Kuitansi melambangkan kepastian hukum dan transparansi transaksi.
Kuitansi, seringkali dianggap sebagai lembaran kertas sederhana, sesungguhnya adalah salah satu dokumen legal dan finansial paling fundamental dalam peradaban ekonomi modern. Secara etimologi, kuitansi berasal dari bahasa Belanda, kwitantie, yang merujuk pada suatu tanda bukti penerimaan uang. Dalam konteks Indonesia, kuitansi didefinisikan secara universal sebagai dokumen yang menyatakan bahwa sejumlah uang telah diterima oleh pihak yang bertanda tangan sebagai pembayaran atas barang, jasa, atau utang tertentu.
Fungsi utama kuitansi melampaui sekadar pengakuan penerimaan kas. Kuitansi adalah instrumen yang memberikan kepastian hukum dan kepastian akuntansi bagi kedua belah pihak yang terlibat dalam transaksi. Ia menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Bagi pembayar, kuitansi berfungsi sebagai alat bukti sah bahwa kewajiban finansial telah dipenuhi. Sebaliknya, bagi penerima, kuitansi menjadi bukti catatan penerimaan pendapatan yang nantinya akan dicatat dalam pembukuan perusahaan atau laporan keuangan pribadi.
Kuitansi adalah pilar integritas transaksi. Tanpa kuitansi, klaim pembayaran hanyalah berupa lisan, yang rentan terhadap sengketa dan sulit dibuktikan di pengadilan atau dalam proses audit. Dokumen ini mengikat para pihak dan memastikan transparansi aliran dana.
Agar sebuah kuitansi memiliki kekuatan hukum dan akuntabilitas yang memadai, ia harus memuat elemen-elemen yang tidak dapat diabaikan. Kesalahan atau kelalaian dalam mencantumkan salah satu unsur ini dapat melemahkan validitas dokumen tersebut, terutama ketika dihadapkan pada perselisihan atau pemeriksaan pajak yang mendalam. Elemen-elemen tersebut meliputi:
Meskipun kuitansi secara umum berfungsi sebagai bukti pembayaran, dalam praktik bisnis dan akuntansi, terdapat variasi dokumen yang memiliki fungsi dan konteks penggunaan yang spesifik. Pemahaman terhadap perbedaan ini esensial bagi profesional keuangan dan pengusaha agar tidak terjadi kekeliruan dalam pencatatan jurnal.
Ini adalah bentuk kuitansi yang paling umum, digunakan untuk transaksi tunai langsung. Biasanya hanya melibatkan dua pihak dan mencakup pembayaran penuh. Kuitansi standar sangat sering digunakan dalam transaksi ritel, pembayaran sewa, atau pelunasan utang perorangan.
Digunakan ketika pembayaran dilakukan sebagian di awal (DP) sebagai bentuk komitmen pembelian atau pemesanan. Dokumen ini harus secara jelas mencantumkan bahwa pembayaran tersebut bersifat uang muka dan sisa pelunasan yang masih harus diselesaikan (saldo terutang).
Nota seringkali disalahartikan sebagai kuitansi, padahal keduanya berbeda. Nota adalah bukti pembelian dari penjual kepada pembeli, yang biasanya tidak memerlukan tanda tangan penerima uang (kecuali dalam skala kecil). Nota lebih fokus pada perincian barang yang dibeli (kuantitas, harga satuan). Dalam akuntansi, nota sering berfungsi sebagai bukti pendukung kuitansi atau faktur.
Faktur adalah dokumen penagihan, bukan bukti pembayaran. Faktur diterbitkan sebelum pembayaran dilakukan, merinci kewajiban yang harus dibayar oleh pembeli. Setelah faktur dibayar, barulah kuitansi diterbitkan. Faktur pajak, di sisi lain, adalah dokumen spesifik yang wajib dikeluarkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk barang atau jasa yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kekuatan faktur pajak jauh lebih besar dan kompleks karena berkaitan langsung dengan mekanisme kredit pajak dan kewajiban negara.
