Kabupaten Lebak, terletak di bagian selatan Provinsi Banten, seringkali dipandang sebagai gerbang menuju kekayaan alam yang belum tersentuh dan warisan budaya yang sangat tua. Jauh sebelum namanya dikenal luas sebagai pusat kekuasaan adat Suku Baduy, Lebak telah menjadi saksi bisu rangkaian peristiwa bersejarah, mulai dari era kerajaan purba hingga perlawanan sengit terhadap kolonialisme. Wilayah ini bukan sekadar hamparan geografis; ia adalah palimpsest kehidupan yang menyimpan kisah keragaman topografi, keteguhan spiritual, dan pembangunan yang berkesinambungan.
Dengan ibukota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak membentang dari dataran rendah yang subur di utara hingga garis pantai Samudra Hindia yang dramatis di selatan. Karakteristik geografis ini membentuk dua wajah utama Lebak: wilayah utara yang dekat dengan pusat pemerintahan dan ekonomi, serta wilayah selatan yang kaya akan potensi pariwisata bahari dan pegunungan. Namun, magnet utama Lebak selalu berada di pedalamannya, di mana harmoni antara manusia dan alam dijaga ketat oleh Suku Baduy, masyarakat adat yang memilih isolasi sebagai jalan hidup. Memahami Lebak adalah menyelami kompleksitas antara modernisasi dan tradisi, antara kemiskinan yang pernah dicatat sejarah dan potensi kekayaan yang kini mulai diolah.
Secara administratif, Kabupaten Lebak merupakan kabupaten terluas di Banten. Letaknya yang strategis, berbatasan langsung dengan Bogor dan Sukabumi (Jawa Barat) di timur, serta Serang dan Pandeglang di barat, menjadikannya penghubung penting di bagian selatan Jawa Barat dan Banten.
Lebak memiliki topografi yang sangat bervariasi, memungkinkan keanekaragaman sumber daya alam dan mata pencaharian. Secara umum, wilayah ini dapat dibagi menjadi tiga zona utama:
Selain itu, bagian timur Lebak merupakan bagian integral dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). TNGHS berperan vital sebagai paru-paru Jawa Barat dan Banten, menyimpan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah yang sangat penting, serta menjadi habitat bagi berbagai spesies endemik dan terancam punah, termasuk Macan Tutul Jawa dan Owa Jawa. Pengelolaan kawasan TNGHS di Lebak melibatkan tantangan pelestarian sekaligus pemberdayaan masyarakat adat yang tinggal di sekitarnya, menuntut keseimbangan antara konservasi ketat dan kebutuhan ekonomi lokal.
Sistem sungai di Lebak sangat vital. Sungai Ciujung adalah sungai utama yang mengalir melalui Rangkasbitung menuju utara. Sungai ini tidak hanya berfungsi sebagai sumber irigasi tetapi juga memiliki nilai historis dan ekologis. Kualitas air di hulu sungai sangat bergantung pada kondisi hutan di wilayah perbukitan, termasuk hutan adat Baduy yang berfungsi sebagai area tangkapan air alami yang sangat efektif.
Kondisi hidrologi yang kaya ini, sayangnya, juga membawa risiko. Curah hujan yang tinggi di kawasan perbukitan sering memicu banjir di dataran rendah bagian utara, terutama saat terjadi alih fungsi lahan di hulu yang mengurangi kemampuan tanah menahan air. Oleh karena itu, tata kelola air dan pemeliharaan daerah aliran sungai (DAS) merupakan isu pembangunan yang sangat krusial bagi pemerintah daerah Lebak.
Alt Teks: Pemandangan perkampungan adat Suku Baduy yang dikelilingi perbukitan hijau dan persawahan huma.
Sejarah Lebak tidak dapat dipisahkan dari narasi besar peradaban Sunda dan Banten, namun Lebak memiliki kisah spesifik yang mengukir namanya di panggung literatur dan sejarah dunia: kisah penindasan di bawah kekuasaan kolonial yang diceritakan oleh Eduard Douwes Dekker, atau Multatuli, dalam novelnya yang terkenal, Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda.
