Konsep marcapada, yang berakar kuat dalam tradisi bahasa dan filosofi Nusantara, khususnya Jawa, melampaui sekadar terjemahan harfiahnya sebagai ‘dunia’ atau ‘bumi’. Marcapada adalah sebuah konstruksi kosmis dan eksistensial, sebuah panggung tempat drama kehidupan fana dimainkan. Ia adalah arena di mana segala sesuatu yang memiliki awal pasti memiliki akhir, tempat di mana materi dan spiritualitas bertemu dalam sebuah tarian dualitas yang abadi. Memahami marcapada bukan hanya tentang mengenali lingkungan fisik kita, tetapi juga tentang menyadari sifat sementara dan penuh tantangan dari eksistensi manusia.
Secara etimologi, kata ini sering dikaitkan dengan bahasa Sanskerta, menggabungkan mrca (kematian atau penderitaan) dan pada (tempat atau wilayah). Dengan demikian, marcapada secara implisit mengandung makna ‘tempat penderitaan’ atau ‘dunia yang harus mati’, menekankan sifat kefanaan yang tak terhindarkan dari segala yang ada di dalamnya. Filosofi ini menjadi landasan bagi berbagai praktik spiritual dan etika hidup, mendorong manusia untuk mencari makna yang lebih dalam di balik tirai keberadaan yang sementara.
Pilar utama dalam pemahaman marcapada adalah pengakuan atas dualitas fundamental: fana (yang sementara, dunia materi) dan baka (yang abadi, spiritual). Marcapada mewakili dimensi fana. Semua bentuk, wujud, dan materi yang kita lihat, rasakan, dan sentuh terikat pada siklus kelahiran, pertumbuhan, dan pembusukan. Kesadaran akan kefanaan ini adalah titik awal bagi setiap pencarian spiritual yang serius.
Dunia sering digambarkan sebagai maya, ilusi, atau selubung yang menipu indra. Meskipun indra kita mengkonfirmasi realitas pepohonan, bangunan, dan tubuh fisik kita, filosofi marcapada mengajarkan bahwa substansi sejati bukanlah pada bentuk, melainkan pada esensi yang menggerakkannya. Keterikatan pada bentuk-bentuk fana—harta benda, jabatan, bahkan hubungan yang terlalu bergantung pada fisik—dianggap sebagai sumber penderitaan terbesar. Penderitaan ini bukan hukuman, melainkan konsekuensi logis dari mencoba menahan sesuatu yang secara inheren tidak bisa dipertahankan.
Manusia, sebagai penghuni utama marcapada, ditempatkan di persimpangan jalan antara keinginan duniawi (hawa nafsu) dan panggilan spiritual (jati diri). Konflik internal ini membentuk seluruh perjalanan hidup. Sejak lahir, kita didorong oleh kebutuhan fisik dan sosial yang sepenuhnya terikat pada dunia fana. Kita mencari kenyamanan materi, pengakuan sosial, dan keamanan. Namun, di tengah semua pencarian ini, timbul kekosongan yang hanya bisa diisi oleh pemahaman bahwa marcapada hanyalah stasiun persinggahan, bukan tujuan akhir.
Marcapada adalah tempat ujian. Keindahan yang disajikan hanyalah pinjaman sementara, dan kesulitan yang dialami adalah kesempatan untuk menempa jiwa agar siap menghadapi keabadian.
Filosofi tradisional menekankan bahwa keberhasilan di marcapada tidak diukur dari akumulasi materi, melainkan dari sejauh mana seseorang dapat melepaskan diri dari keterikatan materi tersebut. Ini bukan berarti menolak dunia secara total, tetapi menggunakannya sebagai alat untuk mencapai pencerahan, atau kasampurnan (kesempurnaan).
Visualisasi Marcapada sebagai pusat eksistensi fana yang terhubung dengan akar-akar spiritual.
Untuk memahami mengapa marcapada terasa begitu mengikat, kita perlu mengidentifikasi tiga bentuk keterikatan utama yang dialami manusia di dunia ini, sering disebut sebagai Tri Pramana (Tiga Kekuatan Hidup) yang disalahgunakan:
Setiap perjuangan di marcapada pada dasarnya adalah upaya untuk menyeimbangkan penggunaan ketiga energi ini tanpa membiarkan diri terperangkap di dalamnya. Pelepasan yang sejati adalah kemampuan untuk bertindak dengan kekuatan dan kecerdasan, namun tetap bersikap netral terhadap hasilnya, menyadari bahwa hasil tersebut hanyalah bagian dari siklus fana.
Dalam pandangan kosmologi Jawa dan Bali kuno, marcapada tidak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari serangkaian lapisan alam semesta. Di atasnya terdapat alam-alam spiritual yang lebih tinggi (Suralaya, Swargaloka), dan di bawahnya terdapat alam-alam bawah (Naraka). Keunikan marcapada adalah posisinya sebagai alam tengah (bhuwana tengah) atau alam manusia.
