Warisan Maritim Kota Makassar: Siri' Na Pacce

Kota Makassar, sering disingkat sebagai Makas dalam dialek informal, adalah sebuah episentrum peradaban maritim yang telah memainkan peran krusial dalam jaringan perdagangan dunia selama berabad-abad. Jauh sebelum era modern, wilayah ini dikenal sebagai pusat Kesultanan Gowa dan Tallo yang kuat, yang mendominasi arus rempah-rempah dan komoditas penting dari timur Nusantara. Kekuatan pelaut Makassar tidak hanya diakui di perairan lokal, namun juga menjangkau hingga ke Australia Utara dan Madagaskar, menciptakan jalur perdagangan yang menghubungkan berbagai peradaban.

Eksplorasi terhadap Makassar tak akan lengkap tanpa memahami filosofi inti yang membimbing setiap langkah hidup masyarakatnya: Siri' Na Pacce. Dua kata kunci ini, kehormatan dan keteguhan hati, membentuk pondasi moral, sosial, dan bahkan politik Suku Makassar. Artikel ini akan membawa pembaca menembus lapisan sejarah, menyingkap detail kebudayaan, seni, kuliner, dan arsitektur yang menjadikannya permata yang tak lekang oleh waktu di tengah arus modernisasi.

Tidak ada pembahasan tentang Makas yang dapat mengabaikan Siri' Na Pacce. Ini bukan sekadar pepatah, melainkan kode etik, sistem nilai, dan panduan hidup yang mengatur interaksi sosial, kehormatan pribadi, dan keberanian. Konsep ini adalah manifestasi sejati dari identitas Suku Makassar yang terkenal teguh dan pantang menyerah.

Makna Mendalam Siri'

Siri' secara harfiah berarti malu atau rasa malu, namun dalam konteks filosofis, ia merujuk pada kehormatan, harga diri, dan martabat. Siri' memiliki beberapa dimensi yang sangat penting: Siri' Biasa (rasa malu umum, seperti malu melakukan perbuatan tercela) dan Siri' Masiri' (kehormatan yang harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan). Melanggar Siri' berarti menghilangkan esensi kemanusiaan seseorang di mata komunitas. Kehilangan Siri' adalah aib yang lebih berat daripada kematian, mendorong individu untuk mempertahankan kehormatannya bahkan melalui tindakan yang ekstrem.

Jika kehormatan seseorang atau keluarganya dinodai—seperti pelecehan, pencurian, atau penghinaan terbuka—maka Siri' Masiri' lah yang harus ditegakkan. Konsekuensi dari penegakan Siri' ini sering kali melibatkan keberanian dan ketegasan. Masyarakat Makassar memandang bahwa mempertahankan Siri' adalah kewajiban yang sakral, melebihi hukum formal, dan menjamin struktur sosial tetap berpegangan pada prinsip moralitas yang ketat. Siri' mencerminkan kedudukan sosial, integritas, dan warisan leluhur. Apabila Siri’ seseorang terenggut, seluruh keluarga dan komunitasnya merasa terhina, menuntut pemulihan nama baik melalui cara apapun yang dianggap perlu dan bermartabat oleh adat.

Hakikat Pacce

Pacce diterjemahkan sebagai pedih, perih, atau rasa sakit yang mendalam. Namun, dalam konteks sosial, Pacce adalah semangat juang, empati kolektif, dan keteguhan hati yang luar biasa. Pacce adalah kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain (empati sosial) dan yang lebih penting, kemampuan untuk bertahan dan bangkit dalam menghadapi kesulitan (ketahanan diri). Ia adalah sumber energi yang mendorong Suku Makassar untuk berani menghadapi risiko, terutama dalam berlayar di samudra luas atau berperang melawan penjajah.

Pacce mengajarkan bahwa kesulitan harus dihadapi dengan kepala tegak. Ia menciptakan solidaritas yang kuat; jika satu anggota komunitas menderita, yang lain merasakan Pacce yang sama, dan kewajiban moral untuk membantu atau membalas ketidakadilan itu muncul secara otomatis. Keterkaitan antara Siri' dan Pacce adalah simbiotik: Pacce memberikan kekuatan dan keberanian yang diperlukan untuk menegakkan Siri', sementara Siri' memberikan alasan moral yang mulia untuk menunjukkan Pacce.

