Di dalam sistem biologis manusia yang luar biasa kompleks, terdapat sebuah jaringan komunikasi kimiawi yang mengatur hampir setiap fungsi tubuh, mulai dari tidur hingga detak jantung. Salah satu pemain kunci dalam orkestra internal ini, yang sering kali mendominasi keputusan kita sehari-hari, adalah hormon grelin. Dijuluki sebagai 'hormon lapar', grelin memegang peranan krusial dalam sinyal energi, tidak hanya memicu keinginan untuk makan, tetapi juga memengaruhi metabolisme, penyimpanan lemak, bahkan suasana hati dan fungsi kognitif kita.
Pemahaman mendalam tentang grelin adalah kunci untuk menguraikan misteri di balik nafsu makan yang tidak terkontrol, perjuangan melawan obesitas, dan upaya untuk mencapai keseimbangan energi yang berkelanjutan. Artikel ini akan menjelajahi grelin secara rinci, dari struktur biokimiawi hingga implikasi klinisnya, serta bagaimana kita dapat belajar mengelola hormon ini untuk mendukung kesehatan optimal.
Ditemukan pada tahun 1999 oleh para peneliti Jepang, grelin (nama yang berasal dari akronim "Growth Hormone Release-inducing") adalah peptida yang terdiri dari 28 asam amino. Meskipun ukurannya relatif kecil, dampaknya pada tubuh sangat besar, terutama karena dua ciri unik:
Tidak seperti banyak hormon lain yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin spesifik, sumber utama grelin—sekitar 90% dari total sirkulasi—berasal dari sel-sel X/A-like (juga dikenal sebagai sel P/D1) yang melapisi fundus lambung. Grelin berfungsi sebagai hormon lambung-usus (gastrointestinal) yang bertindak sebagai sinyal utama dari saluran pencernaan ke otak.
Grelin memiliki dua bentuk utama yang bersirkulasi dalam darah: asil-grelin (bentuk aktif) dan des-asil-grelin (bentuk non-aktif atau kurang aktif). Aktivasi grelin memerlukan proses kimia yang disebut asilasi, di mana gugus asam oktanoat ditambahkan ke molekul. Proses kritis ini dikatalisis oleh enzim khusus, Grelin O-Acyltransferase (GOAT). Hanya bentuk asil-grelin yang dapat melintasi sawar darah otak dan berikatan dengan reseptor target di hipotalamus, menjalankan fungsi pemicu laparnya.
Fig 1: Grelin diproduksi oleh lambung sebagai sinyal utama yang dikirim ke otak, menandakan kebutuhan energi.
Peran grelin sebagai stimulator nafsu makan bukan sekadar sensasi kosong di perut; itu adalah sinyal neuroendokrin yang canggih yang memengaruhi pusat kontrol utama di sistem saraf pusat (SSP).
Target utama grelin adalah reseptor spesifik yang disebut Reseptor Sekretagog Hormon Pertumbuhan (GHSR-1a). Reseptor ini paling banyak ditemukan di hipotalamus, area otak yang bertanggung jawab atas homeostasis energi, suhu tubuh, dan hormon lainnya. GHSR-1a adalah reseptor G-protein-coupled (GPCR) yang sangat aktif; reseptor ini menunjukkan aktivitas konstitutif, artinya ia mengirimkan sinyal bahkan tanpa adanya ligan (grelin) – sebuah fitur unik yang menunjukkan betapa pentingnya jalur ini.
Di hipotalamus, grelin beraksi terutama pada Nukleus Arkuata (ARC). Grelin mengaktifkan neuron oreksigenik (peningkat nafsu makan) yang mengekspresikan Neuropeptida Y (NPY) dan Peptida Agouti-Related (AgRP). Aktivasi neuron NPY/AgRP ini adalah inti dari sensasi lapar. Ketika grelin meningkat sebelum makan, sinyal NPY/AgRP dikirim ke wilayah otak lain, seperti nukleus paraventrikular (PVN) dan hipotalamus lateral (LH), secara efektif memerintahkan tubuh untuk mencari dan mengonsumsi makanan.
Pada saat yang sama, grelin menekan aktivitas neuron anoreksigenik (penekan nafsu makan) yang mengekspresikan Pro-opiomelanocortin (POMC) dan Transkrip yang Terekulasi Kokain dan Amfetamin (CART). Penekanan jalur POMC ini memastikan bahwa sinyal rasa kenyang tidak mengganggu sinyal lapar yang dominan dari grelin.
