaitu segala sesuatu yang disandarkan langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ, baik perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat-sifat beliau. Klasifikasinya menjadi Marfu' Sarih (yang jelas-jelas disebut berasal dari Nabi) dan Marfu' Hukmi (yang secara substansi dihukumi berasal dari Nabi meskipun lafaznya Mauquf), menunjukkan kedalaman metodologi para ulama Hadis dalam meneliti dan memverifikasi sumber-sumber ajaran agama.
Kedudukan Hadis Marfu' sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an tidak dapat digantikan. Ia adalah penjelas, perinci, dan aplikator praktis dari prinsip-prinsip universal yang terkandung dalam Kitabullah. Kehujahannya, terutama jika sanadnya shahih atau hasan, bersifat mengikat dan wajib diamalkan oleh seluruh umat Muslim. Perbandingannya dengan Hadis Mauquf (dari Sahabat) dan Hadis Maqtu' (dari Tabi'in) semakin menegaskan otoritas dan keutamaan Hadis Marfu' yang secara langsung membawa kita pada bimbingan kenabian.
Metodologi yang ketat dalam ilmu Hadis, melalui kajian sanad dan matan, serta peran krusial para kritikus Hadis (muhaddisin), telah memastikan bahwa Hadis Marfu' yang sampai kepada kita adalah Hadis yang paling autentik dan terverifikasi. Upaya gigih mereka telah menjaga kemurnian ajaran Islam dari berbagai bentuk distorsi dan pemalsuan.
Bagi umat Muslim, pemahaman Hadis Marfu' adalah kunci untuk menjalankan agama secara komprehensif, menghindari kesalahpahaman, meneladani akhlak Nabi ﷺ, serta menjaga dan melestarikan warisan kenabian yang sangat berharga ini. Hadis Marfu' bukan sekadar narasi sejarah, melainkan petunjuk hidup yang abadi, membimbing kita di setiap langkah dan keputusan.
Maka, mari kita tingkatkan semangat untuk senantiasa mendalami ilmu Hadis, khususnya Hadis Marfu', agar kita dapat menjalani hidup ini sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan Sunah Nabi Muhammad ﷺ. Dengan demikian, kita berharap dapat meraih keberkahan di dunia dan kebahagiaan abadi di akhirat kelak.