Konsep ini sangat krusial. Bhuwana Agung (Makrokosmos) merujuk pada marcapada secara keseluruhan—gunung, lautan, langit, dan seluruh ekosistem. Sementara itu, Bhuwana Alit (Mikrokosmos) merujuk pada tubuh manusia. Filosofi mengajarkan bahwa segala hukum alam, segala elemen, dan segala dualitas yang ada di Bhuwana Agung, harus direfleksikan dan ditemukan di dalam Bhuwana Alit.
Oleh karena itu, menjaga keseimbangan internal dalam diri (Bhuwana Alit) adalah prasyarat untuk menjaga keseimbangan eksternal di marcapada (Bhuwana Agung). Ketika manusia hidup serakah atau penuh konflik, ia tidak hanya merusak hubungan sosialnya, tetapi juga secara literal merusak keseimbangan alam semesta di sekitarnya. Perusakan lingkungan, misalnya, dilihat bukan hanya sebagai kejahatan ekologis, tetapi sebagai kegagalan spiritual—kegagalan memahami bahwa tubuh manusia adalah miniatur dari bumi yang ia huni.
Marcapada terbuat dari lima elemen dasar (Panca Mahabhuta), yang semuanya bersifat fana dan saling berinteraksi, menciptakan kekacauan sekaligus keindahan:
Kehidupan yang utuh di marcapada adalah kehidupan di mana kelima elemen ini berfungsi dalam harmoni. Ketika Teja (nafsu) mendominasi tanpa kendali dari Bayu (akal sehat) dan Pertiwi (landasan moral), kekacauan pribadi dan sosial akan terjadi. Sebaliknya, ketika Akasha (kesadaran murni) menjadi panduan, manusia dapat bergerak di dunia tanpa terikat oleh sifat-sifat elemen tersebut.
Kehidupan manusia di marcapada adalah sebuah kurva pembelajaran yang brutal namun indah. Setiap tahap kehidupan—dari kelahiran hingga kematian—adalah babak yang dirancang untuk mengupas lapisan ego dan membawa individu lebih dekat kepada kebenaran baka.
Untuk berhasil melewati ujian marcapada, berbagai tradisi spiritual Indonesia menganjurkan praktik tapa (askesis) dan tirakat (pengendalian diri). Ini adalah metode proaktif untuk meredam tuntutan dunia fana dan mempertajam intuisi spiritual.
Tapa bukan berarti melarikan diri dari dunia. Sebaliknya, itu adalah upaya untuk hadir sepenuhnya di dunia tanpa dihisap olehnya. Seseorang yang melakukan tapa tetap berada di marcapada, tetapi ia membatasi input sensorik dan kepuasan ego untuk memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak berasal dari luar.
Contoh nyata dari tapa dalam kehidupan sehari-hari termasuk:
Tujuan utama dari semua laku ini adalah untuk mengeliminasi 'suara' marcapada yang terus-menerus menarik kita ke arah keinginan fana, sehingga suara batin (suara Tuhan, atau Jati Diri) dapat didengar dengan jelas.
Perjalanan di marcapada dapat dibagi menjadi tiga fase besar, masing-masing dengan tantangan dan pelajaran unik:
Fase ini ditandai oleh kebergantungan total pada orang lain dan pengenalan pertama terhadap dualitas. Anak-anak belajar tentang baik dan buruk, senang dan sedih, aku dan bukan aku. Peran orang tua dan guru dalam fase ini adalah menanamkan benih moralitas (budi pekerti) agar individu memiliki peta navigasi etis saat memasuki dunia yang lebih kompleks. Kesalahan yang sering terjadi adalah menanamkan nilai-nilai marcapada (kekayaan, kekuasaan) sebagai tujuan utama, yang akan menyulitkan individu di masa depan.
Ini adalah periode di mana individu sepenuhnya terlibat dalam roda marcapada. Mereka bekerja, membangun keluarga, dan mencari tempat di masyarakat. Pada fase ini, karma dari tindakan masa lalu berbuah, dan tindakan saat ini menanam benih untuk masa depan. Tantangan terbesar adalah bagaimana tetap mempertahankan integritas moral (Dharma) di tengah godaan material dan konflik yang tak terhindarkan. Banyak orang dewasa tersesat, menganggap marcapada adalah segalanya, dan melupakan misi spiritual mereka.
Ketika energi fisik meredup, perhatian beralih dari pencapaian duniawi ke persiapan untuk transisi. Fase ini seharusnya menjadi waktu untuk refleksi mendalam, penebusan kesalahan, dan pelepasan. Kebijaksanaan yang diperoleh di marcapada harus diwariskan, dan keterikatan pada harta dan hubungan harus dikurangi. Kematian tidak dilihat sebagai akhir, tetapi sebagai pintu gerbang menuju baka, dan kualitas kematian sangat ditentukan oleh bagaimana seseorang telah menjalani hidup fana-nya.