Sebelum kehadiran Belanda, wilayah Lebak berada di bawah pengaruh Kerajaan Sunda, yang kemudian digantikan oleh kekuasaan Kesultanan Banten. Lokasi Lebak yang berbukit dan berada di pedalaman menjadikannya wilayah penyangga sekaligus sumber daya alam penting, terutama lada dan hasil hutan, bagi Kesultanan Banten yang berfokus pada perdagangan maritim. Struktur sosial masyarakat adat saat itu sudah terbentuk, dengan pemimpin lokal yang diakui dan sistem hukum adat yang kuat, jauh sebelum struktur pemerintahan kolonial dipaksakan.
Titik balik sejarah Lebak dalam konteks global terjadi pada pertengahan abad ke-19. Rangkasbitung (ibu kota Lebak) menjadi latar utama bagi kritik pedas terhadap sistem pemerintahan kolonial yang dijalankan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda.
Eduard Douwes Dekker (Multatuli) menjabat sebagai Asisten Residen Lebak pada tahun 1856. Dalam masa jabatannya yang singkat, ia menyaksikan langsung praktik korupsi, penindasan, dan eksploitasi yang dilakukan oleh pejabat pribumi (Bupati) yang bekerja sama dengan administrasi Belanda. Sistem tanam paksa (Cultuurstelsel), yang diterapkan untuk komoditas seperti kopi dan nila, mengharuskan petani Lebak menyerahkan sebagian besar hasil panen mereka atau bekerja tanpa upah di perkebunan Belanda.
“Aku seorang pegawai Belanda... yang harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa rakyat yang miskin dirampas, diperas, dan dianiaya oleh bupatinya sendiri, yang seharusnya melindungi mereka. Dan ini semua terjadi di bawah pengawasan kekuasaan Belanda.” – Penggalan pemikiran Multatuli yang tercermin dalam Max Havelaar.
Multatuli mengajukan protes dan laporan resmi mengenai penyelewengan dana dan kerja paksa di Lebak, namun laporannya diabaikan oleh Residen Banten dan kemudian oleh Gubernur Jenderal. Karena frustrasi, ia mengundurkan diri dan menulis novel Max Havelaar. Novel ini berhasil mengungkap kemunafikan moral pemerintah kolonial, menunjukkan bahwa kekayaan yang dinikmati Belanda dibangun di atas penderitaan rakyat Lebak dan sekitarnya. Kisah tentang Saidjah dan Adinda, dua karakter fiksi yang mewakili penderitaan rakyat jelata Lebak, menjadi simbol perlawanan pasif dan korban sistem yang kejam.
Warisan Max Havelaar sangat mendalam. Di satu sisi, ia memicu debat politik dan etika di Belanda, yang akhirnya menghasilkan kebijakan Etis. Di sisi lain, ia membentuk citra Lebak sebagai daerah terpencil yang terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan ketidakadilan—sebuah stigma yang terus diperjuangkan oleh masyarakat Lebak modern.
Setelah Indonesia merdeka, Lebak mulai berbenah, meski perkembangannya relatif lambat dibandingkan daerah lain di Jawa Barat (sebelum Banten menjadi provinsi terpisah). Infrastruktur utama, seperti jalur kereta api yang menghubungkan Rangkasbitung dengan Jakarta, sudah ada sejak era kolonial dan menjadi tulang punggung transportasi dan ekonomi. Namun, wilayah selatan tetap terisolasi hingga beberapa dekade kemudian. Pembangunan jalan raya lintas selatan dan peningkatan konektivitas Rangkasbitung sebagai kota satelit Serang dan Jakarta kini menjadi fokus utama, membuka akses menuju pariwisata Baduy dan pantai selatan.
Tidak mungkin membicarakan Lebak tanpa mendalami Urang Kanékès, atau yang lebih dikenal sebagai Suku Baduy. Masyarakat adat ini tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar. Keberadaan Baduy bukan hanya daya tarik wisata, melainkan jantung spiritual dan pelindung ekologis Lebak. Filosofi hidup mereka, yang berakar pada prinsip kearifan lokal dan isolasi sukarela, memberikan kontras yang tajam dengan kehidupan modern di sekitarnya.