Sejarah Makassar adalah sejarah tentang gelombang laut. Kesultanan Gowa dan Tallo, yang berpusat di wilayah ini, mencapai puncak kejayaan pada abad ke-16 dan ke-17. Dikenal sebagai Kerajaan kembar atau Kerajaan Makas, mereka berhasil memposisikan diri sebagai bandar transit internasional yang paling penting di timur Nusantara, menantang hegemoni Malaka setelah jatuhnya ke tangan Portugis.

Bandar Niaga Terbuka: Pelabuhan Somba Opu

Inti dari kejayaan maritim Makas adalah kebijakan pelabuhan terbuka yang diterapkan oleh Sultan-Sultan Gowa. Pelabuhan Somba Opu, yang kini hanya tinggal reruntuhan bersejarah, adalah tempat bertemunya pedagang dari Cina, Gujarat, Inggris, Portugis, hingga Jawa. Mereka bebas berdagang tanpa monopoli, sebuah kebijakan yang sangat kontras dengan ambisi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Belanda yang ingin menguasai seluruh jalur rempah. Kebebasan niaga ini menarik komoditas berharga, menjadikan Makassar sebagai gudang rempah-rempah yang tak ternilai harganya.

Peran Makas sebagai penghubung antara Maluku (penghasil rempah) dan barat (pasar Eropa/Asia) membuatnya menjadi target utama kolonial. Keberanian para Karaeng (Raja) seperti Sultan Hasanuddin—yang dijuluki ‘Ayam Jantan dari Timur’ oleh Belanda—menjadi legenda. Hasanuddin memimpin perlawanan keras, menolak tunduk pada monopoli VOC. Pertempuran sengit yang terjadi di sekitar Benteng Somba Opu menandai salah satu babak paling heroik dan tragis dalam sejarah perlawanan Nusantara.

Perjanjian Bongaya dan Kejatuhan Somba Opu

Meskipun memiliki Pacce yang tak tergoyahkan, kekuatan militer Gowa akhirnya harus mengakui keunggulan strategi Belanda yang didukung oleh sekutu lokal (terutama Arung Palakka dari Bone). Pada tahun 1667, Perjanjian Bongaya ditandatangani, yang secara efektif membatasi kedaulatan Gowa dan memaksa penutupan pelabuhan terbuka. Penutupan Somba Opu dan pembangunan Benteng Rotterdam di lokasi yang lebih strategis oleh Belanda mengubah peta perdagangan, namun tidak memadamkan semangat pelaut Makas.

Warisan Pelayaran: Padewakang dan Phinisi

Kegigihan Suku Makassar sebagai pelaut terpatri dalam kapal-kapal mereka. Dua jenis kapal yang paling terkenal adalah Padewakang dan Phinisi. Padewakang adalah kapal dagang tua yang digunakan untuk menjelajahi perairan luas, termasuk pelayaran tahunan ke Arnhem Land, Australia Utara, untuk mencari teripang (tripang). Interaksi Makas dengan suku Aborigin di sana menciptakan jalur budaya dan perdagangan yang unik, meninggalkan warisan linguistik dan genealogi yang masih dipelajari hingga kini.

Phinisi, meskipun sering diasosiasikan dengan Bugis, adalah kapal layar yang dikembangkan dari tradisi pembuatan kapal di Sulawesi Selatan. Kapal ini memiliki tujuh layar dan menjadi simbol kebanggaan maritim Indonesia. Pembuatan Phinisi tidak hanya didasarkan pada ilmu navigasi, tetapi juga ritual adat yang ketat, menghubungkan pembuat kapal dengan kepercayaan kosmologis Makas.

Warisan pelayaran ini menjamin bahwa meskipun jalur perdagangan formal Makassar sempat dibekukan oleh VOC, keterampilan dan keberanian bahari (Pacce) mereka terus hidup. Mereka beralih menjadi pedagang antarpulau dan nelayan jarak jauh, menjaga identitas mereka sebagai ‘Orang Laut’ yang tak tertandingi.

Kebudayaan Makas kaya akan warisan tradisi lisan, tarian, dan seni pahat. Semuanya berakar kuat pada nilai-nilai Siri' Na Pacce dan penghormatan terhadap alam, terutama laut. Ritual adat sering kali menjadi jembatan antara dunia spiritual dan kehidupan sehari-hari.

Aksara Lontara: Penyimpan Ilmu Pengetahuan

Suku Makassar memiliki sistem aksara tradisional yang unik, yaitu Aksara Lontara. Aksara ini digunakan untuk menulis catatan sejarah, hukum adat (undang-undang kerajaan), silsilah bangsawan, dan karya sastra epik. Lontara adalah simbolisasi kecerdasan dan peradaban yang tinggi. Nama 'Lontara' diambil dari daun lontar yang dulunya menjadi media tulis utama.