Siklus grelin sangat ritmis dan berfungsi sebagai jam internal yang mengatur waktu makan. Kadar grelin tidaklah statis; ia berubah drastis sepanjang hari, terkait erat dengan status nutrisi dan antisipasi makanan.
Salah satu ciri paling khas dari grelin adalah lonjakan tajam kadarnya di dalam darah yang terjadi sekitar 30 hingga 60 menit sebelum waktu makan yang diharapkan. Lonjakan ini tidak hanya terjadi karena perut kosong—tetapi juga merupakan respons yang dikondisikan. Jika seseorang terbiasa makan siang pada pukul 12:00, grelin akan mulai meningkat menjelang jam tersebut, bahkan jika asupan kalori pagi harinya tidak berubah. Ini menunjukkan peran kuat SSP dan belajar kebiasaan dalam regulasi grelin.
Segera setelah makanan dikonsumsi (terutama makanan yang mengandung karbohidrat dan protein), kadar grelin akan anjlok tajam. Penurunan ini adalah sinyal utama rasa kenyang (satiety) yang dikirim kembali ke otak. Semakin besar dan padat nutrisi makanan yang dikonsumsi, semakin kuat dan lama penekanan grelin ini berlangsung. Kegagalan mencapai penekanan grelin pasca-makan yang memadai sering dikaitkan dengan rasa lapar yang cepat muncul kembali, menyebabkan kebiasaan ngemil berlebihan.
Selain perannya di otak, grelin juga bertindak lokal pada saluran pencernaan. Grelin mempercepat laju pengosongan lambung dan merangsang motilitas usus, memastikan bahwa perut siap menerima asupan makanan berikutnya. Fungsi ini penting, terutama pada pasien dengan kondisi seperti gastroparesis, di mana grelin dapat digunakan sebagai agen terapi untuk meningkatkan pergerakan makanan melalui saluran cerna.
Grelin tidak bekerja sendiri. Ia adalah bagian dari sistem regulasi energi yang kompleks, berinteraksi dengan banyak hormon lain untuk mencapai homeostasis (keseimbangan) yang sempurna. Hubungan yang paling mendasar adalah kontrasnya dengan leptin.
Leptin, yang diproduksi oleh sel-sel lemak (adiposit), adalah hormon kenyang (satiety hormone). Leptin memberikan sinyal tentang cadangan energi jangka panjang (seberapa banyak lemak yang tersimpan), sementara grelin memberikan sinyal tentang kebutuhan energi jangka pendek (apakah kita perlu makan sekarang). Mereka beroperasi dalam suatu sumbu timbal balik:
Keseimbangan antara keduanya sangat penting. Gangguan pada sinyal salah satu hormon—seperti resistensi leptin atau disregulasi grelin—sering menjadi penyebab utama disfungsi berat badan.
Fig 2: Grelin (sinyal lapar) dan Leptin (sinyal kenyang) harus berada dalam keseimbangan yang harmonis untuk mengatur berat badan secara efektif.
Saluran pencernaan melepaskan banyak peptida kenyang sebagai respons terhadap makanan. Grelin harus "bertarung" melawan sinyal-sinyal ini setelah makan:
Interaksi inilah yang menentukan seberapa puas kita merasa setelah makan dan berapa lama jeda waktu yang dibutuhkan hingga grelin kembali melonjak.
Insulin adalah hormon penyimpanan yang dilepaskan oleh pankreas sebagai respons terhadap glukosa darah. Kadar insulin yang tinggi biasanya dikaitkan dengan penekanan grelin. Ketika kita makan karbohidrat yang menghasilkan lonjakan insulin, grelin ditekan. Namun, pada individu dengan resistensi insulin atau diabetes Tipe 2, mekanisme penekanan ini mungkin terganggu, berkontribusi pada kesulitan mengontrol nafsu makan.
Meskipun terkenal sebagai hormon lapar, penelitian telah mengungkap bahwa grelin memiliki jangkauan fungsional yang jauh lebih luas, memengaruhi sistem endokrin, kardiovaskular, dan neurologis.