Perbedaan mendasar antara faktur, nota, dan kuitansi terletak pada waktu penerbitan dan tujuan hukumnya:
Kekuatan hukum kuitansi adalah hal yang menjadikannya dokumen vital. Dalam sistem hukum perdata Indonesia, kuitansi menempati posisi yang signifikan sebagai alat bukti tertulis, sebagaimana diatur dalam berbagai perundang-undangan, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Pasal-pasal dalam KUH Perdata mengenai pembuktian utang piutang seringkali merujuk pada dokumen tertulis. Ketika sebuah kuitansi ditandatangani dan dibubuhi materai yang cukup (jika nominalnya memenuhi syarat), dokumen tersebut menjadi bukti otentik yang dapat dijadikan dasar kuat di pengadilan. Keberadaan materai bukan sekadar formalitas, melainkan berfungsi memberikan status sebagai dokumen yang dapat diajukan sebagai alat bukti di hadapan hakim, sesuai dengan Undang-Undang Bea Materai.
Jika terjadi sengketa, kuitansi berfungsi membuktikan dua hal krusial:
Tanda tangan penerima pada kuitansi membawa konsekuensi hukum yang berat. Dengan menandatangani, pihak penerima secara sah mengakui telah menerima uang sejumlah yang tertera dan melepaskan haknya untuk menuntut pembayaran yang sama lagi. Apabila penerima kemudian menyangkal telah menerima uang, beban pembuktian (burden of proof) berada di pundak mereka untuk membuktikan bahwa kuitansi tersebut palsu atau diperoleh di bawah tekanan.
Dalam kasus hilangnya kuitansi, pembayar menghadapi kesulitan besar. Meskipun pembayaran dapat dibuktikan melalui alat bukti lain seperti mutasi bank, kuitansi fisik atau digital tetap dianggap sebagai bukti yang paling kuat dan langsung, terutama jika ada klausul spesifik dalam perjanjian awal yang mensyaratkan bukti pembayaran tertulis.
Dalam dunia bisnis, kuitansi adalah jantung dari siklus akuntansi. Dokumen ini adalah "bukti sumber" (source document) yang memicu pencatatan atau penjurnalan transaksi. Tanpa kuitansi atau bukti sumber lainnya, seorang akuntan tidak dapat secara legal memindahkan angka-angka ke dalam buku besar perusahaan.
Setiap kuitansi penerimaan harus dicatat sebagai transaksi yang melibatkan akun kas atau bank (bertambah) dan akun pendapatan atau utang (berkurang). Sebaliknya, kuitansi pengeluaran dicatat sebagai pengurangan kas/bank dan penambahan beban atau aset. Akurasi kuitansi secara langsung memengaruhi kebenaran Laporan Laba Rugi dan Neraca. Jika kuitansi mencantumkan nominal yang salah atau tujuan yang tidak jelas, hal itu dapat menyebabkan misstatement (salah saji) yang signifikan.
Sistem pengendalian internal yang baik mensyaratkan adanya prosedur ketat dalam pembuatan, penerimaan, dan penyimpanan kuitansi. Pengendalian internal ini biasanya mencakup:
Saat auditor melakukan pemeriksaan (audit), kuitansi menjadi fokus utama. Auditor menggunakan kuitansi sebagai bukti fisik untuk memverifikasi saldo di buku besar. Proses ini dikenal sebagai vouching (pemverifikasian bukti). Kegagalan sebuah perusahaan menyajikan kuitansi yang lengkap dan valid untuk transaksi besar dapat menyebabkan auditor memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau bahkan Opini Tidak Wajar (Disclaimer), karena tidak adanya bukti yang cukup untuk mendukung saldo yang dilaporkan.
Oleh karena itu, kebijakan retensi dokumen perusahaan harus mencakup periode penyimpanan kuitansi yang cukup lama—seringkali minimal 10 tahun—sejalan dengan peraturan pajak dan hukum komersial.
Hubungan antara kuitansi dan perpajakan sangat erat, terutama dalam konteks bukti biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak (deductible expenses) dan mekanisme Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Bagi Wajib Pajak Badan (perusahaan), setiap pengeluaran yang diklaim sebagai biaya operasional harus didukung oleh bukti yang sah, dan kuitansi adalah bukti primanya. Jika perusahaan mengklaim beban, misalnya, biaya perjalanan dinas atau pembelian alat tulis, tanpa kuitansi yang jelas, otoritas pajak (Ditjen Pajak) berhak menolak klaim beban tersebut. Penolakan ini akan berakibat pada peningkatan Penghasilan Kena Pajak, dan akhirnya, peningkatan PPh Terutang.