Salah satu karya sastra terbesar yang ditulis menggunakan Lontara (meskipun lebih dekat ke Bugis, namun sangat mempengaruhi budaya Makassar) adalah I La Galigo, epos mitologi yang sangat panjang, dianggap sebagai salah satu karya sastra terpanjang di dunia. Epos ini menceritakan kisah dewa-dewi dan manusia di masa lampau, memberikan wawasan tentang pandangan dunia, kosmologi, dan sistem nilai masyarakat Sulawesi Selatan.

Seni Tari dan Musik

Tarian tradisional Makassar sering kali menggambarkan kepahlawanan, penyambutan bangsawan, atau ritual panen. Salah satu yang terkenal adalah Tari Pakarena. Tarian ini menampilkan keanggunan penari wanita dengan gerakan tangan dan kaki yang lembut namun tegas, sering diiringi oleh alat musik tradisional seperti gendang dan suling. Kontras antara gerakan yang halus dan irama musik yang cepat melambangkan dualitas dalam budaya Makas: kelembutan dalam berinteraksi (Siri') dan ketegasan dalam prinsip (Pacce).

Arsitektur Tradisional: Balla Lompoa

Rumah adat Makassar, yang disebut Balla Lompoa (Rumah Besar), adalah struktur panggung yang indah dan fungsional. Rumah ini mencerminkan hierarki sosial dan kosmologi. Dibangun dari kayu keras, Balla Lompoa memiliki atap yang curam dan bagian kolong yang tinggi. Tingkat ketinggian rumah, jumlah tangga, dan ukiran tertentu pada rumah bangsawan diatur oleh adat yang sangat ketat, mencerminkan Siri' keluarga yang tinggal di dalamnya. Kolong rumah sering digunakan untuk menyimpan alat pertanian atau sebagai tempat berkumpul masyarakat.

Arsitektur ini juga menunjukkan adaptasi terhadap iklim tropis dan mitigasi bencana seperti banjir atau serangan binatang buas di masa lalu. Setiap detail—mulai dari posisi tiang utama hingga orientasi bangunan—mematuhi aturan adat yang diturunkan secara turun-temurun, memastikan bahwa Pacce dalam mempertahankan warisan budaya tetap terjaga.

Kuliner Makassar adalah perpaduan rasa yang kaya dan berani, sering kali menggunakan rempah-rempah yang kuat, mencerminkan kekayaan sumber daya alam dan jalur perdagangan historis. Makanan khas Makas tidak hanya mengisi perut, tetapi juga bagian integral dari ritual sosial dan penyambutan kehormatan (Siri').

Coto Makassar

Coto Makassar adalah ikon kuliner yang wajib dicicipi. Ini adalah sup daging sapi yang kaya rasa, sering kali mengandung jeroan, yang dimasak dengan bumbu kacang tanah dan berbagai rempah khas. Bumbu kental ini memberikan rasa gurih yang mendalam. Coto disajikan bersama Ketupat atau Burasa (nasi ketan yang dibungkus daun pisang). Filosofi di balik Coto terletak pada kompleksitas bumbunya, yang membutuhkan kesabaran dan keahlian (Pacce) dalam pembuatannya, menghasilkan hidangan yang bernilai tinggi (Siri').

Konro

Sop Konro, khususnya Konro Bakar, adalah hidangan tulang iga sapi yang dimasak hingga empuk dalam kuah kental berwarna cokelat kehitaman. Warna gelap ini berasal dari Kluwek, rempah yang memberikan aroma khas dan rasa umami yang unik. Konro mencerminkan kemewahan dan kegemaran Makas terhadap daging berkualitas, sering disajikan pada acara-acara besar atau untuk menghormati tamu penting.

Pallubasa

Serupa dengan Coto, Pallubasa adalah sup daging yang memiliki perbedaan signifikan dalam kuah, yang lebih didominasi santan dan bumbu yang lebih ringan, namun tetap kaya rasa. Yang membedakannya adalah tradisi penyajiannya: Pallubasa sering ditambahkan kuning telur mentah di atasnya sebelum disantap, menambah kekayaan tekstur dan nutrisi.