Nama asli grelin, GHRL (Growth Hormone Releasing Ligand), menunjukkan fungsi ini. Grelin adalah sekretagog GH endogen terkuat. Ia menstimulasi pelepasan GH dari kelenjar pituitari anterior. Fungsi ini penting untuk pertumbuhan, perbaikan jaringan, dan homeostasis glukosa. Dalam konteks klinis, analog grelin telah diselidiki sebagai terapi untuk kondisi kekurangan GH.
Reseptor GHSR-1a juga ditemukan di wilayah otak yang terlibat dalam pembelajaran, memori, dan fungsi kognitif, khususnya di hipokampus. Grelin telah terbukti meningkatkan neurogenesis (pembentukan neuron baru) dan sinaptogenesis. Penelitian menunjukkan bahwa grelin mungkin memiliki efek neuroprotektif, berpotensi melindungi neuron dari kerusakan iskemik. Hal ini mengimplikasikan bahwa rasa lapar yang moderat—di mana grelin memuncak—mungkin sebenarnya mempertajam fungsi kognitif, sebuah mekanisme evolusioner yang memastikan organisme berburu secara efisien saat kekurangan makanan.
Grelin memiliki efek vasodilatasi (melebarkan pembuluh darah), yang dapat membantu menurunkan tekanan darah. Selain itu, grelin menunjukkan efek anti-inflamasi dan kardioprotektif. Reseptor grelin ditemukan di jaringan jantung dan tampaknya memainkan peran dalam mempertahankan fungsi jantung, terutama setelah cedera iskemik atau pada pasien dengan gagal jantung kronis.
Ketika regulasi grelin terganggu, konsekuensinya dapat signifikan, mulai dari gangguan makan hingga sindrom genetik yang langka. Memahami disregulasi grelin penting untuk pengembangan intervensi terapeutik.
Secara intuitif, kita mungkin berharap bahwa individu dengan obesitas memiliki kadar grelin yang sangat tinggi. Namun, yang mengejutkan, banyak penelitian menunjukkan bahwa kadar grelin puasa total pada individu yang obesitas sering kali lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan berat badan normal. Ini adalah paradoks grelin.
Berlawanan dengan obesitas, individu yang sangat kurus atau menderita Anoreksia Nervosa (AN) menunjukkan kadar grelin puasa yang sangat tinggi. Ini adalah respons homeostatis yang logis: tubuh mencoba mati-matian untuk memicu makan dalam upaya mengatasi kekurangan energi yang parah. Sayangnya, pada AN, sinyal lapar ini diabaikan karena faktor psikologis dan perilaku. Kadar grelin yang sangat tinggi ini juga berkorelasi dengan peningkatan kadar kortisol (hormon stres), menunjukkan hubungan antara status energi rendah dan tekanan fisiologis kronis.
PWS adalah kondisi genetik langka yang ditandai dengan hiperfagia (nafsu makan yang tak terpuaskan) dan obesitas morbid yang parah. Individu dengan PWS memiliki kadar grelin puasa yang sangat tinggi—jauh lebih tinggi daripada yang diamati pada kasus obesitas non-PWS atau anoreksia. Disregulasi grelin pada PWS dianggap sebagai faktor utama pendorong nafsu makan ekstrem ini, menjadikannya model klinis kunci untuk mempelajari efek oreksigenik grelin.
Salah satu alasan utama keberhasilan operasi penurunan berat badan, seperti Gastric Bypass (Roux-en-Y), adalah perubahannya yang dramatis pada regulasi hormon usus, khususnya grelin. Ketika lambung bagian atas (fundus) tempat produksi grelin paling intens dihapus atau dialihkan, kadar grelin puasa seringkali menurun hingga 70-80% pasca-operasi. Penurunan signifikan sinyal lapar ini memainkan peran besar dalam peningkatan rasa kenyang dan penurunan berat badan yang berkelanjutan pada pasien bariatrik.
Mengingat grelin sangat reaktif terhadap sinyal lingkungan dan perilaku, gaya hidup sehari-hari kita memiliki dampak besar terhadap naik turunnya hormon lapar ini. Mengelola grelin tanpa obat-obatan dapat dilakukan melalui intervensi perilaku yang tepat.