Masyarakat Baduy terbagi menjadi dua kelompok utama yang dipisahkan oleh tingkat kepatuhan terhadap pikukuh (hukum adat) dan interaksi dengan dunia luar:
Baduy Dalam tinggal di tiga kampung utama (Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Mereka adalah penjaga inti tradisi. Mereka secara mutlak menolak penggunaan teknologi modern, transportasi, uang tunai (kecuali untuk barang darurat yang tidak dapat dibuat sendiri), dan pendidikan formal. Mereka mengenakan pakaian serba putih atau biru tua alami. Mereka tidak diperbolehkan meninggalkan wilayah adat dalam jangka waktu lama kecuali untuk ritual khusus seperti ziarah atau memenuhi panggilan Pu’un (pemimpin spiritual tertinggi). Kehidupan mereka sepenuhnya diatur oleh hukum adat yang keras dan tidak tertulis.
Baduy Luar tinggal di kampung-kampung di sekitar wilayah Baduy Dalam. Mereka berfungsi sebagai penyangga (buffer zone). Aturan bagi Baduy Luar sedikit lebih longgar. Mereka diperbolehkan menggunakan sebagian teknologi modern (seperti peralatan dapur dan alat pertanian modern), berinteraksi dengan dunia luar dalam konteks perdagangan (misalnya menjual kain tenun dan madu), dan bahkan menggunakan transportasi. Pakaian mereka didominasi warna hitam atau biru gelap. Meskipun lebih terbuka, mereka tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dasar Sunda Wiwitan dan menjaga hutan larangan.
Kepercayaan utama Suku Baduy adalah Sunda Wiwitan (Sunda Awal). Ini bukanlah agama dalam pengertian formal, melainkan sistem kepercayaan dan tata cara hidup yang menghormati leluhur dan menjaga keseimbangan alam. Pusat dari keyakinan ini adalah prinsip Lojor teu meunang dipotong, pèndèk teu meunang disambung (Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung), yang berarti tidak ada perubahan pada tradisi yang telah ditetapkan oleh leluhur.
Pikukuh adalah aturan adat yang mengikat. Beberapa larangan utama (larangan mutlak) meliputi:
Kepatuhan terhadap Pikukuh bukan hanya masalah keimanan, tetapi juga strategi konservasi ekologi yang sangat efektif. Dengan menolak teknologi dan modernisasi, mereka secara tidak langsung memastikan kelestarian hutan dan sumber air di wilayah hulu Lebak. Mereka meyakini bahwa tugas mereka adalah menjaga "Tanah Parahiangan" agar bencana tidak menimpa dunia.
Ekonomi Baduy sangat berlandaskan pada pertanian huma (ladang kering) dan pemanfaatan hasil hutan secara lestari. Mereka menanam padi (terutama padi huma yang merupakan varietas lokal), ubi, dan palawija. Proses pertanian dilakukan secara manual, tanpa pupuk kimia. Sistem ekonomi ini bersifat subsisten, berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pangan internal, bukan akumulasi kekayaan. Surplus hasil pertanian dan kerajinan tangan diperdagangkan ke Baduy Luar atau dijual ke luar melalui tengkulak.
Kerajinan tangan Baduy yang terkenal meliputi:
Perdagangan produk Baduy Luar kini menjadi bagian penting dalam ekonomi Lebak. Produk-produk ini sering dipasarkan di Rangkasbitung dan kota-kota besar lainnya, membawa kesadaran akan kekayaan budaya dan kerajinan tangan yang dimiliki Lebak.
Ritual tahunan Baduy, seperti perayaan Kawalu (puasa tiga bulan untuk menghormati leluhur) dan Seren Taun (syukuran panen), menunjukkan keterikatan mereka pada siklus alam dan kepercayaan Sunda Wiwitan. Selama Kawalu, Baduy Dalam melarang keras kunjungan dari luar untuk menjaga kesucian ritual.