Jalangkote dan Es Pisang Ijo

Untuk makanan ringan, Jalangkote adalah kudapan gurih yang mirip pastel, berisi sayuran, daging, dan bihun, yang disajikan dengan sambal cuka pedas. Sementara itu, Es Pisang Ijo adalah hidangan penutup yang sangat populer. Pisang yang dibalut adonan tepung hijau (yang mendapat warna dari daun suji) disajikan dengan bubur sumsum putih, sirup merah, dan es serut. Hidangan ini menawarkan rasa manis dan sejuk, menjadi penyeimbang sempurna setelah menyantap makanan utama yang kaya rempah. Keindahan tampilan Es Pisang Ijo sendiri menunjukkan perhatian Makas terhadap estetika penyajian (Siri').

Untuk benar-benar memahami Makassar, kita harus kembali ke era konflik abad ke-17 dan menganalisis mengapa perjuangan mereka melawan kolonialisme menjadi salah satu yang paling gigih di Nusantara. Kegigihan (Pacce) mereka tidak hanya bersumber dari ambisi politik, tetapi dari pertahanan filosofi Siri' Na Pacce yang terancam oleh monopoli perdagangan asing.

Analisis Kritis Perang Makassar (1666–1669)

Perang Makassar bukan hanya perebutan wilayah, melainkan perang ideologi. Belanda (VOC) membawa ideologi monopoli dan kontrol absolut, sementara Gowa-Tallo mewakili ideologi perdagangan bebas. Sultan Hasanuddin, dengan Pacce yang tak tertandingi, menolak keras permintaan VOC untuk membatasi pedagang lain di pelabuhan mereka. VOC melihat kebijakan pelabuhan terbuka Gowa sebagai ancaman langsung terhadap keuntungan mereka di Maluku. Konflik ini memuncak dengan pengepungan Benteng Somba Opu. Meskipun Gowa adalah kekuatan laut yang tangguh, Belanda berhasil memecah belah aliansi lokal, memanfaatkan persaingan antara Gowa dan Bone.

Kekalahan dalam perang tersebut, dan penandatanganan Perjanjian Bongaya, adalah pukulan telak terhadap Siri' masyarakat Makassar. Namun, alih-alih menyerah total, banyak bangsawan dan rakyat biasa memilih untuk merantau (melakukan migrasi) ke berbagai wilayah di Nusantara dan Asia Tenggara, membawa serta keahlian maritim mereka. Diaspora ini menyebarkan nilai-nilai Siri' Na Pacce ke Malaysia, Filipina Selatan, Kalimantan, dan tempat lain, memastikan bahwa semangat Makas tidak hilang meskipun kerajaannya melemah.

Peran Benteng Rotterdam Hari Ini

Benteng Rotterdam, yang dulunya bernama Benteng Ujung Pandang, adalah simbol kolaborasi paksa dan penguasaan. Setelah direbut dan dibangun ulang oleh Belanda, benteng ini menjadi pusat pemerintahan dan pertahanan VOC di Sulawesi. Ironisnya, kini benteng ini menjadi salah satu warisan budaya terpenting Makas, berfungsi sebagai museum dan pusat kegiatan budaya. Keberadaan Benteng Rotterdam hari ini adalah pengingat visual tentang bagaimana semangat Pacce bertahan melampaui bangunan fisiknya. Ia menjadi saksi bisu perjuangan untuk mempertahankan Siri' dan kedaulatan.

Dinamika Sosial dan Strata Siri'

Struktur sosial tradisional Makassar sangat terstratifikasi, meskipun kini telah melunak. Strata ini memengaruhi jenis Siri' yang dimiliki. Lapisan bangsawan (Anak Mattola) memiliki Siri' yang lebih kompleks untuk dijaga, terkait dengan silsilah dan tanggung jawab kepemimpinan. Lapisan rakyat biasa (Tau Biasa) juga memiliki Siri', yang terkait dengan etos kerja dan kejujuran. Pacce, di sisi lain, bersifat universal; ia adalah semangat kolektif yang mempersatukan semua strata ketika menghadapi ancaman eksternal.

Konsep ‘Mappatuo Siri’ (‘Menghidupkan Siri’) adalah tindakan sosial yang paling dihargai, yang berarti seseorang harus selalu menjaga dan meningkatkan kehormatan dirinya dan keluarganya melalui perilaku terpuji dan prestasi. Ini menciptakan dorongan sosial yang kuat menuju keberhasilan, baik dalam pendidikan, bisnis, maupun karir pelayaran.