Pengeluaran yang memerlukan kuitansi sangat spesifik dalam konteks pajak. Kuitansi harus mencantumkan identitas penjual (termasuk NPWP jika PKP) dan deskripsi barang/jasa yang jelas. Kuitansi yang bersifat "global" atau terlalu umum sering dicurigai dalam audit pajak.
Di Indonesia, PPN dikenakan pada sebagian besar transaksi barang dan jasa. Ketika sebuah perusahaan PKP membeli barang dari PKP lain, PPN yang mereka bayar disebut PPN Masukan, yang dapat dikreditkan (dikurangkan) dari PPN Keluaran yang mereka pungut dari pelanggan. Namun, bukti yang sah untuk mengkreditkan PPN Masukan bukanlah kuitansi standar, melainkan Faktur Pajak yang diterbitkan secara elektronik (e-Faktur).
Meskipun demikian, kuitansi tetap berperan sebagai bukti pembayaran atas faktur pajak tersebut. Jika transaksi dilakukan dengan non-PKP, kuitansi tetap wajib, tetapi PPN Masukan tidak dapat dikreditkan, meskipun biayanya mungkin tetap dapat dikurangkan (deductible) dari PPh.
Kuitansi yang diterbitkan oleh perorangan (misalnya, pembayaran jasa konsultan, tenaga ahli, atau honorarium) seringkali menjadi dasar untuk pemotongan PPh Pasal 21. Perusahaan yang membayar honorarium wajib memotong PPh 21 dari jumlah bruto dan menyetorkan potongan tersebut ke kas negara. Kuitansi penerimaan honorarium ini berfungsi ganda: sebagai bukti pembayaran bagi perusahaan dan sebagai bukti dasar perhitungan PPh 21 yang dipotong.
Seiring dengan akselerasi teknologi, praktik pembuatan dan pengelolaan kuitansi telah mengalami transformasi radikal. Kuitansi kertas yang rentan terhadap kerusakan, kehilangan, dan pemalsuan kini mulai digantikan oleh e-kuitansi (kuitansi elektronik) yang menawarkan efisiensi dan keamanan yang jauh lebih tinggi.
E-kuitansi adalah dokumen digital yang dihasilkan, dikirim, dan disimpan secara elektronik. Keunggulannya meliputi:
Meskipun memiliki keunggulan, adopsi e-kuitansi menghadapi tantangan, terutama di segmen Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Diperlukan investasi awal dalam perangkat lunak akuntansi atau Point of Sale (POS) yang mampu menghasilkan kuitansi digital. Selain itu, aspek legalitas dan penerimaan di mata hukum Indonesia memerlukan jaminan bahwa kuitansi digital memiliki kekuatan pembuktian yang setara dengan versi kertas, yang untungnya telah diakomodasi melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Banyak instansi pemerintah dan perusahaan besar kini mewajibkan penggunaan e-kuitansi, terutama untuk pengadaan barang dan jasa. Aplikasi kuitansi digital seringkali diintegrasikan langsung dengan sistem perpajakan (seperti e-Faktur) untuk meminimalkan risiko ketidakpatuhan.
Kuitansi, karena perannya sebagai bukti uang, sering menjadi target utama dalam skema penipuan (fraud). Manajemen kuitansi yang buruk dapat membuka pintu bagi praktik penggelapan dana atau mark-up biaya.
Ada beberapa cara umum kuitansi dimanipulasi:
Untuk memitigasi risiko ini, perusahaan harus menerapkan kebijakan verifikasi yang ketat:
Kuitansi memiliki implikasi yang berbeda dalam berbagai jenis transaksi spesifik, seperti pembayaran gaji, pinjaman, dan transaksi aset tetap.