Budaya, dalam konteks marcapada, adalah mekanisme yang diciptakan manusia untuk mengatasi dan memberi makna pada kefanaan. Tradisi, adat istiadat, dan tata krama adalah bingkai-bingkai yang membantu manusia hidup dalam harmoni sosial sambil mengejar tujuan spiritual.
Konsep gotong royong dan tepa selira (toleransi) adalah respons sosiokultural terhadap sifat keras marcapada. Karena dunia ini penuh dengan penderitaan dan ketidakpastian (bencana alam, penyakit), manusia menyadari bahwa bertahan sendirian adalah mustahil. Gotong royong mengajarkan bahwa, meskipun kita adalah individu dengan perjalanan spiritual unik, kita terikat bersama dalam satu kapal bernama masyarakat.
Prinsip-prinsip ini memastikan bahwa pengejaran individu akan kebahagiaan tidak merusak kebahagiaan komunal. Tata krama yang ketat dalam masyarakat tradisional (misalnya, penghormatan kepada yang lebih tua, penggunaan bahasa yang berbeda berdasarkan status) bukanlah belenggu sosial, tetapi pengingat konstan bahwa setiap tindakan dan kata memiliki dampak pada lingkungan marcapada, dan harmoni harus dijaga dengan hati-hati.
Seni (wayang, tari, musik gamelan) menjadi cara masyarakat mengekspresikan pemahaman mereka tentang marcapada dan baka. Kisah-kisah wayang, misalnya, selalu berpusat pada konflik antara Dharma (kebaikan, ketertiban) dan Adharma (kekacauan, kejahatan) yang terjadi di dunia fana. Karakter-karakter dewa dan raksasa bertarung di panggung marcapada yang penuh dengan pilihan moral yang ambigu. Seni berfungsi sebagai:
Era modern telah mengubah cara manusia berinteraksi dengan marcapada. Meskipun teknologi telah mengurangi beberapa bentuk penderitaan fisik, ia memperkenalkan bentuk penderitaan baru yang berkaitan dengan keterikatan mental dan spiritual.
Tekanan hidup modern menuntut kecepatan dan efisiensi yang berlebihan, yang secara langsung bertentangan dengan filosofi pengendalian diri (tapa) yang diperlukan untuk memahami marcapada. Ketika hidup bergerak terlalu cepat, manusia kehilangan momen untuk merenung. Mereka menjadi reaktif, didorong oleh kebutuhan yang dibuat-buat, dan lupa bahwa waktu di marcapada adalah aset yang paling terbatas.
Globalisasi dan konsumerisme memperkuat ilusi marcapada. Mereka mengajarkan bahwa nilai seseorang ditentukan oleh apa yang mereka miliki (akumulasi materi), bukan oleh siapa mereka (akumulasi kebijaksanaan). Ini adalah bentuk 'maya' yang paling berbahaya, karena ia meyakinkan individu bahwa kebahagiaan dapat dibeli dan bahwa kefanaan dapat ditunda atau diabaikan.
Ketika fokus beralih sepenuhnya pada persaingan dan keuntungan materi (kadonyan), nilai-nilai gotong royong dan tepa selira mulai terkikis. Marcapada modern sering menjadi tempat yang sangat individualistis, di mana penderitaan orang lain diabaikan demi kepentingan diri sendiri. Dalam konteks ini, marcapada benar-benar menjadi ‘tempat penderitaan’ karena manusia secara kolektif memilih untuk mengabaikan hubungan mereka dengan sesama dan alam.
Untuk melawan tantangan ini, diperlukan revolusi spiritual dari dalam. Ini bukan tentang meninggalkan teknologi atau kembali ke masa lalu, melainkan tentang mengintegrasikan kebijaksanaan kuno ke dalam kehidupan modern. Bagaimana kita bisa menggunakan kekayaan dan teknologi tanpa membiarkan diri kita diperbudak olehnya? Jawabannya terletak pada pemulihan kesadaran akan kefanaan. Ingatlah bahwa semua perangkat canggih, semua kekayaan digital, dan semua kekuasaan politik, akan menjadi debu seiring berakhirnya waktu.
Pergulatan antara keinginan fana (materi) dan kebutuhan baka (spiritual) adalah inti perjuangan di marcapada.
Jika marcapada adalah tempat penderitaan dan ujian, maka apa tujuan akhirnya? Tujuannya bukanlah untuk memenangkan dunia, tetapi untuk memenangkan diri sendiri dari dunia. Ini adalah proses menuju moksa (pembebasan) atau kasunyatan (kebenaran sejati).
Filosofi Jawa yang mendalam mengajukan pertanyaan esensial: Sangkan Paraning Dumadi (Dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan kembali?). Marcapada adalah jeda sementara dalam perjalanan yang jauh lebih besar. Kita berasal dari sumber yang abadi (Baka) dan tujuan kita adalah kembali ke sumber itu.