Makas hari ini adalah kota metropolitan yang ramai, pusat perdagangan dan logistik di Indonesia Timur. Transformasi dari bandar niaga tradisional menjadi kota pelabuhan modern melibatkan tantangan besar, terutama dalam menyeimbangkan antara pembangunan infrastruktur dan pelestarian warisan budaya yang sangat kaya.

Pantai Losari: Ikon Modern dengan Sentuhan Tradisi

Pantai Losari adalah jantung kota Makassar modern. Terkenal dengan julukan 'tempat makan di sore hari' (karena banyaknya penjual makanan khas di masa lalu), Losari telah berevolusi menjadi promenade tepi laut yang ikonik. Di sana berdiri Masjid Terapung Amirul Mukminin, yang arsitekturnya memadukan unsur modernitas dengan spiritualitas Islam yang kuat—agama yang dianut mayoritas masyarakat Makassar sejak abad ke-17.

Losari menjadi tempat di mana masyarakat Makas kontemporer bertemu. Ini adalah ruang publik yang merefleksikan Pacce pembangunan; keinginan kuat untuk maju sebagai kota besar, sambil tetap menawarkan pemandangan sunset yang menenangkan, mengingatkan pada hubungan historis mereka dengan laut.

Pendidikan dan Lontara Digital

Upaya pelestarian Siri' warisan budaya kini merambah ke ranah digital. Institusi pendidikan dan komunitas lokal gencar mengajarkan kembali Bahasa Makassar dan Aksara Lontara. Ada gerakan untuk mendigitalisasi manuskrip-manuskrip tua yang menyimpan catatan sejarah dan adat, memastikan bahwa Pacce pengetahuan leluhur tetap diakses oleh generasi mendatang. Ini adalah bentuk Pacce kontemporer: kegigihan untuk melestarikan identitas di hadapan globalisasi.

Phinisi sebagai Brand Global

Kapal Phinisi, yang merupakan hasil Pacce dan keterampilan para leluhur, kini telah diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Pengakuan ini meningkatkan Siri' bangsa Indonesia dan secara khusus Makas dan Bugis sebagai ahli pembuat kapal tradisional. Phinisi modern tidak lagi hanya berlayar untuk dagang teripang, tetapi juga menjadi kapal pesiar mewah atau kapal ekspedisi, membawa cerita Pacce dan keberanian mereka ke penjuru dunia.

Untuk memahami kedalaman budaya Makas, perlu diperluas bagaimana Siri' dan Pacce memengaruhi keputusan ekonomi dan sosial sehari-hari, bukan hanya dalam konteks sejarah perang. Kedua prinsip ini membentuk etos kerja yang unik dan mekanisme penyelesaian konflik yang khas.

Etos Berbisnis Berbasis Siri'

Dalam perdagangan, menjaga Siri' berarti menjaga nama baik dan kepercayaan (trust). Seorang pedagang Makassar yang telah kehilangan Siri' karena tidak jujur akan kesulitan untuk mendapatkan kembali kedudukan sosialnya, karena kehormatan adalah mata uang yang lebih berharga daripada uang tunai. Ini menciptakan sistem bisnis yang mengutamakan janji, ketepatan waktu, dan kualitas barang—semua didorong oleh keinginan kolektif untuk ‘Mappatuo Siri’ dalam profesi mereka.

Filosofi ini menjelaskan mengapa Suku Makassar dikenal sangat gigih dalam merintis usaha. Pacce mendorong mereka untuk mengambil risiko besar, seperti berlayar ke pulau terpencil, dan menghadapi ketidakpastian pasar. Ketika gagal, Pacce mewajibkan mereka untuk tidak menyerah, melainkan bangkit dan mencoba lagi dengan semangat yang sama kuatnya.

Mekanisme Penyelesaian Konflik Adat

Ketika terjadi pelanggaran Siri' yang serius, penyelesaiannya tidak selalu diserahkan kepada hukum negara. Adat (Pabbicara) memainkan peran penting. Musyawarah adat (A'dang-A'dang) dilakukan untuk menentukan sejauh mana Siri' telah tercemar dan bagaimana pemulihannya harus dilakukan. Pemulihan ini bisa berupa denda adat (denda berupa kerbau atau emas), permintaan maaf publik, atau bahkan pengasingan sosial. Tujuannya adalah memulihkan keseimbangan kehormatan yang terganggu, bukan semata-mata menghukum pelaku. Konsep ini menunjukkan betapa sentralnya Siri' dalam menjaga ketertiban sosial Makas.