Tidur adalah pengatur endokrin yang kuat. Kurang tidur kronis (biasanya kurang dari 7 jam) telah terbukti mengganggu sumbu grelin-leptin. Ketika seseorang kurang tidur:
Kombinasi ini menciptakan kondisi biologis yang sempurna untuk makan berlebihan, terutama makanan tinggi karbohidrat dan kalori, yang membantu menjelaskan mengapa kurang tidur secara konsisten dikaitkan dengan peningkatan risiko obesitas.
Tidak semua makanan menekan grelin dengan cara yang sama. Komposisi makronutrien sangat menentukan kekuatan dan durasi penekanan pasca-makan:
Protein adalah makronutrien yang paling efektif dalam menekan grelin dan memicu rasa kenyang. Asupan protein tinggi menghasilkan penekanan grelin yang lebih kuat dan lebih lama dibandingkan dengan lemak atau karbohidrat. Hal ini disebabkan oleh pelepasan hormon kenyang seperti PYY dan CCK yang dipercepat oleh protein.
Karbohidrat sederhana (gula) menekan grelin dengan cepat tetapi efeknya berumur pendek, yang dapat menyebabkan rasa lapar kembali segera. Sebaliknya, karbohidrat kompleks yang kaya serat (seperti biji-bijian utuh, sayuran, dan polong-polongan) memperlambat penyerapan dan memperpanjang penekanan grelin. Serat juga berkontribusi pada peregangan lambung, sinyal mekanis yang ikut menekan grelin.
Lemak memiliki efek yang beragam. Meskipun lemak tinggi kalori, ia menekan grelin, tetapi tidak sekuat protein. Lemak lebih efektif dalam memicu pelepasan CCK, memberikan rasa kenyang. Namun, diet tinggi lemak ultra-olahan dapat mengganggu sensitivitas sinyal hormonal secara keseluruhan.
Hubungan antara olahraga dan grelin rumit dan bergantung pada jenis, intensitas, serta durasi latihan.
Stres kronis yang memicu pelepasan kortisol (hormon stres) dapat mengganggu sinyal lapar. Beberapa studi menunjukkan bahwa stres psikologis dapat meningkatkan kadar grelin, terutama pada individu yang cenderung "makan emosional" (emotional eating). Stres memicu respons tubuh yang mempersiapkan diri untuk "perjuangan atau pelarian," yang secara paradoks dapat meningkatkan kebutuhan energi melalui sinyal grelin.
Mengontrol grelin telah menjadi tujuan utama dalam penelitian farmakologis dan dietetik untuk mengatasi epidemi obesitas dan gangguan metabolisme. Pendekatan saat ini berfokus pada dua area utama: strategi diet dan pengembangan farmakologis.
Mengelola grelin berfokus pada memaksimalkan penekanan pasca-makan dan membatasi lonjakan pra-prandial yang berlebihan.
Karena peran sentral grelin dalam lapar, pengembangan obat yang menargetkan hormon ini sangat menjanjikan. Ada tiga strategi farmakologis utama yang sedang dikembangkan:
Obat-obatan yang memblokir reseptor grelin di hipotalamus akan secara efektif mematikan sinyal lapar. Antagonis ini menunjukkan potensi untuk mengurangi asupan makanan dan meningkatkan pengeluaran energi pada model hewan. Namun, tantangannya adalah memastikan obat tersebut tidak memengaruhi fungsi penting lain yang diatur oleh grelin (seperti pelepasan GH atau neuroproteksi).
Menargetkan enzim Grelin O-Acyltransferase (GOAT) akan mencegah konversi grelin dari bentuk non-aktif (des-asil-grelin) menjadi bentuk aktif (asil-grelin). Dengan membatasi jumlah grelin aktif, sinyal lapar ke otak akan melemah tanpa harus sepenuhnya menghilangkan grelin dari sistem.
Strategi tidak langsung adalah menggunakan analog hormon usus yang bertindak melawan grelin, seperti analog GLP-1 (contohnya obat-obatan yang digunakan untuk diabetes dan obesitas). Hormon-hormon ini memperkuat sinyal kenyang dan secara bersamaan membantu menekan grelin.
Grelin tidak hanya membuat kita lapar; ia juga membuat kita menginginkan makanan tertentu—khususnya makanan yang padat energi dan menyenangkan (comfort food).