Kesadaran ini mengubah perspektif tentang segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Rasa sakit, kehilangan, dan kegagalan tidak lagi dilihat sebagai nasib buruk, tetapi sebagai instruksi—sebagai petunjuk bahwa kita masih terlalu terikat pada marcapada. Sebaliknya, kebahagiaan fana adalah hadiah kecil yang diberikan untuk memotivasi perjalanan, tetapi tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi hadiah utama.
Satu-satunya ‘harta’ yang dapat dibawa dari marcapada adalah karma (hasil perbuatan). Karena kita tahu bahwa segala sesuatu akan berakhir, investasi terbaik di dunia ini adalah pada tindakan yang menghasilkan kebaikan abadi. Ini mencakup pengembangan welas asih (cinta kasih yang mendalam) kepada semua makhluk hidup, termasuk alam.
Tindakan welas asih adalah tindakan yang tidak terikat pada hasil atau balasan fana. Ketika kita membantu orang lain tanpa mengharapkan pujian (Sabda) atau keuntungan (Bayu/Idep), kita membersihkan diri dari keterikatan marcapada dan menumpuk modal spiritual untuk transisi ke baka.
Jalan keluar dari jeratan marcapada dapat diringkas dalam tiga praktik mendasar, yang harus diintegrasikan secara berkelanjutan:
Meskipun marcapada itu fana, dampak dari tindakan kita memiliki resonansi yang melampaui waktu. Warisan sejati yang kita tinggalkan bukanlah bangunan yang megah atau harta yang berlimpah, melainkan kualitas kesadaran dan kebaikan yang kita tanamkan pada generasi mendatang dan lingkungan.
Orang yang telah mencapai pemahaman mendalam tentang marcapada tidak lagi melawan arus dunia. Mereka bergerak selaras dengan irama semesta, seperti penari yang tahu bahwa musik akan berhenti, tetapi menikmati setiap not saat ia dimainkan. Mereka menghargai keindahan fana—matahari terbenam, tawa anak-anak, rasa makanan—tetapi tanpa rasa memiliki. Mereka menyadari bahwa mereka hanyalah saluran, bukan pemilik.
Marcapada akan terus berputar, melahirkan peradaban baru dan menghancurkan yang lama. Penderitaan akan selalu ada, dan kebahagiaan akan selalu datang dan pergi. Tugas individu bukanlah menghentikan siklus ini, tetapi menggunakannya untuk mencapai kebebasan dari keterikatan siklus. Ini adalah paradoks yang indah: hanya dengan sepenuhnya menerima kefanaan marcapada, kita dapat menemukan jalan menuju keabadian.
Jalan spiritual di marcapada adalah jalan kesendirian di tengah keramaian. Kita berjalan bersama miliaran jiwa lain, namun ujian dan pelepasan yang harus kita hadapi bersifat pribadi. Ketika saatnya tiba untuk meninggalkan panggung dunia ini, yang tersisa bukanlah ratapan atas apa yang hilang, melainkan sukacita atas perjalanan yang telah mengajarkan kita bahwa di balik debu fana marcapada, tersembunyi cahaya baka yang menunggu untuk disingkap.
Untuk memahami kedalaman marcapada, kita harus melihatnya bukan hanya sebagai planet, tetapi sebagai sebuah kondisi kesadaran yang terikat oleh waktu linier. Di alam spiritual yang lebih tinggi, waktu mungkin sirkular atau bahkan tidak relevan. Di marcapada, kita diwajibkan untuk mengalami durasi; setiap detik adalah irreversible, memaksa kita untuk membuat pilihan moral yang berdampak.
Konsep waktu yang linear ini adalah mekanisme pembelajaran yang kejam. Kesempatan untuk bertobat, untuk memperbaiki, dan untuk mencintai, selalu terbatas. Kegagalan untuk menghargai momen di marcapada adalah kegagalan untuk menghargai kesempatan hidup itu sendiri. Para filsuf sering merenungkan bagaimana jika manusia hidup abadi di bumi ini; kemungkinan besar, tidak akan ada dorongan untuk bertumbuh atau mencari makna yang lebih dalam, karena konsekuensi akan selalu dapat dihindari atau ditunda. Kefanaan marcapada adalah rahmat yang menyamar, sebuah jam alarm kosmik yang terus-menerus mengingatkan kita bahwa kita sedang berada dalam periode ujian yang terbatas.