Peran Pakaian Adat dan Simbolisme

Pakaian adat Makassar, seperti Baju Bodo untuk wanita dan Jas Tutu untuk pria, adalah simbolisasi visual dari Siri'. Kain dan warna yang dikenakan, terutama pada acara formal seperti pernikahan atau penjemputan tamu, mengindikasikan strata sosial, usia, dan status. Mengenakan pakaian adat dengan martabat adalah bentuk penghargaan terhadap Siri' diri sendiri dan komunitas. Jas Tutu, yang elegan dan tertutup, melambangkan kehormatan dan sikap resmi, mencerminkan ketegasan Pacce dalam penampilan.

Warna-warna cerah pada Baju Bodo memiliki makna tersendiri; misalnya, kuning sering dikaitkan dengan bangsawan. Seluruh rangkaian pakaian dan aksesoris adalah representasi simbolis dari sejarah dan etika yang diwariskan. Oleh karena itu, ritual berpakaian pun dianggap sebagai bagian penting dari upaya menjaga Siri' leluhur.

Siri' Na Pacce, dalam semua dimensi ini, adalah mekanisme pertahanan budaya. Ia memastikan bahwa meskipun Makassar telah mengalami penjajahan, perubahan rezim, dan modernisasi yang cepat, identitas intinya sebagai masyarakat yang menghargai kehormatan dan keteguhan hati tetap utuh. Ini adalah warisan yang jauh lebih berharga daripada harta karun rempah-rempah yang pernah mereka perdagangkan.

Makassar, atau Makas, berdiri sebagai bukti hidup kekuatan warisan maritim yang dibentuk oleh dua pilar tak terpisahkan: Siri' (kehormatan) dan Pacce (keteguhan hati). Dari reruntuhan pelabuhan Somba Opu hingga gemerlap Pantai Losari modern, kisah kota ini adalah narasi tentang adaptasi dan resistensi. Pelaut-pelaut ulungnya tidak hanya menaklukkan lautan, tetapi juga menanamkan filosofi hidup yang kokoh, yang terus memandu jutaan orang di Sulawesi Selatan.

Warisan sejarah yang mencakup perdagangan teripang hingga penulisan epik I La Galigo, serta keindahan arsitektur Balla Lompoa dan kelezatan kuliner Konro, semuanya saling terkait oleh benang merah Siri' Na Pacce. Prinsip-prinsip ini memastikan bahwa ketika tantangan global datang, masyarakat Makas memiliki pondasi moral yang kuat untuk mempertahankan identitas mereka sambil menyambut kemajuan.

Makas bukan sekadar lokasi geografis; ia adalah sebuah ideologi keberanian. Ia adalah tempat di mana kehormatan selalu diperjuangkan hingga titik terakhir, dan penderitaan selalu dihadapi dengan semangat yang tak pernah padam. Masa depan kota ini akan terus dibentuk oleh kebanggaan mereka sebagai pewaris salah satu peradaban maritim terbesar di Nusantara, didorong oleh Pacce untuk selalu melangkah maju, dan menjaga Siri' tetap tegak di mata dunia.

Setiap gelombang yang menghantam dermaga, setiap hembusan angin yang mengisi layar Phinisi, dan setiap tulisan yang terukir dalam Aksara Lontara, semuanya menceritakan kisah Makas: kisah tentang manusia yang menolak untuk dibungkam, yang menjadikan kehormatan dan keteguhan sebagai kompas abadi mereka dalam mengarungi samudera kehidupan. Inilah warisan yang terus hidup, menjadikan Makassar sebuah kota yang kaya makna dan inspirasi bagi seluruh Indonesia.

Penting untuk diakui bahwa pengaruh Makas melampaui batas geografis Sulawesi Selatan. Interaksi budaya yang terjadi akibat migrasi dan perdagangan telah memperkaya kosakata, seni, dan bahkan sistem politik di wilayah-wilayah yang jauh. Ambil contoh diaspora Makassar yang membawa serta sistem tata kelola laut yang berakar pada hukum adat yang kuat. Keberadaan mereka di Malaysia, terutama Sabah dan Sarawak, serta di berbagai pulau di Indonesia bagian timur, menunjukkan sejauh mana Pacce mereka untuk bertahan hidup dan berdagang telah mengubah lanskap regional. Mereka bukan hanya sekadar pedagang; mereka adalah duta budaya yang secara tidak langsung menyebarkan nilai-nilai luhur Siri' Na Pacce di tempat mereka berlabuh.