Meskipun Baduy memilih isolasi, mereka memiliki utusan adat yang dikenal sebagai Pangaping yang bertugas menjadi jembatan komunikasi dengan pemerintah Lebak dan dunia luar. Setiap tahun, Baduy melakukan ritual berjalan kaki ke Rangkasbitung atau bahkan Serang untuk menyampaikan Seba, yaitu penyerahan hasil bumi dan laporan keadaan wilayah adat kepada Kepala Daerah sebagai bentuk pengakuan simbolis terhadap otoritas negara, sambil tetap menjaga independensi adat mereka. Seba ini merupakan salah satu ritual paling spektakuler dan disorot media, menegaskan peran Lebak sebagai rumah bagi masyarakat yang memilih jalan hidup berbeda.
Lebak tidak hanya menawarkan kedalaman budaya, tetapi juga kekayaan destinasi alam yang luar biasa, terutama di sepanjang garis pantai selatan dan di area konservasi pegunungan. Pengembangan pariwisata saat ini menjadi salah satu pendorong utama ekonomi Lebak, meskipun tantangannya adalah menjaga keberlanjutan lingkungan.
Kawasan pesisir selatan Lebak, khususnya di Kecamatan Bayah, telah menjadi primadona pariwisata Banten. Infrastruktur yang semakin baik memungkinkan wisatawan dari Jakarta dan Bandung mencapai lokasi ini dengan relatif mudah.
Pengembangan pariwisata di wilayah selatan ini harus berhadapan dengan masalah erosi pantai dan kebutuhan untuk meningkatkan fasilitas tanpa merusak keindahan alam yang asli. Konsep ekowisata menjadi kunci agar dampak pembangunan tidak melampaui kapasitas lingkungan.
Bagian utara dan timur Lebak dikuasai oleh hutan yang masuk dalam wilayah TNGHS. Kawasan ini menawarkan pariwisata berbasis alam dan pendidikan lingkungan:
Di sekitar Rangkasbitung, terdapat Situ Cibeureum, sebuah danau buatan yang menjadi ruang terbuka hijau dan lokasi rekreasi keluarga yang penting, menunjukkan bahwa Lebak juga memiliki potensi wisata air tawar yang dapat diakses dengan mudah oleh penduduk kota.
Alt Teks: Ilustrasi pemandangan laut Samudra Hindia, tebing karst Sawarna, dan garis pantai di Lebak Selatan.
Ekonomi Lebak didominasi oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, didukung oleh sektor jasa (terutama pariwisata). Meskipun bukan pusat industri besar seperti Tangerang, Lebak memiliki keunggulan komparatif dalam hasil bumi spesifik dan potensi pengembangan industri kreatif berbasis kearifan lokal.
Pertanian tetap menjadi tulang punggung, menyerap sebagian besar tenaga kerja. Selain padi sawah di utara, Lebak terkenal dengan beberapa komoditas unggulan:
Program pemerintah Lebak sering berfokus pada peningkatan nilai tambah produk pertanian melalui pengolahan pascapanen, agar petani tidak hanya menjual bahan mentah. Namun, tantangan infrastruktur jalan menuju pasar masih menjadi penghambat utama di beberapa wilayah terpencil.
Sektor kerajinan, terutama yang terkait dengan Suku Baduy, memberikan kontribusi signifikan terhadap identitas ekonomi Lebak. Pemasaran produk Baduy—kain tenun, tas koja, dan produk herbal—tidak hanya mendatangkan pendapatan bagi masyarakat adat (Baduy Luar), tetapi juga menempatkan Lebak dalam peta ekonomi kreatif nasional. Pemerintah daerah mendukung upaya promosi dan pelatihan agar kualitas produk kerajinan tetap terjaga keasliannya namun mampu memenuhi permintaan pasar yang lebih luas.
Selain kerajinan Baduy, Lebak juga memiliki tradisi membuat kerajinan bambu dan anyaman pandan. Sentra-sentra kerajinan ini tersebar di beberapa kecamatan, memanfaatkan bahan baku lokal yang melimpah. Inisiatif ekonomi sosial yang menghubungkan perajin pedesaan dengan pasar perkotaan melalui digitalisasi semakin berkembang di Rangkasbitung.