Meskipun slip gaji (payslip) bukan kuitansi dalam arti tradisional, ia berfungsi sebagai bukti pembayaran jasa tenaga kerja. Slip gaji memiliki elemen kuitansi karena mengakui penerimaan uang oleh karyawan. Dokumen ini sangat penting untuk membuktikan kepatuhan terhadap regulasi ketenagakerjaan dan perhitungan PPh Pasal 21 yang akurat.
Ketika perusahaan membeli aset besar (misalnya, mesin atau tanah), kuitansi yang mendokumentasikan pembayaran ini menjadi bagian vital dari catatan aset. Kuitansi ini akan digunakan untuk menentukan harga perolehan aset, yang menjadi dasar perhitungan penyusutan (depresiasi) selama masa manfaat aset. Jika kuitansi hilang, dasar perhitungan aset menjadi kabur, berpotensi memengaruhi Neraca secara keseluruhan.
Dalam transaksi pinjaman, setiap kali cicilan dibayar, kuitansi wajib diterbitkan. Kuitansi cicilan ini harus secara jelas memisahkan komponen pembayaran yang merupakan pokok pinjaman dan komponen yang merupakan bunga. Pemisahan ini krusial untuk akuntansi (pengakuan beban bunga) dan perpajakan (deductibility beban bunga).
Jika pinjaman melibatkan jaminan (agunan), kuitansi pembayaran cicilan juga menjadi bukti pemenuhan kewajiban yang menjamin bahwa hak atas agunan tetap terjaga. Hilangnya serangkaian kuitansi cicilan dapat menyulitkan pembuktian pelunasan pinjaman secara total.
Masa depan kuitansi tidak lagi hanya berkutat pada digitalisasi, melainkan menuju otomasisasi total dan pencatatan yang tidak dapat diubah (immutable record) melalui teknologi blockchain.
Pemanfaatan teknologi blockchain menawarkan solusi definitif terhadap masalah pemalsuan dan integritas data kuitansi. Dalam sistem ini, setiap transaksi yang menghasilkan kuitansi dicatat sebagai blok data yang terenkripsi dan terhubung secara kronologis dengan transaksi sebelumnya.
Keuntungan utamanya adalah desentralisasi dan immuatabilitas. Setelah kuitansi diterbitkan dan dicatat di blockchain, tidak ada pihak, termasuk penerbit, yang dapat mengubahnya. Ini secara dramatis meningkatkan kepercayaan (trust) antarpihak dan mengurangi waktu serta biaya audit, karena auditor dapat memverifikasi keaslian kuitansi secara instan melalui jaringan terdistribusi.
Pengembangan kuitansi cerdas (smart receipts) yang dilengkapi dengan QR code atau teknologi OCR (Optical Character Recognition) memungkinkan integrasi langsung ke perangkat lunak akuntansi. Ketika kuitansi diterima (misalnya, melalui aplikasi kasir), data kunci (nominal, vendor, tanggal) diekstraksi secara otomatis dan diimpor langsung ke jurnal, mengurangi intervensi manusia dan meminimalkan kesalahan input.
Otomasi ini sangat relevan untuk perusahaan yang mengelola volume transaksi tinggi, seperti ritel atau e-commerce. Kuitansi yang diotomatisasi memungkinkan pelaporan keuangan real-time dan meningkatkan kemampuan analisis data transaksi secara mendalam.
Pada hakikatnya, kuitansi adalah dokumen yang menjembatani transaksi finansial ke dalam bahasa hukum dan akuntansi. Kekuatannya terletak pada kemampuannya memberikan otentikasi bahwa kewajiban telah beralih tangan. Memahami secara mendalam anatomi, fungsi, dan aspek legal kuitansi adalah keharusan bagi siapa pun yang terlibat dalam pengelolaan dana, baik sebagai individu maupun entitas bisnis besar. Dari selembar kertas bertanda tangan hingga jejak digital di blockchain, kuitansi akan selalu menjadi bukti tak terbantahkan dalam setiap pertukaran nilai.
Kepatuhan terhadap standar kuitansi, baik yang konvensional maupun digital, bukan sekadar urusan administrasi, melainkan cerminan dari tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) dan tanggung jawab fiskal. Dalam setiap pemeriksaan pajak, dalam setiap sengketa perdata, dan dalam setiap proses audit internal, kuitansi akan selalu menjadi garis pertahanan pertama yang menentukan keabsahan dan kebenaran catatan keuangan.