Dalam konteks modern, tantangan yang dihadapi Makas adalah bagaimana menerjemahkan Siri' dan Pacce ke dalam etika pemerintahan dan pembangunan kota yang berkelanjutan. Siri' menuntut integritas dalam pelayanan publik, sementara Pacce menuntut kegigihan dalam mengatasi masalah sosial dan ekonomi, seperti kemiskinan dan kesenjangan infrastruktur. Ketika Makas berjuang untuk menjadi pusat logistik dan teknologi, keterikatan pada filosofi leluhur berfungsi sebagai jangkar moral, mencegah pembangunan yang bersifat merusak atau eksploitatif terhadap sumber daya alam dan manusia.

Karya seni kontemporer di Makassar juga sering mengambil inspirasi dari Lontara dan mitologi I La Galigo, menempatkan warisan kuno dalam bingkai modern. Seniman muda menggunakan medium digital untuk mengekspresikan kembali epos nenek moyang mereka, memastikan bahwa narasi keberanian dan keindahan Makas tidak hanya tersimpan di museum, tetapi juga hidup di ruang kreatif masa kini. Ini adalah bentuk inovasi yang didorong oleh Pacce budaya—kemauan untuk berjuang demi relevansi abadi.

Secara spiritual, Makassar tetap merupakan kota yang religius, di mana Islam Sunni telah berpadu harmonis dengan adat istiadat pra-Islam. Ritual-ritual adat seperti Mappadendang (ritual panen) atau ritual pelayaran tertentu, seringkali diintegrasikan dengan doa-doa Islami, menciptakan sinkretisme yang unik dan kuat. Keseimbangan ini mencerminkan Siri' kolektif untuk menghormati masa lalu sambil memegang teguh keyakinan agama yang dianut. Keharmonisan ini adalah bukti lebih lanjut dari kemampuan adaptasi Suku Makassar yang luar biasa, didukung oleh ketahanan emosional yang diasah oleh Pacce.

Pengaruh Makas pada dunia akademik juga signifikan. Studi tentang pelayaran jarak jauh, antropologi budaya, dan linguistik di Sulawesi Selatan telah menjadi subjek penelitian global. Para sejarawan terus menggali lebih dalam peran Gowa-Tallo dalam menantang dominasi Eropa di Asia Tenggara, menempatkan perlawanan mereka sebagai salah satu yang paling terorganisir dan berjangka panjang. Pengakuan ini menambah dimensi Siri' regional, menegaskan peran Makas sebagai mercusuar perlawanan maritim. Kota ini terus menarik para peneliti yang ingin memahami bagaimana sebuah peradaban, meskipun kecil di peta dunia modern, mampu memberikan dampak yang begitu besar pada sejarah perdagangan dan budaya.

Setiap kunjungan ke Makas akan selalu membawa pengunjung melintasi waktu. Dari aroma rempah-rempah Konro yang mengingatkan pada era perdagangan bebas di Somba Opu, hingga pemandangan Phinisi yang masih berlayar di pelabuhan modern, Makassar adalah mozaik yang utuh. Ia mengajarkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada ukuran kekuasaan militer, melainkan pada ketegasan moral (Siri') dan semangat pantang menyerah (Pacce) yang diwariskan dari generasi ke generasi. Inilah identitas abadi dari Kota Anging Mammiri.

Warisan Makas, dengan demikian, adalah sebuah pelajaran tentang ketahanan peradaban. Ketika banyak kerajaan laut lainnya runtuh dan dilupakan, ingatan kolektif masyarakat Makas—dijaga oleh Siri' Na Pacce—memastikan bahwa kisah mereka terus diceritakan. Dari pembangunan kembali ekonomi pasca-perang hingga inovasi digital hari ini, semua upaya ini adalah manifestasi konkret dari Pacce. Mereka berjuang bukan hanya untuk bertahan, tetapi untuk makmur dalam kehormatan. Dan selama masyarakat Makassar terus menghargai dua prinsip ini, warisan maritim mereka akan terus berlayar, jauh melampaui batas horizon.