Grelin berinteraksi erat dengan sistem dopaminergik, yang merupakan jalur *reward* dan motivasi di otak. Ketika grelin meningkat, ia tidak hanya meningkatkan keinginan untuk makan tetapi juga meningkatkan motivasi untuk mencari makanan yang dinilai sangat "menggiurkan" atau adiktif (biasanya tinggi gula, lemak, dan garam). Penelitian menunjukkan bahwa grelin dapat meningkatkan pelepasan dopamin di Nukleus Akumbens, bagian otak yang terkait dengan kesenangan. Ini menjelaskan mengapa rasa lapar yang intens sering kali menyebabkan kita mengabaikan pilihan makanan sehat demi camilan yang paling memuaskan secara instan.
Keterlibatan grelin dalam jalur *reward* meluas hingga ke perilaku adiktif di luar makanan. Grelin telah dipelajari dalam konteks kecanduan alkohol, nikotin, dan obat-obatan. Tampaknya, grelin dapat memperkuat sinyal keinginan (craving) yang didorong oleh dopamin, menunjukkan peran umum grelin dalam motivasi untuk mendapatkan *reward* yang menyenangkan, baik itu makanan atau zat adiktif lainnya.
Meskipun kita telah belajar banyak sejak penemuan grelin, masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, terutama terkait perbedaan respons antar individu.
Kepekaan atau disregulasi grelin mungkin dipengaruhi oleh varian genetik. Polimorfisme pada gen GHSR-1a telah diidentifikasi dan dikaitkan dengan peningkatan risiko obesitas dan sindrom metabolik. Memahami bagaimana genetika memengaruhi respons individu terhadap grelin akan memungkinkan terapi diet dan farmakologis yang lebih personal di masa depan.
Selain obesitas, penelitian terus mendalami peran grelin dalam penyakit kronis lainnya, termasuk diabetes, sindrom iritasi usus besar (IBS), dan bahkan penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer. Jika grelin benar-benar memiliki efek neuroprotektif, memanipulasi kadar grelin aktif dapat menjadi strategi untuk meningkatkan kesehatan otak seiring bertambahnya usia.
Kadar grelin diketahui berubah secara signifikan selama kehamilan, memainkan peran dalam meningkatkan asupan makanan ibu untuk mendukung pertumbuhan janin. Penelitian di bidang ini penting untuk memahami bagaimana regulasi energi diatur pada tahap perkembangan yang kritis ini dan potensi dampaknya pada kesehatan metabolik keturunan.
Memahami grelin bukan hanya tentang biologi; ini adalah alat praktis untuk membuat keputusan yang lebih baik tentang kesehatan dan pola makan. Kita harus melihat grelin bukan sebagai musuh, tetapi sebagai alarm internal yang terkadang perlu disetel ulang.
Sinyal lapar yang intens (lonjakan grelin) adalah normal. Masalah muncul ketika kita menekan grelin dengan cepat menggunakan makanan tinggi gula yang hanya menghasilkan penekanan singkat, atau ketika kita mengabaikannya sampai kita mencapai tingkat kelaparan ekstrem (yang sering berujung pada makan berlebihan yang tidak terkontrol).
Karena grelin sangat sensitif terhadap ritme dan kebiasaan, menciptakan lingkungan yang mendukung regulasi hormonal adalah esensial:
Secara keseluruhan, grelin adalah jembatan kimiawi antara perut dan otak, sebuah sinyal kuno yang berevolusi untuk memastikan kelangsungan hidup kita di masa kelangkaan. Di dunia modern yang penuh dengan makanan berlimpah, tugas kita bukanlah memadamkan grelin, tetapi belajar untuk mendengarkan, menghormati, dan mengaturnya melalui pilihan gaya hidup yang sadar dan konsisten. Dengan menguasai hormon lapar ini, kita dapat membuka potensi penuh tubuh kita untuk mencapai dan mempertahankan keseimbangan metabolik yang sejati.
Regulasi grelin yang sehat adalah cerminan dari sistem endokrin yang berfungsi dengan baik. Ia adalah pengingat bahwa rasa lapar dan kenyang tidak hanya didasarkan pada kemauan, tetapi pada biologi yang kompleks dan indah yang menuntut perhatian dan perawatan yang berkelanjutan. Memahami dinamika asil-grelin dan des-asil-grelin, interaksinya dengan reseptor GHSR-1a di hipotalamus, serta perang tandingnya yang konstan dengan leptin, memberikan kita peta jalan yang jelas menuju kesehatan yang lebih baik dan pengendalian nafsu makan yang lebih efektif.