Dalam skala marcapada yang maha luas, tindakan seorang individu mungkin terasa tidak signifikan. Namun, filosofi karma mengajarkan bahwa tidak ada tindakan yang netral. Setiap ucapan, setiap pikiran, dan setiap perbuatan menciptakan riak energi yang memengaruhi Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung. Membuang sampah sembarangan di jalan, misalnya, bukan hanya masalah kebersihan, tetapi manifestasi dari kekacauan internal (Bhuwana Alit) dan ketidakpedulian terhadap lingkungan (Bhuwana Agung). Sebaliknya, tindakan kecil berupa pengampunan, kesabaran, atau ucapan terima kasih yang tulus, menyuntikkan energi positif ke dalam jaringan kosmik marcapada.
Ini memunculkan prinsip Kemanfaatan Abadi: Jika Anda tidak dapat melakukan hal-hal besar, lakukanlah hal-hal kecil dengan cinta yang besar. Karena dalam konteks marcapada yang fana, cinta yang tulus adalah satu-satunya hal yang mendekati keabadian.
Pergumulan utama di marcapada adalah pengendalian diri terhadap empat manifestasi nafsu, yang sering dikaitkan dengan empat penjuru mata angin atau empat warna (merah, putih, kuning, hitam), dan yang secara terus-menerus mencoba mengikat jiwa pada materi:
Jalan di marcapada adalah tentang mengubah ketiga nafsu yang bersifat negatif (Amarah, Lawwamah, Sufiah) menjadi energi yang melayani Muthmainah. Misalnya, energi Amarah tidak dihilangkan, tetapi diubah menjadi semangat juang untuk Dharma. Kekuatan fisik (Lawwamah) diubah menjadi ketekunan spiritual (Tirakat). Dan keinginan untuk kesenangan (Sufiah) diubah menjadi penghargaan yang damai terhadap keindahan ciptaan di marcapada, tanpa perlu memilikinya.
Marcapada menjanjikan kegembiraan, tetapi menjamin kekecewaan. Kekecewaan adalah guru yang paling keras. Ia muncul karena adanya jurang antara harapan fana (apa yang kita inginkan) dan realitas fana (apa yang terjadi). Semakin besar keterikatan kita pada hasil di dunia ini, semakin dalam kekecewaan yang kita rasakan.
Filosofi marcapada mempersiapkan kita untuk kegagalan. Dengan menerima bahwa dunia ini adalah ‘tempat penderitaan’ sebelum kita memulai, kita menghilangkan unsur kejutan. Ketika kita kehilangan kekayaan, kita menyadari, "Ya, memang, itu tidak pernah benar-benar milikku." Ketika kita kehilangan orang yang dicintai, kita berduka, tetapi kita menyadari, "Tubuh ini adalah pakaian fana yang harus dilepaskan." Disiplin mental inilah yang memungkinkan individu untuk tetap teguh dan damai di tengah gejolak terbesar di dunia.
Pengetahuan yang diperoleh di sekolah dan universitas (pengetahuan fana) sangat penting untuk bertahan hidup dan membangun peradaban di marcapada. Namun, pengetahuan ini adalah alat, bukan tujuan. Pengetahuan sejati (ngilmu sejati) adalah pemahaman yang mendalam mengenai hubungan antara Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung, pengetahuan tentang diri sejati yang tidak dapat ditemukan dalam buku atau laboratorium, melainkan melalui meditasi dan refleksi yang jujur.
Pencarian ngilmu sejati sering kali memerlukan seseorang untuk 'mati' terhadap ego fana mereka sendiri saat mereka masih hidup. Ini adalah kematian terhadap identitas sosial, gelar, dan kepemilikan. Hanya ketika identitas fana ini melebur, barulah substansi spiritual yang abadi dapat bersinar, menerangi jalan di marcapada yang gelap dan membingungkan.
Bagaimana seseorang dapat hidup di tengah masyarakat yang materialistis tanpa terhisap olehnya? Ini adalah tantangan terbesar bagi orang yang tercerahkan. Jawabannya terletak pada praktik Karya Tanpa Pamrih. Seseorang berpartisipasi penuh dalam kehidupan marcapada—mereka bekerja, membayar pajak, dan membesarkan keluarga—tetapi motivasi mereka diubah. Mereka bekerja bukan untuk akumulasi kekayaan, melainkan karena tugas (Dharma) dan untuk melayani orang lain.
Mereka hadir secara fisik, tetapi terisolasi secara spiritual. Mereka melihat ilusi, tetapi tidak percaya padanya. Mereka bertindak sebagai garam di dunia, memberikan rasa dan pelestarian, tetapi mereka sendiri tetap tidak larut dalam air mata dan keringat dunia fana. Keseimbangan yang halus ini adalah puncak dari kebijaksanaan yang diperoleh melalui pengalaman pahit dan manis di marcapada.
Ujian terakhir marcapada adalah kematian. Cara seseorang menghadapi kematian adalah indikator tertinggi dari sejauh mana mereka telah memahami sifat fana dunia ini. Jika seseorang menghadapi kematian dengan ketakutan yang luar biasa atau penolakan total, itu menunjukkan keterikatan yang kuat pada materi dan waktu. Sebaliknya, menghadapi kematian dengan kedamaian dan penerimaan (Nrimo) adalah tanda bahwa transisi ke alam Baka telah dipersiapkan dengan baik.