*** (Lanjutan Detail Eksplorasi) ***
Di sektor publik, kuitansi memegang peranan yang sangat sensitif karena berhubungan dengan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD). Proses pengadaan barang dan jasa (PBJ) di instansi pemerintah diatur sangat ketat, dan kuitansi menjadi bukti kunci pertanggungjawaban keuangan.
Setiap pengeluaran kas negara, sekecil apapun, harus didukung oleh bukti yang valid dan lengkap. Kuitansi dalam konteks ini harus sesuai dengan Peraturan Presiden mengenai PBJ dan regulasi Kementerian Keuangan. Kuitansi yang diterbitkan untuk transaksi pemerintah seringkali harus mencantumkan kode mata anggaran (MAK) dan nomor Surat Perintah Membayar (SPM) atau Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Bendahara Pengeluaran memiliki tanggung jawab mutlak untuk memastikan keaslian kuitansi. Jika kuitansi ditemukan fiktif atau tidak sesuai dengan harga pasar, Bendahara dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana dan perdata atas kerugian negara.
Transaksi pemerintah memiliki keunikan karena instansi pemerintah memiliki kewajiban sebagai pemotong (withholding agent) PPh Pasal 22 (atas pembelian barang), PPh Pasal 23 (atas sewa atau jasa), dan PPN/PPNBM. Ketika pemerintah membayar suatu jasa dan menerima kuitansi, Bendahara wajib memotong pajak yang relevan sebelum melunasi pembayaran kepada vendor. Kuitansi pembayaran menjadi dasar bagi Bendahara untuk menerbitkan Bukti Potong Pajak yang harus diserahkan kepada vendor, yang kemudian akan digunakan vendor untuk mengkreditkan pajak mereka.
Oleh karena itu, kuitansi untuk transaksi pemerintah jauh lebih kompleks dan harus menyertakan rincian pemotongan pajak yang dilakukan, memastikan bahwa jumlah yang diterima (netto) sesuai dengan jumlah yang dibayarkan (bruto) setelah dikurangi potongan pajak.
Di era perbankan digital, banyak yang bertanya-tanya: apakah bukti transfer bank (slip transfer, notifikasi SMS/email) dapat menggantikan kuitansi? Jawabannya kompleks, dan tergantung pada konteks hukum dan akuntansi yang berlaku.
Bukti transfer bank, baik berupa slip ATM, cetakan mutasi rekening, maupun notifikasi digital, memang membuktikan bahwa dana telah berpindah dari rekening A ke rekening B pada tanggal tertentu. Dalam konteks pembayaran, bukti ini sangat kuat karena dikeluarkan oleh institusi keuangan yang independen.
Meskipun membuktikan pergerakan dana, bukti transfer memiliki keterbatasan krusial yang tidak dimiliki kuitansi:
Dalam praktik terbaik, kedua dokumen harus disimpan secara berdampingan: bukti transfer membuktikan transfer dana, dan kuitansi membuktikan tujuan dan pengakuan legal atas penerimaan dana tersebut.
Penyimpanan kuitansi yang efisien sangat vital untuk kelangsungan bisnis dan kepatuhan hukum. Kesalahan dalam penyimpanan dapat berujung pada kerugian finansial akibat sanksi pajak atau kegagalan klaim di pengadilan.
Sebagian besar kuitansi ritel dicetak menggunakan kertas thermal yang sangat cepat memudar jika terkena panas atau cahaya. Dalam waktu 6 hingga 12 bulan, tulisan pada kuitansi ini bisa hilang total, membuatnya tidak berguna sebagai bukti audit.
Solusi untuk kuitansi thermal adalah dengan segera menduplikasi atau mendigitalkan. Perusahaan dianjurkan untuk:
Di Indonesia, periode retensi dokumen keuangan dan akuntansi umumnya mengikuti periode daluwarsa hak tagih pajak, yaitu minimal 10 tahun (sesuai UU KUP). Artinya, kuitansi untuk semua transaksi yang memengaruhi laporan keuangan, perpajakan, dan aset harus disimpan dengan aman selama periode tersebut. Kegagalan menyimpan kuitansi 10 tahun ke belakang dapat membuat perusahaan rentan terhadap penemuan pajak di masa depan, di mana beban pembuktian kerugian ada pada wajib pajak.