Di masa depan, terapi yang menargetkan GOAT atau GHSR-1a mungkin menawarkan solusi farmakologis yang lebih spesifik. Namun, untuk saat ini, fondasi pengelolaan grelin tetap terletak pada pilar-pilar gaya hidup: tidur yang nyenyak, diet yang kaya protein dan serat, serta ritme makan yang teratur. Hal ini menegaskan kembali bahwa kontrol atas nafsu makan kita dimulai dari pemahaman mendalam tentang sinyal internal yang paling mendasar, yaitu panggilan mendesak dari "hormon lapar" grelin.
Pemahaman mengenai ritme biologis grelin juga membuka wawasan tentang pentingnya konsistensi. Seringkali, individu yang mengalami kesulitan mempertahankan berat badan menghadapi fluktuasi grelin yang ekstrem. Ketika mereka mencoba diet ketat, lonjakan grelin post-diet yang intens mendorong *rebound effect* yang hampir tak terhindarkan. Oleh karena itu, pendekatan terbaik bukanlah melawan kelaparan, tetapi menenangkannya. Makanan yang seimbang tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kalori, tetapi untuk mengirimkan sinyal biokimia yang kuat: "Anda aman, energi Anda cukup, sinyal lapar tidak lagi diperlukan." Protein, dengan kemampuan uniknya untuk menekan grelin sekaligus meningkatkan peptida kenyang lainnya, menjadi senjata utama dalam arsenal manajemen berat badan berbasis hormon.
Selain itu, peran grelin dalam penyimpanan lemak tidak boleh diabaikan. Meskipun utamanya dikenal sebagai oreksigenik, grelin juga mempromosikan lipogenesis (pembentukan lemak) dan mengurangi oksidasi lemak (pembakaran lemak), menjadikannya hormon yang secara inheren anabolik. Ketika kadar grelin tinggi secara kronis—seperti pada kondisi kurang tidur atau stres berlebihan—tubuh tidak hanya lapar, tetapi juga diprogram untuk menyimpan energi seefisien mungkin. Ini menjelaskan mengapa intervensi yang berhasil mengelola grelin sering kali berdampak positif ganda: mengurangi asupan dan meningkatkan pengeluaran energi relatif.
Penting juga untuk membedakan antara bentuk aktif (asil-grelin) dan non-aktif (des-asil-grelin). Meskipun des-asil-grelin tidak secara langsung memicu sinyal lapar di hipotalamus, penelitian terbaru menunjukkan bahwa ia mungkin memiliki fungsi metabolik sendiri, termasuk peran dalam metabolisme glukosa dan perlindungan otot, bertindak sebagai antagonis fungsional terhadap asil-grelin di beberapa jaringan. Kompleksitas ini semakin memperumit upaya untuk mengembangkan terapi, karena obat anti-grelin yang terlalu agresif mungkin menghilangkan manfaat metabolisme yang tidak terkait dengan nafsu makan.
Dalam konteks kesehatan mental, hubungan grelin dengan pusat *reward* juga menjadi fokus penting. Pada individu yang berjuang dengan *Binge Eating Disorder* (gangguan makan berlebihan), grelin mungkin memainkan peran dalam siklus kompulsif. Lonjakan grelin dapat memicu keinginan yang luar biasa untuk makan dalam jumlah besar, dan setelah itu, penurunan grelin yang cepat dapat menyebabkan perasaan lega yang singkat sebelum perasaan bersalah muncul. Mengatur ritme makan dan mengintegrasikan praktik *mindfulness* dapat membantu memutus siklus ini dengan menstabilkan fluktuasi hormon yang terlalu dramatis.
Kesimpulannya, grelin adalah inti dari mekanisme kelangsungan hidup kita, yang membuat kita mencari makanan ketika sumber daya rendah. Di era modern, di mana kelangkaan makanan jarang terjadi, sinyal primal ini sering menjadi bumerang. Kunci untuk hidup harmonis dengan grelin adalah pengakuan bahwa tubuh kita adalah mesin yang diatur oleh sinyal kimia, dan melalui disiplin gaya hidup yang cermat, kita dapat mengambil alih kendali sinyal tersebut, memastikan bahwa grelin melayani kesehatan kita, bukan mendiktekannya.