Dalam banyak tradisi, saat-saat terakhir kehidupan di marcapada dipandang sebagai kesempatan terakhir untuk mengarahkan kesadaran. Pikiran pada saat kematian diyakini menentukan kualitas kelahiran atau pembebasan selanjutnya. Oleh karena itu, seluruh hidup di marcapada, dengan segala kesulitan dan keindahannya, adalah latihan untuk momen pembebasan ini.
Marcapada, pada akhirnya, adalah rumah yang indah, namun rentan. Ia adalah sekolah yang keras, namun adil. Ia adalah ilusi yang sangat nyata. Mengakui kefanaannya bukan untuk menciutkan hati, tetapi untuk membebaskan semangat kita. Ketika kita memahami marcapada, kita dapat hidup di dalamnya dengan keberanian, cinta, dan kesadaran, tahu bahwa meskipun kita harus meninggalkan dunia ini, kita dapat memastikan bahwa esensi terdalam dari diri kita—cinta dan kebaikan yang kita sebarkan—akan selamanya menjadi bagian dari Semesta yang Abadi.
***
Penghayatan terhadap marcapada menuntut keterlibatan total. Tidak ada tempat untuk penonton pasif. Kita harus memilih: Apakah kita akan menjadi budak dari ilusi duniawi, ataukah kita akan menjadi penguasa diri yang menggunakan dunia ini sebagai batu loncatan menuju kesadaran yang lebih tinggi? Pilihan ini, dibuat berulang kali dalam momen-momen kecil, akan menentukan warisan kita dan kualitas transisi kita dari alam fana ke alam baka. Marcapada menanti jawaban kita.
Untuk menavigasi kompleksitas Marcapada, filosofi Nusantara menekankan dua keadaan mental yang krusial: *Waspada* dan *Eling*. Kedua konsep ini bekerja sinergis, menjadi jangkar bagi jiwa agar tidak terseret oleh arus keduniawian yang kencang. Waspada berarti kesiapsiagaan terhadap bahaya luar, termasuk jebakan-jebakan materi dan sosial yang seringkali terselubung dalam bentuk kesenangan atau kemuliaan fana. Ini adalah kecerdasan taktis dalam menghadapi hiruk pikuk kehidupan. Kita waspada terhadap godaan untuk menipu, waspada terhadap pujian yang menggelembungkan ego, dan waspada terhadap kecemasan yang diciptakan oleh ketakutan akan kehilangan.
Namun, waspada tanpa eling akan menjadi kecurigaan semata. *Eling* (mengingat atau sadar) adalah dimensi internal. Eling adalah kesadaran terus-menerus akan asal-usul sejati (Sangkan Paraning Dumadi) dan sifat spiritual yang inheren dalam diri. Eling mengingatkan bahwa tubuh ini adalah kendaraan sementara dan bahwa peran sejati kita di Marcapada adalah sebagai pengamat dan pelaksana Dharma. Eling adalah kompas moral, sementara Waspada adalah radar sosial.
Gabungan dari keduanya menghasilkan tindakan yang disebut *Laku Utama* atau Perbuatan Utama—tindakan yang dilakukan dengan kesadaran penuh akan sifat kefanaannya, tetapi dengan tujuan yang sepenuhnya abadi. Misalnya, ketika seorang petani menanam padi di Marcapada, ia waspada terhadap hama dan kondisi cuaca, tetapi ia eling bahwa hasil panennya hanyalah rezeki pinjaman yang harus dibagi dan disyukuri, bukan harta pribadi yang mutlak.
Di Marcapada, pertarungan terberat bukan melawan entitas eksternal, melainkan melawan *Lima Musuh Dalam Diri* (sering kali diperluas dari Catur Napsu):
Perjuangan untuk menaklukkan musuh-musuh ini adalah inti dari perjalanan di dunia ini. Ketika salah satu musuh ini berhasil menguasai Bhuwana Alit, kehidupan di Marcapada berubah menjadi neraka pribadi, bahkan jika secara lahiriah orang tersebut terlihat sukses dan kaya.
Di dunia fana ini, kekayaan sering didefinisikan oleh angka di rekening bank atau luasnya properti. Namun, perspektif Marcapada membalikkan definisi ini. Kekayaan sejati diukur dari hal-hal yang tidak dapat dirampas oleh kematian atau bencana alam:
Ironisnya, mengejar kekayaan fana seringkali menghasilkan kemiskinan spiritual, sedangkan mengejar kekayaan sejati secara paradoks sering kali menarik kelimpahan materi yang diperlukan (rejeki) untuk menunjang Dharma.