Meskipun memiliki potensi besar, Lebak menghadapi tantangan struktural, termasuk tingkat kemiskinan yang masih tinggi di beberapa wilayah pedalaman, dan isu lingkungan seperti pertambangan ilegal di wilayah perbukitan. Strategi pembangunan Lebak saat ini mencakup:
Pembangunan Lebak sangat erat kaitannya dengan sejarahnya; upaya untuk mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan yang disoroti oleh Multatuli di abad ke-19 kini diterjemahkan menjadi upaya nyata untuk membangun infrastruktur yang inklusif dan memberikan akses ekonomi yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Gastronomi Lebak mencerminkan percampuran antara kekayaan hasil bumi dataran Sunda dan pengaruh tradisi Banten serta pesisir. Meskipun sering dikaitkan dengan kuliner umum Banten, Lebak memiliki hidangan unik yang wajib dicicipi:
Jajanan khas Lebak umumnya memanfaatkan hasil bumi seperti singkong, ketan, dan gula aren, mencerminkan sifat agraria wilayah tersebut.
Kuliner di Lebak bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang praktik keberlanjutan. Misalnya, penggunaan hasil pertanian lokal dan bumbu-bumbu segar menunjukkan ketergantungan pada alam sekitar yang dijaga dengan baik.
Rangkasbitung adalah ibukota Kabupaten Lebak, kota yang secara historis memiliki peran penting sebagai pusat administrasi kolonial. Kini, kota ini berfungsi sebagai pusat pendidikan, kesehatan, dan perdagangan, menjembatani desa-desa pedalaman dengan jaringan nasional.
Sisa-sisa peninggalan era Multatuli masih terlihat di Rangkasbitung. Bangunan-bangunan tua seperti Kantor Asisten Residen (tempat Douwes Dekker bekerja) dan stasiun kereta api yang kuno memberikan nuansa historis. Meskipun banyak bangunan telah direnovasi atau berganti fungsi, suasana kota yang tenang dan keberadaan alun-alun tradisional tetap menjadikannya pusat aktivitas publik.
Untuk melestarikan warisan Multatuli dan sejarah perlawanan lokal, didirikan Museum Multatuli di Rangkasbitung. Museum ini berfungsi sebagai pusat edukasi, menampilkan artefak dan narasi sejarah yang berkaitan dengan masa kolonial, sistem tanam paksa, dan dampak novel Max Havelaar terhadap perubahan kebijakan di Hindia Belanda. Keberadaan museum ini sangat penting dalam memastikan bahwa kisah perjuangan rakyat Lebak di masa lalu tidak terlupakan, dan menjadi pengingat akan pentingnya keadilan sosial.
Sebagai simpul transportasi (dihubungkan oleh jalur kereta listrik KRL Commuter Line hingga Jakarta), Rangkasbitung menjadi gerbang masuk bagi investor dan wisatawan ke Lebak. Pengembangan kawasan perkotaan Rangkasbitung berfokus pada peningkatan layanan publik dan penataan kota yang ramah lingkungan. Kota ini juga menjadi titik awal bagi wisatawan yang ingin melanjutkan perjalanan ke kawasan Baduy di Leuwidamar atau ke Pantai Sawarna di selatan.
Lebak memegang peranan krusial dalam konservasi, tidak hanya melalui kawasan formal seperti TNGHS, tetapi juga melalui praktik adat masyarakatnya. Konservasi di Lebak memiliki dua dimensi utama: ilmiah/formal dan kultural/adat.
Sistem pengelolaan hutan Baduy adalah salah satu model konservasi non-formal paling berhasil di Indonesia. Larangan adat Baduy untuk menebang pohon di hutan larangan (Leuweung Titipan) dan hutan garapan (Leuweung Baladahan) secara sembarangan memastikan bahwa daerah tangkapan air hulu Sungai Ciujung dan Cisadane tetap utuh. Kualitas air yang dihasilkan dari hutan ini sangat vital bagi jutaan penduduk di Banten dan Jawa Barat.
Pengelolaan air mereka juga mencakup sistem irigasi sederhana yang efektif dan penggunaan air hanya untuk kebutuhan primer. Filosofi ini, di mana alam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan, telah memberikan manfaat ekologis yang jauh melampaui batas geografis wilayah adat mereka. Tantangannya adalah melindungi wilayah Baduy dari tekanan ekspansi pembangunan dan eksplorasi sumber daya alam di sekitarnya.