Pendalaman lebih lanjut mengenai arsitektur Balla Lompoa menunjukkan bahwa setiap tiang dan ukiran memiliki makna spiritual. Tiang utama (possi bola) sering kali dihubungkan dengan roh leluhur dan kosmologi. Rumah ini bukan sekadar tempat tinggal; ia adalah mikrokosmos dari alam semesta dan hierarki sosial. Tinggi kolong rumah seringkali melambangkan status kebangsawanan, sebuah indikator visual yang menegaskan Siri’ pemiliknya di mata publik. Konstruksi rumah panggung ini juga fungsional secara sosial, memungkinkan kolongnya digunakan untuk pertemuan komunal, memperkuat ikatan Pacce.

Dalam seni musik tradisional, instrumen seperti kesok-kesok (alat musik gesek) dan gabbana (sejenis rebana) sering digunakan untuk mengiringi cerita-cerita kepahlawanan. Melodi yang dihasilkan seringkali melankolis sekaligus heroik, mencerminkan duel antara kesedihan akibat kehilangan (Pacce) dan kebanggaan akan perjuangan (Siri'). Lagu-lagu ini berfungsi sebagai media transmisi sejarah lisan, mengajarkan generasi muda tentang keberanian Sultan Hasanuddin dan Karaeng-Karaeng terdahulu yang berjuang demi kehormatan.

Bahkan dalam tarian Pakarena, yang terkesan sangat lembut, terdapat simbolisme Siri' yang mendalam. Gerakan mata yang rendah dan minimnya kontak mata langsung adalah ekspresi dari kesopanan dan kehormatan yang tinggi. Sementara itu, gerakan tangan yang gemulai namun terukur mencerminkan pengendalian diri dan ketegasan batin. Gerakan yang dilakukan oleh penari adalah meditasi visual terhadap nilai-nilai inti Makas: keindahan harus diiringi oleh etika yang ketat.

Kuliner Makas, yang telah dijelaskan sebelumnya, memiliki dimensi Pacce dalam proses pembuatannya. Proses memasak Coto Makassar atau Konro yang memakan waktu lama, membutuhkan rempah-rempah yang spesifik dan kesabaran, adalah cerminan dari kegigihan dan dedikasi. Makanan disiapkan dengan hati-hati sebagai bentuk penghormatan (Siri') kepada tamu. Makan bersama juga merupakan ritual penguatan Pacce sosial, di mana berbagi makanan lezat melambangkan solidaritas komunitas yang tak terputuskan.

Pelayaran Teripang ke Marege’ bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga diplomasi maritim kuno. Para pelaut Makas menjalin hubungan yang damai dan saling menghormati dengan suku Aborigin Yirrkala dan Yolngu. Mereka membawa beras, tembakau, dan logam sebagai barter, dan meninggalkan warisan berupa pengetahuan tentang pengolahan teripang. Keberanian mereka melintasi samudra adalah Pacce dalam bentuk yang paling murni, sedangkan kemampuan mereka untuk berinteraksi damai dengan budaya yang sama sekali berbeda adalah ekspresi tertinggi dari Siri' mereka sebagai tamu yang terhormat.

Dengan demikian, Makassar terus menjadi laboratorium hidup di mana tradisi dan modernitas berdialog tanpa henti. Setiap langkah pembangunan di kota ini harus diukur dengan standar Siri' dan Pacce: Apakah pembangunan ini menambah kehormatan kolektif (Siri')? Dan apakah kita memiliki keteguhan hati (Pacce) untuk memastikan pembangunan ini adil dan berkelanjutan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan arah perjalanan Makas di masa depan, memastikan bahwa ia tetap menjadi jangkar budaya bagi Indonesia Timur dan pelabuhan kehormatan bagi dunia.

Pengakuan UNESCO terhadap Phinisi adalah pengakuan global terhadap Pacce. Phinisi bukan sekadar kapal, ia adalah filosofi yang dibangun dari kayu: ketahanan menghadapi badai, kemampuan navigasi yang intuitif, dan keharmonisan antara manusia dan alam. Kehadiran Phinisi di perairan dunia menjadi pengingat yang elegan akan kehebatan pelaut Makas yang mewarisi darah pemberani Sultan Hasanuddin.

Pada akhirnya, warisan Makas adalah tentang kemampuan untuk bangkit dari kehancuran. Kota yang pernah dipaksa tutup oleh VOC ini kini berdiri sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi terbesar di luar Jawa. Transformasi ini tidak mungkin terjadi tanpa fondasi Pacce yang kuat, sebuah semangat yang berbisik: "Kita mungkin jatuh, tapi kita akan selalu berdiri lagi, dengan kehormatan yang lebih besar dari sebelumnya." Inilah makna abadi dari Makas.