Perusahaan modern beralih ke EDMS. Kuitansi didigitalkan, diindeks (berdasarkan tanggal, vendor, dan nominal), dan disimpan di cloud atau server yang aman. EDMS memungkinkan akses cepat bagi tim akuntansi dan auditor, sekaligus memastikan integritas dokumen melalui sistem kontrol versi dan cadangan (backup) otomatis.
Selain kuitansi yang melibatkan pihak eksternal, dalam akuntansi terdapat pula kuitansi internal atau bukti kas masuk/keluar internal. Dokumen ini dibuat dan digunakan hanya di dalam perusahaan.
BKK adalah dokumen internal yang dibuat ketika kas dikeluarkan dari perusahaan (misalnya, untuk membayar gaji atau membeli perlengkapan kantor). Meskipun pembayaran ini didasarkan pada kuitansi eksternal (dari vendor), BKK berfungsi sebagai otorisasi internal untuk mencatat pengeluaran tersebut dalam buku kas. BKK memastikan bahwa pengeluaran telah disetujui oleh manajemen yang berwenang.
BKM digunakan untuk mendokumentasikan penerimaan kas dari berbagai sumber (misalnya, pelunasan piutang, penjualan tunai). BKM menjadi bukti bahwa bendahara telah menerima dana dan siap untuk menyetorkannya ke bank. Dokumen ini sangat penting untuk pelacakan piutang dan rekonsiliasi kas harian.
Kuitansi eksternal dan kuitansi internal (BKK/BKM) harus saling terhubung. Kuitansi eksternal berfungsi sebagai bukti sumber, sementara BKK/BKM berfungsi sebagai instruksi dan otorisasi internal untuk proses akuntansi.
Di luar aspek hukum dan teknis, kuitansi juga memiliki dimensi psikologis dan budaya yang menarik, terutama di Indonesia.
Secara budaya, masyarakat Indonesia sangat bergantung pada kuitansi sebagai penenang psikologis. Adanya kuitansi menghilangkan keraguan. Dalam banyak transaksi personal (misalnya, pembayaran kos, iuran RT), kuitansi manual tetap diutamakan meskipun pembayaran dilakukan secara digital, karena kuitansi fisik memberikan rasa keamanan yang lebih nyata.
Penerbitan kuitansi secara cepat dan profesional oleh suatu entitas dapat meningkatkan tingkat kepercayaan pelanggan. Hal ini menandakan bahwa perusahaan tersebut transparan, terorganisir, dan siap untuk bertanggung jawab atas transaksi yang telah terjadi.
Sebaliknya, penolakan atau kesulitan dalam memberikan kuitansi seringkali memicu kecurigaan, baik oleh konsumen maupun oleh auditor, yang mengindikasikan adanya praktik 'di bawah meja' atau upaya penghindaran pajak.
Dari pembahasan yang mendalam ini, jelas terlihat bahwa kuitansi adalah lebih dari sekadar secarik kertas atau data digital. Kuitansi adalah fondasi dari akuntabilitas finansial, cerminan dari integritas bisnis, dan alat bukti yang memiliki kekuatan signifikan di mata hukum.
Pengelolaan kuitansi yang buruk—apakah itu karena kelalaian penyimpanan, kegagalan penomoran, atau manipulasi—dapat merusak reputasi perusahaan, menimbulkan sanksi pajak yang berat, dan menyebabkan kerugian finansial yang tak terhindarkan. Oleh karena itu, investasi dalam sistem pengelolaan kuitansi yang solid, baik manual maupun elektronik, adalah investasi dalam kelangsungan dan kepastian hukum entitas bisnis.
Memastikan setiap detail tercatat, setiap tanda tangan tertera, dan setiap materai dibubuhkan (bila perlu), adalah langkah proaktif dalam melindungi diri dari potensi sengketa dan menjamin bahwa jejak keuangan perusahaan selalu bersih dan terverifikasi.