Dalam kosmologi Nusantara, keseimbangan Marcapada juga tercermin dalam dualitas energi maskulin dan feminin yang hadir di setiap individu, dan juga dalam peran sosial. Energi maskulin (yang diasosiasikan dengan api, gerakan, dan logika) bertanggung jawab untuk bertindak, melindungi, dan menciptakan struktur sosial. Energi feminin (yang diasosiasikan dengan air, intuisi, dan pemeliharaan) bertanggung jawab untuk menjaga keharmonisan, menumbuhkan welas asih, dan memastikan kelangsungan hidup spiritual.
Ketika kedua energi ini seimbang, Marcapada berkembang. Namun, jika terjadi dominasi berlebihan (misalnya, jika energi maskulin tanpa belas kasih mendominasi, menghasilkan peperangan dan eksploitasi alam), maka Marcapada akan menderita. Misi spiritual sejati manusia di dunia ini adalah untuk menyatukan dualitas ini di dalam diri mereka sendiri, sehingga mereka dapat memproyeksikan harmoni keluar ke Bhuwana Agung.
Menjaga Keseimbangan:
Kegagalan terbesar peradaban modern adalah ekses dalam 'Menciptakan' tanpa disertai 'Memelihara' yang cukup. Kita telah menciptakan dunia yang canggih tetapi tandus secara spiritual.
Segala sesuatu yang kita lihat di Marcapada, baik itu keindahan yang mempesona atau penderitaan yang mengerikan, hanyalah cerminan dari kondisi batin kolektif umat manusia. Jika hati kita dipenuhi kekerasan, dunia akan merespons dengan perang dan konflik. Jika hati kita dipenuhi ketamakan, alam akan merespons dengan bencana ekologis yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan. Marcapada tidak pernah berbohong; ia adalah cermin sempurna dari apa yang ada di dalam diri kita.
Oleh karena itu, upaya untuk "menyelamatkan dunia" harus selalu dimulai dari upaya untuk "menyelamatkan diri sendiri." Reformasi sosial, politik, dan lingkungan adalah produk sampingan yang alami dari reformasi spiritual individu. Ketika satu orang mencapai pencerahan (kasampurnan), mereka secara efektif mengubah frekuensi getaran kolektif Marcapada, betapapun kecilnya.
Di akhir zaman, ketika kefanaan Marcapada mencapai puncaknya (sering disebut sebagai era Kaliyuga dalam konteks Hindu Jawa), kekacauan akan menjadi aturan. Pada saat itu, satu-satunya perlindungan sejati bukanlah pada benteng fisik atau kekayaan yang disimpan, tetapi pada kekokohan batin yang dibangun melalui praktik Eling dan Waspada sepanjang hidup.
Hidup di Marcapada adalah sebuah kehormatan dan sebuah beban. Kehormatan karena diberikan kesadaran untuk memilih, dan beban karena pilihan kita memiliki konsekuensi yang abadi, baik untuk diri sendiri maupun untuk Semesta. Kita harus memanfaatkan setiap helai napas fana yang diberikan untuk menenun kain kebaikan yang akan bertahan hingga melampaui batas-batas dunia ini.
***
Pemahaman mengenai Marcapada semakin diperkaya dengan konsep *Cokro Manggilingan* (Roda yang Berputar), sebuah metafora untuk siklus kosmis yang tidak pernah berhenti. Di dunia fana ini, tidak ada status quo yang permanen. Kemakmuran pasti akan diikuti oleh kemunduran, kekuasaan oleh kejatuhan, dan kesenangan oleh kesedihan. Roda ini berputar tanpa ampun, dan ia tidak membedakan antara raja dan rakyat jelata. Konsep ini adalah penangkal terhadap keangkuhan yang sering muncul saat seseorang berada di puncak kesuksesan Marcapada.
Jika seseorang mendominasi Marcapada dan merasa dirinya kebal dari hukum alam, Cokro Manggilingan akan selalu menegaskan kembali kebenaran kefanaan. Orang yang bijaksana tidak berusaha menghentikan roda tersebut, melainkan belajar bagaimana bergerak seimbang di atasnya. Saat di atas, mereka mempersiapkan diri untuk saat mereka berada di bawah, dan saat di bawah, mereka melihat ke atas dengan harapan dan ketekunan, tahu bahwa putaran roda pasti akan membawa perubahan.
Penerimaan terhadap Cokro Manggilingan sangat penting bagi ketenangan batin. Jika kita melekatkan identitas kita pada posisi kita saat ini di roda (apakah kita kaya, sehat, atau berkuasa), maka kita akan hancur saat roda berputar. Namun, jika kita melihat diri kita sebagai pengendara, terpisah dari roda itu sendiri, kita dapat mempertahankan kedamaian di tengah gerakan yang konstan.