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) di Lebak adalah koridor penting bagi migrasi dan perlindungan satwa liar. Kawasan ini menampung sekitar 40% dari total populasi Owa Jawa yang tersisa di dunia dan berfungsi sebagai habitat utama bagi Macan Tutul Jawa, Elang Jawa, dan Kucing Hutan. Kawasan Lebak di TNGHS dikenal memiliki tingkat keanekaragaman flora yang tinggi, termasuk banyak jenis anggrek hutan dan pohon-pohon endemik.
Program reintroduksi satwa dan pemantauan ekologi yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat di Lebak menunjukkan komitmen terhadap perlindungan kekayaan alam ini. Upaya ini memerlukan kerja sama erat dengan masyarakat desa penyangga (seperti di Citorek dan sekitarnya) agar mereka berperan aktif sebagai mitra konservasi dan bukan sekadar objek yang diatur.
Perkembangan Lebak juga diukur dari peningkatan kualitas hidup masyarakatnya. Setelah era kolonial yang meninggalkan warisan kemiskinan struktural, fokus kini beralih pada peningkatan sumber daya manusia (SDM).
Di wilayah perkotaan seperti Rangkasbitung, akses pendidikan relatif baik. Namun, di kecamatan-kecamatan terpencil, terutama yang berbatasan dengan Pegunungan Halimun dan pantai selatan, akses ke sekolah yang layak dan tenaga pengajar berkualitas masih menjadi tantangan. Jarak tempuh yang jauh dan kondisi infrastruktur jalan sering menghambat anak-anak pedalaman untuk mendapatkan pendidikan yang merata.
Khususnya dalam konteks Suku Baduy, isu pendidikan menjadi kompleks. Baduy Dalam menolak pendidikan formal, sementara Baduy Luar mulai menerima pendidikan informal dan bahkan sekolah umum, menunjukkan adanya pergeseran nilai dalam kelompok penyangga, namun dengan tetap menghormati pikukuh inti. Pemerintah harus menemukan cara untuk memberikan layanan pendidikan yang relevan tanpa mengganggu kearifan lokal Baduy.
Pusat kesehatan Lebak terletak di Rangkasbitung (RSUD), namun jaringan Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) harus bekerja keras menjangkau desa-desa terpencil. Isu kesehatan lingkungan, seperti sanitasi dan akses air bersih, masih menjadi fokus utama, terutama di desa-desa yang jauh dari pusat kota. Ketersediaan tenaga medis yang memadai di daerah terpencil juga merupakan prioritas pembangunan Lebak saat ini.
Isu sosial paling menarik di Lebak adalah dinamika antara pelestarian tradisi dan arus modernisasi. Kebudayaan Baduy, yang kini menjadi daya tarik utama, terus berinteraksi dengan dunia luar. Bagaimana cara mengelola pariwisata Baduy agar tetap menjaga kesucian adat tanpa eksploitasi? Ini adalah pertanyaan kunci yang memerlukan regulasi ketat dari pemerintah Lebak dan konsultasi yang mendalam dengan Pu’un dan lembaga adat Baduy.
Peningkatan jumlah wisatawan ke kawasan Baduy, meskipun membawa dampak ekonomi positif, juga membawa ancaman kontaminasi budaya dan sampah. Oleh karena itu, Lebak harus mengembangkan model pariwisata yang bertumpu pada edukasi, penghormatan, dan batasan yang jelas, memastikan bahwa inti kehidupan Baduy tetap lestari, sementara Lebak sendiri maju menuju masa depan yang lebih sejahtera dan berkeadilan.
Keseluruhan cerita Lebak adalah narasi yang kuat tentang ketahanan. Dari kesengsaraan kolonial yang mendalam hingga keberanian Baduy untuk menjaga hutan mereka di tengah modernitas yang mengancam, Lebak membuktikan dirinya sebagai wilayah yang kaya akan pelajaran sejarah, alam yang memukau, dan masyarakat yang memegang teguh identitasnya. Ia adalah cermin dari Indonesia: sebuah perpaduan unik antara masa lalu yang heroik dan potensi masa depan yang cerah, asalkan keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian tetap menjadi prioritas utama.