Marcapada menyediakan sumber daya yang melimpah—air, tanah, mineral—namun semuanya terikat pada batas regenerasi alam. Etika tradisional mengajarkan prinsip *Sekar Kedaton*, yaitu memperlakukan bumi sebagai keraton atau tempat tinggal suci yang harus dijaga, bukan dieksploitasi. Sumber daya harus digunakan secukupnya (*sederhana*) dan dengan rasa hormat (*hormat*).
Keserakahan, manifestasi dari Nafsu Lawwamah dan Sufiah, menyebabkan manusia mengambil lebih dari yang mereka butuhkan, melanggar batas-batas alam, dan merusak keseimbangan Bhuwana Agung. Bencana alam, dalam banyak pandangan filosofis, adalah reaksi dari Marcapada itu sendiri terhadap kezaliman kolektif manusia. Bumi, yang merupakan pertiwi dalam diri kita, bereaksi terhadap ketidakseimbangan internal kita.
Marcapada dihiasi dengan keindahan luar biasa: warna, suara, tekstur. Keindahan ini merupakan bagian dari Maya yang paling memikat. Kita menghabiskan sebagian besar hidup kita mengejar, menciptakan, atau mengagumi keindahan fana (seni, tubuh yang menarik, arsitektur). Namun, filosofi mengajarkan kita untuk membedakan antara:
Seorang yang bijaksana dapat menikmati keindahan rupa (misalnya, sebuah bunga yang mekar) sambil eling bahwa keindahan rasa (kekaguman yang tak terbatas) tidak bergantung pada bunga itu sendiri, melainkan pada kemampuan jiwa untuk merasakan. Dengan demikian, ketika bunga itu layu, kegembiraan sejati tetap ada. Kegagalan membedakan keduanya menghasilkan obsesi terhadap penampilan fisik, penuaan, dan kosmetik—usaha sia-sia untuk melawan hukum Marcapada.
Jika hidup di Marcapada bersifat fana, maka waktu harus dihabiskan untuk Dharma, tugas atau kewajiban moral yang diberikan kepada setiap individu berdasarkan peran mereka dalam masyarakat dan tahapan hidup mereka. Dharma bukanlah pilihan, melainkan keharusan untuk memastikan tatanan kosmis (Rta) tetap utuh di dunia yang rentan terhadap kekacauan (Adharma).
Dharma seorang anak adalah menghormati orang tua dan belajar. Dharma seorang raja adalah melindungi rakyat tanpa pamrih. Dharma seorang seniman adalah menciptakan karya yang menginspirasi. Melakukan Dharma dengan sepenuh hati, tanpa keterikatan pada hasil (seperti yang diajarkan dalam Bhagavad Gita), adalah cara tertinggi untuk hidup di Marcapada. Ini memastikan bahwa meskipun eksistensi fana berakhir, warisan etika dan spiritual kita tetap utuh.
Melupakan Dharma berarti menjalani hidup yang didorong oleh *Ichsa* (keinginan pribadi) daripada *Dharma* (tugas moral). Individu yang melupakan Dharma cenderung hanya memikirkan diri sendiri, mengambil keuntungan dari orang lain, dan melanggar etika demi kepuasan sesaat. Ini adalah definisi sejati dari hidup yang 'terikat' pada Marcapada, karena mereka telah memilih untuk menjadikan penderitaan sebagai realitas abadi mereka.
Di tengah kebisingan Marcapada modern, praktik meditasi dan penarikan diri (Tapa Brata) menjadi semakin vital. Tujuannya adalah menciptakan jarak yang disengaja antara kesadaran sejati (Jati Diri) dan kegaduhan dunia fana. Dalam keheningan, seseorang tidak hanya beristirahat dari dunia, tetapi secara aktif membongkar ilusi Maya.
Melalui Tapa Brata, praktisi dapat melihat pikiran dan emosi mereka (yang semuanya adalah manifestasi fana dari Marcapada di dalam diri) tanpa bereaksi terhadapnya. Mereka melihat Amarah, Lawwamah, dan Sufiah muncul dan menghilang seperti awan, dan dengan demikian, mereka mendapatkan kontrol. Ini adalah persiapan untuk momen kematian, di mana seluruh Marcapada akan runtuh di sekitar mereka, dan satu-satunya yang tersisa adalah kesadaran murni.
Marcapada adalah tempat yang menyediakan semua bahan baku: tantangan yang menguatkan, keindahan yang menginspirasi, dan waktu yang terbatas untuk bertindak. Bagaimana kita merespons bahan baku ini menentukan hasil dari perjalanan spiritual kita. Dunia ini adalah sebuah kesempatan. Jangan sia-siakan kefanaan yang indah ini.
***
Penutup ini menegaskan kembali pesan inti: Kehadiran kita di Marcapada adalah hadiah bersyarat, dan kebijaksanaan terbesar adalah mengakui bahwa satu-satunya cara untuk melampaui dunia fana adalah dengan sepenuhnya dan sadar menjalaninya, seolah-olah setiap hari adalah persiapan terakhir kita untuk Baka.